“Oh iya Jeng, boleh saya tahu modal awalnya berapa dan untungnya berapa kamu jualan es dawet ini?”
“Modal awal saya hanya 10 Juta. Dan awal-awal saya buka usaha es dawet ini di bulan puasa, untung bersih sampai 5 juta. Tapi sekarang paling 2,5 jutaan.” Jelas Ajeng.
“Wah luar biasa bisa sampai untung segitu dengan modal yang sedang. Oh iya jeng, bagaimana kamu bagi waktunya antara kuliah dengan jualan?”
“Saya sempat punya pegawai dan saya bebas kuliah. Namun karena sakit, kemudian dia berhenti. Karena cari pegawai gampang-gampang susah, maka saya sendiri yang jualan. Kalau yang jual bukan saya hasilnya gak maksimal. Pernah waktu dipegang pegawai, sehari hanya satu cup saja. Kalau saya, minimal 8-10 cup gelas. Tapi ya itulah orang jualan. Rizkinya sudah diatur. Karena saya sendiri yang jualan, saya hanya jualan dari Jum’at, Sabtu dan Minggu. Tapi kadang hari kuliah pun saya lebih memilih berjualan, kalau tidak ada dosennya. Maklum naluri seorang penjual ya seperti itu. Waktu luang bisa mengahisilkan uang,” ucap Ajeng dengan sangat lengkap dan jelas.
Sementara anak-anakku masih asik bermain melempar-lempar di drainase tepat di belakang lapak es dawet berada, termasuk salah satu sendok es kelapa pun tak luput dilempar Azka, putra bungsuku. Sedangkan istriku tetap asyik menyimak gaya wawancaraku dengan pengusaha muda nan cantik, Ajeng. Tak terasa es dawetnya sudah hampir habis, namun masih ada pertanyaan yang belum habis kukupas.
“Ajeng ini kok mau-maunya jualan, bagaimana asal-mulanya?”
“Oh, awalnya saya juga gak tahu. Ya setelah saya kuliah Jurusan Akutansi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, karena oleh dosen diarahkan untuk jadi pengusaha, ya saya ingin mencobanya. Di samping itu, saya ingin menghilangkan sifat buruk saya, yaitu rasa gengsi yang tinggi serta manja. Mungkin dengan saya berjualan itu bisa hilang,”
“Subhanallah, bagus juga itu Jeng. Semoga bisa terkabul dan sukses ya bisnisnya, semoga makin maju,” pungkasku sambil mendoakan
“Iya Pak, Aamiin. Terima kasih,” balas Ajeng.
Itulah sebuah wawancara singkat dengan penjual es dawet. Siang sudah semakin tergelincir, dan es dawetnya sudah habis. Kami siap-siap untuk pulang. Aku bayar dua es dawetnya dengan uang Rp. 20.000,- dikembalikan Rp. 2000,- oleh Ajeng. Ketika membayar, aku sempat mengajukan pertanyaan lagi begini, “Sudah punya pacar belum Jeng?”, dia menjawab belum. Lalu aku sarankan tuk tidak berpacaran, sebab pacaran itu bikin galau saja, labih baik nikah langsung saja kalau sudah siap pada saat waktunya nanti.
Semoga kisah nyataku yang terjadi pada hari Minggu, 17 Januari 2016 lalu bisa bermanfaat. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, yakni MEA. Iya betul, tahun 2016 ini adalah eranya bagi para pengusaha terutama di kawasan ASEAN. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan membuat kondisi persaingan usaha di Indonesia semakin kompetitif. Siap atau tidak bagi yang malas akan makin tertinggal jauh dan bahkan mindset seseorang akan semakin sempit ketika bisanya hanya menyalahkan pemerintah. Kalau bisa jangan hanya menjadi penonton, jadilah pelaku. Yakinlah bahwa berwirausaha bukanlah sesuatu yang sukar. Seperti halnya Ajeng, seorang mahasiswi mematahkan hal tersebut. Bahkan dia sempat mengutarakan ingin mencoba jenis usaha-usaha yang lain. Modal paling utama adalah keyakinan pada diri sendiri bahwa “Aku Pasti Bisa Berwirausaha”. Karena....