Mohon tunggu...
Alungsyah mt
Alungsyah mt Mohon Tunggu... Praktisi Dikantor Hukum Sidin Constitution -

Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Analisa Kasus Koh Ahok

14 Desember 2016   12:01 Diperbarui: 14 Desember 2016   12:17 4309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ANALISA KASUS KOH AHOK

Oleh : Alungsyah[1]

Memasuki sidang pertama hari ini (read-kemaren) tanggal 13 Desember 2016 kasus atas dugaan penistaan agama yang konon katanya dilakukan oleh Calon Gubernur Petahana Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memasuki babak baru, dimana pada faktanya sidang ini merupakan sidang yang kali kedua menyita perhatian publik setelah sidang Jessica beberapa bulan lalu. khususnya mayoritas umat muslim di Indonesia. Sidang pertama ini digelar sekitar pukul 09.00 Wib pagi tadi (read-kemaren) dengan agenda mendengar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) disertai dengan nota keberatan/eksepsi dari Penasehat Hukum terdakwa.

Jika ditarik jauh kebelakang, munculnya kasus ini disebabkan oleh perkataan Ahok ketika berada dikepulauan seribu yang dianggap menghina Al-qur’an, agama islam, ulama dan bahkan umat islam. Atas dasar itu pula reaksi datang silih berganti yang mengakibatkan terjadinya dua kali aksi damai serentak secara nasional pada tanggal 4 November 2016 (411) dan pada tanggal 2 Desember 2016 (212).

Aksi damai 411 dan 212 dilakukan setidaknya untuk menuntut Ahok segera dietapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan dalam kasus penistaan agama yang dilakukan olehnya. Desakan demikian mengakibatkan perubahan status yang tadinya saksi kini berubah menjadi tersangka atau bahkan terdakwa. Penegak hukum terkesan tak berdaya mengahadapi semua tekanan yang terjadi, seolah apa yang dilakukan 411 dan 212 merupakan kebenaran prosedur yang harus dilaksanakan dan bahkan penyidik dalam kasus ini menjerat ahok dengan pasal 156A KUHP dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara. Kondisi ini tidak bisa kita ungkiri berdasarkan fenomena yang terjadi. Dimana penegak hukum tidak dipercaya dan hukum sudah tidak lagi dijunjung tinggi berdasarkan kewenangan yang sebenarnya, namun dibangun atas desakan dan tekanan semata.

Perspektif Hukum dan perdebatannya

Semua tindakan yang dilakukan oleh setiap warga Negara/setiap orang mendapatkan jaminan dan aturan dalam hukumnya, mana yang tidak boleh dan mana yang boleh. Setiap orang/setiap warga Negara tidak dapat bertindak atas keinginannya sendiri dengan cara mengesampingkan aturan hukum yang ada. Ia harus patuh terhadap pembatasan-pembatasan yang berlaku. Dengan kata lain, bahwa hampir semua aktifitas warga Negara mendapatkan pengturan didalam hukum, baik sifatnya yang berupa hak ataupun kewajiban. Karena Indonesia dibangun atas dasar hukum, tapi bukan atas dasar kekuasaan belaka sebagai mana diatur dalam pasal 1 ayat 3 UU 1945.

Salah satu tindakan yang dilakukan oleh manusia tidak hanya dimaknai sebagai perbuatan semata, akan tetapi yang sifatnya formalitas pun mendapatkan perhatian dimata hukum, contohnya saja apa yang terjadi saat ini. Dalam hukum pidana apa yang dilakukan dalam bentuk ucapan disatu sisi merupakan perbuatan yang terkualifikasi sebagai delik formil sebagaimana diatur dalam pasal 156A KUHP yang berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Delik formil dimaknai sebagai suatu perbuatan pidana yang sudah selesai dilakukan dan perbuatan itu memnuhi rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. Delik formil ini mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan tanpa menyebut akibatnya.

Jadi disisi lain apa yang dilakukan oleh Ahok dalam bentuk ucapan jika dilihat dari pasal tersebut diatas merupakan perbuatan pidana yang dilarang dan itu memiliki ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara.

Selain itu penerapan pasal ini sangatlah beresiko tinggi, sebab pasal 156A KUHP merupakan pasal yang bersifat karet, tidak memiliki tolak ukur sedikitpun apa yang menjadi parameter seseorang telah melakukan penistaan atau penodaan terhadap agama dalam arti bahwa pasal tersebut bersifat subjektif yang dibangun berdasarkan suka tidak sukanya seseorang terhadap orang lain.

Dalam bahasa sederhana ialah pasal 156A KUHP tidak memiliki nilai objektif sebagaimana norma pasal yang sesungguhnya. Sehinga setiap orang/setap warga Negara yang memiliki jaminan hak secara konstitusional selalu dihantui dengan keberadaan pasal a quo yang berakibat matinya daya kritis, matinya rasa saling menghormati, matinya rasa keadilan, matinya kebebasan lainnya serta memasung hak-hak yang telah mendapatkan jaminan sebagaimana aturannya.

Pasal ini juga sangat berbahaya bahkan lebih berbahaya dari ular berbisa sekalipun. Karena pasal ini berjalan hanya berdasarkan kemauan penguasa dan oknum yang tidak bertanggungjawab. Padahal untuk menerapkan suatu norma haruslah dilihat dari kacamata keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Akan tetapi inti dari suatu aturan ia “bermusyawarah” menjadi satu kata yaitu keadilan.

Keadilan yang dimaksud ialah keadilan yang sesuai porsinya, tidak berat sebalah dan diperlakukan sama terhadap masalah yang sama walaupun dalam kondisi yang berbeda. Keadilan yang bersumber dari nilai-nilai kebenaran, objektif dan rasional adanya, namun tidak berdasarkan suka tidak sukanya seseorang terhadap orang lain. Keadilan merupakan puncak tertinggi dari suatu aturan, maka guna menegakkan keadilan haruslah dilandasi dengan sikap yang berani, jujur, tanpa pandang bulu dan terlebih tidak didasarkan pada desakan kaum mayoritas.

Hukuman dalam kerangka analisa

Dalam adegium hukum dikenal dengan sebutan seburuk-buruknya aturan ia tetap aturan sampai nantinya ada lembaga yang berwenang atau lebih tinggi mencabutnya. Itulah kiranya kondisi yang teradi belakangan ini. Hukum yang buruk secara logika tidak mungkin diterapkan seburuk ketentuannya. Karena aturan itu ditujukan untuk masyarakat, tapi bukan masyarakat untuk hukum.

Aturan yang buruk mestinya dapat diluruskan dan diperbaiki oleh penegak hukum itu sendiri dalam tataran implemenasinya. Karena penegak hukum secara kewenangan diberikan hak untuk itu. Jika aturan yang buruk tidak diluruskan sebagaimana mestinya, maka hukum sudah tidak lagi memiliki nilai dimata hukum itu sendiri dan masayarakat, bahkan hukum dipastikan menjadi musuh terbesar sepanjang hidup manusia. Begitu pula kasus hukum yang menjerat Calon Gubernur Petahana Jakarta Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Selain hukuman secara fisik rupanya Indonesia secara tersirat memiliki pengadilan yang tidak diakomodir hukum Indonesia yaitu “pengadilan masyarakat”. Pengadilan masyarakat sejatinya lebih kejam dari pengadilan Negara pada umumnya, dimana pengadilan bertindak tidak berdasarkan ”aturan” dan bahkan dapat mengancam keselamatan seseorang dan sebaliknya. Ahok telah mendapatkan hukuman atas perbuatan yang telah ia lakukan. Adapun hukuman yang diterima diantaranya berupa caci maki, ancaman, hinaan, kebencian, permusuhan yang ditujukan kepadanya dan perbuatan lainnya.

Oleh karenanya pengadilan yang sesungguhnya-lah merupakan momentum bagi Ahok untuk menjelaskan semua yang terjadi. Dalam Pengadilan yang sesungguhnya Ahok dituntut menjelaskan dan melakukan kalrifikasi bahwa apa yang dituduhkan terhadapnya tidaklah benar bahkan bersifat fitnah belaka. Bahkan apa yang telah dijelaskan dengan langsung membacakan nota keberatan/eksepsi pada persidangan pagi ini (read-kemaren) merupakan nama lain dari sebuah “kampanye”.

Karena paling tidak masyarakat tahu dan dapat mengerti duduk persoalan yang sebenarnya. Prosedur pengadilan sejatinya menjadi senjata pamungkas terakhir bagi Ahok untuk mencari keadilan di republik ini. Dimana keadilan yang selama ini dia cari disinyalir tidak ditemukan dalam tingkat penyidikan dan bahkan Penuntutan. Kedua lembaga penegak hukum tersebut terkesan bergerak cari aman atas peristiwa yang terjadi yang berakibat ditetapkannya ia sebagai tersangka lalu menjadi terdakwa.

Lain penyidik, lain pula dengan kejaksaan. Bola panas tidak lagi berada ditangan penyidik, kini telah beralih di kejaksaan. Sejak berkas perkara beserta tersangkanya diserahkan dari penyidik kepada Kejaksaan, maka saat itu tanggungjawab yuridis tidak lagi berada di pihak penyidik lalu kemudian bilamana dirasa cukup pihak Kejaksaan segera melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan guna disidangkan. Maka, dalam hal ini secara yuridis tanggungjawab atas terdakwa adalah pengadilan.

Dalam kacamata pemahaman hukum saya melihat kasus ini tidaklah didasari atas suka ataupun tidak suka belaka, namun berdasarkan sikap keilmuan hukum yang saya miliki, bukan pula dalam konteks membela atau tidak, namun lebih kepada keyakinan atas analisa norma suatu pasal yang menjeratnya. Kasus ini harus dilihat secara keseluruhan, tidak dapat dilihat secara sepotong-sepotong berdasarkan ego semata. Menurut hemat saya pertama,penerapan pasal 156A KUHP ini bernuansa dipaksakan, karena yang menjadi tolak ukur penodaan atau penistaan agama tidak memiliki kualifikasi yang jelas.

kedua,pasal 156A KUHP merupakan pasal karet dan bersifat subjektif sesuai dengan keinginan penguasa apalagi mendapat tekanan dari mayoritas ini terbukti dengan kecepatan proses yang terjadi, ketiga,tidak dapat dipungkiri, kasus ini penuh dengan muatan politis, dimana Ahok merupakan Calon Gubernur Petahana yang dianggap bersih, sukses dalam memimpin Jakarta, sehingga salah satu cara untuk melengserkan Ahok dan tidak memiliki tempat di hati rakyat dengan cara tuduhan penistaan atau penodaan agama, walaupun ini harus mendapat konfimasi nantinya dari pengadilan Keempat,dalam analisa saya majelis hakim akan menghukum ahok.

Namun tidak hukuam yang bersifat fisik, tetapi hukuman denda, kalupun fisik paling tidak sekitar 1 tahun penjara Kelima, pertanyaan singkatnya ialah apakah dengan tidak dihukumnya ahok berarti keadilan tidak ditegakkan? Justru berdasarkan dari beberapa pemberitaan yang beredar lalu dijustifikasi dengan eksepsi Penasehat Hukum keadilan tidak ditegakkan dalam kasus ini sejak berada ditangan penyidik, dimana tekanan begitu dasyat dan menakutkan penegak hukum untuk menetapkan ahok sebagai tersangka dan bahkan menahannya. Padahal sudah terdapat proses hukum yang mendahului sebelumnya. Dalam konteks ini hukum kehilangan kekuatan dan mengalami ketidakberdayaan ketika mendapat tekanan dari mayoritas dan ini pula apakah ini berarti mengingkari konstitusi?.

[1]  Lawyer

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun