Dalam bahasa sederhana ialah pasal 156A KUHP tidak memiliki nilai objektif sebagaimana norma pasal yang sesungguhnya. Sehinga setiap orang/setap warga Negara yang memiliki jaminan hak secara konstitusional selalu dihantui dengan keberadaan pasal a quo yang berakibat matinya daya kritis, matinya rasa saling menghormati, matinya rasa keadilan, matinya kebebasan lainnya serta memasung hak-hak yang telah mendapatkan jaminan sebagaimana aturannya.
Pasal ini juga sangat berbahaya bahkan lebih berbahaya dari ular berbisa sekalipun. Karena pasal ini berjalan hanya berdasarkan kemauan penguasa dan oknum yang tidak bertanggungjawab. Padahal untuk menerapkan suatu norma haruslah dilihat dari kacamata keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Akan tetapi inti dari suatu aturan ia “bermusyawarah” menjadi satu kata yaitu keadilan.
Keadilan yang dimaksud ialah keadilan yang sesuai porsinya, tidak berat sebalah dan diperlakukan sama terhadap masalah yang sama walaupun dalam kondisi yang berbeda. Keadilan yang bersumber dari nilai-nilai kebenaran, objektif dan rasional adanya, namun tidak berdasarkan suka tidak sukanya seseorang terhadap orang lain. Keadilan merupakan puncak tertinggi dari suatu aturan, maka guna menegakkan keadilan haruslah dilandasi dengan sikap yang berani, jujur, tanpa pandang bulu dan terlebih tidak didasarkan pada desakan kaum mayoritas.
Hukuman dalam kerangka analisa
Dalam adegium hukum dikenal dengan sebutan seburuk-buruknya aturan ia tetap aturan sampai nantinya ada lembaga yang berwenang atau lebih tinggi mencabutnya. Itulah kiranya kondisi yang teradi belakangan ini. Hukum yang buruk secara logika tidak mungkin diterapkan seburuk ketentuannya. Karena aturan itu ditujukan untuk masyarakat, tapi bukan masyarakat untuk hukum.
Aturan yang buruk mestinya dapat diluruskan dan diperbaiki oleh penegak hukum itu sendiri dalam tataran implemenasinya. Karena penegak hukum secara kewenangan diberikan hak untuk itu. Jika aturan yang buruk tidak diluruskan sebagaimana mestinya, maka hukum sudah tidak lagi memiliki nilai dimata hukum itu sendiri dan masayarakat, bahkan hukum dipastikan menjadi musuh terbesar sepanjang hidup manusia. Begitu pula kasus hukum yang menjerat Calon Gubernur Petahana Jakarta Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Selain hukuman secara fisik rupanya Indonesia secara tersirat memiliki pengadilan yang tidak diakomodir hukum Indonesia yaitu “pengadilan masyarakat”. Pengadilan masyarakat sejatinya lebih kejam dari pengadilan Negara pada umumnya, dimana pengadilan bertindak tidak berdasarkan ”aturan” dan bahkan dapat mengancam keselamatan seseorang dan sebaliknya. Ahok telah mendapatkan hukuman atas perbuatan yang telah ia lakukan. Adapun hukuman yang diterima diantaranya berupa caci maki, ancaman, hinaan, kebencian, permusuhan yang ditujukan kepadanya dan perbuatan lainnya.
Oleh karenanya pengadilan yang sesungguhnya-lah merupakan momentum bagi Ahok untuk menjelaskan semua yang terjadi. Dalam Pengadilan yang sesungguhnya Ahok dituntut menjelaskan dan melakukan kalrifikasi bahwa apa yang dituduhkan terhadapnya tidaklah benar bahkan bersifat fitnah belaka. Bahkan apa yang telah dijelaskan dengan langsung membacakan nota keberatan/eksepsi pada persidangan pagi ini (read-kemaren) merupakan nama lain dari sebuah “kampanye”.
Karena paling tidak masyarakat tahu dan dapat mengerti duduk persoalan yang sebenarnya. Prosedur pengadilan sejatinya menjadi senjata pamungkas terakhir bagi Ahok untuk mencari keadilan di republik ini. Dimana keadilan yang selama ini dia cari disinyalir tidak ditemukan dalam tingkat penyidikan dan bahkan Penuntutan. Kedua lembaga penegak hukum tersebut terkesan bergerak cari aman atas peristiwa yang terjadi yang berakibat ditetapkannya ia sebagai tersangka lalu menjadi terdakwa.
Lain penyidik, lain pula dengan kejaksaan. Bola panas tidak lagi berada ditangan penyidik, kini telah beralih di kejaksaan. Sejak berkas perkara beserta tersangkanya diserahkan dari penyidik kepada Kejaksaan, maka saat itu tanggungjawab yuridis tidak lagi berada di pihak penyidik lalu kemudian bilamana dirasa cukup pihak Kejaksaan segera melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan guna disidangkan. Maka, dalam hal ini secara yuridis tanggungjawab atas terdakwa adalah pengadilan.
Dalam kacamata pemahaman hukum saya melihat kasus ini tidaklah didasari atas suka ataupun tidak suka belaka, namun berdasarkan sikap keilmuan hukum yang saya miliki, bukan pula dalam konteks membela atau tidak, namun lebih kepada keyakinan atas analisa norma suatu pasal yang menjeratnya. Kasus ini harus dilihat secara keseluruhan, tidak dapat dilihat secara sepotong-sepotong berdasarkan ego semata. Menurut hemat saya pertama,penerapan pasal 156A KUHP ini bernuansa dipaksakan, karena yang menjadi tolak ukur penodaan atau penistaan agama tidak memiliki kualifikasi yang jelas.