Mohon tunggu...
Alungsyah mt
Alungsyah mt Mohon Tunggu... Praktisi Dikantor Hukum Sidin Constitution -

Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Analisa Tragedi Kopi

5 Februari 2016   19:02 Diperbarui: 14 Juni 2016   16:34 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Analisa Tragedi Kopi

Oleh: Alungsyah

Memasuki tahun baru tepatnya pada tanggal 6 Januari 2016 Indonesia kembali berduka dikejutkan dengan adanya kematian seorang wanita cantik bernama Mirna. Kematian mirna yang lebih parah lagi terjadi setelah menyeruput minuman yang diduga banyak digemari oleh kalangan muda bahkan menjadi ciri khas dari rakyat Indonesia yaitu kopi disalah satu tempat di Jakarta pusat tepatnya di Olivier Café beberapa bulan lalu. Akibat kematian mirna itu pula disinyalir menutup kasus-kasus besar atau popular lainnya, sebut saja misalnya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anggota DPR RI Masinton terhadap staffnya beberap minggu lalu. Kematian Mirna hingga kini masih misterius.

Hari demi hari menjadi tanda Tanya besar dibenak masyarakat khususnya untuk para keluarga yang ditinggalkan terlebih bagi kalangan penegak hukum dalam hal ini kepolisian sebagai penyidik. Dengan pertanyaan yang kontras yaitu siapa yang membunuh mirna? Dan siapa yang telah mencampurkan racun sianida kedalam kopi mirna, dan apa motif dari pembunuhan tersebut?.

Dia Pelakunya?

Tragedi kopi Vietnam di Grand Indonesia tepatnya di Kafé Olivier beberapa minggu lalu belum berakhir. Kasus ini setidaknya sempat menemukan jalan buntu dalam mengungkapnya bahkan motifnyapun tidak diketahui hingga detik ini. Hanya saja pihak kepolisian sebagai penyidik Subdit Jatanras Dit Reskrimum Polda Metro Jaya dengan segala kewenangan yang dimilikinya paling tidak berdasarkan ketentuannya telah memeriksa beberapa orang sebagai saksi atau bahkan diduga terlibat dalam kasus tersebut. Misalnya salah satu pegawai Kafé Olivier sendiri yang bernama Rangga dan teman Mirna (korban) yaitu Jessica Kumala Wongso. Nama terakhir dianggap sebagai saksi kunci kematian perempuan cantik itu akibat kopi yang diminumnya.

Bahkan Jessica telah mengalami berbagai macam pemeriksaan oleh penyidik, guna membuat terang persitiwa yang terjadi. Banyaknya pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik rupanya menjadikan kasus ini semakin terang dan bahkan juga terkesan dipaksakan. Karena perhatian atas kasus ini tidak hanya datang dari media atau para pejabat-pejabat di republik ini, namun hampir masyarakat Indonesia turut serta memperhatikan dan seolah mendesak penyidik untuk berbuat cepat.

Disatu sisi penyidik mengalami kegamangan dalam menentukan siapa tersangkanya, akan tetapi disisi lain penyidik yakin bahwa tersangkanya teman Mirna sendiri yaitu Jessica. Lebih lanjut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Khrisna Murti menyatakan status Jessica saat ini sudah menjadi tersangka. Kepastian penetapan tersangka terhadap Jessica setelah dilakukannya gelar perkara. Polisi, kata Krishna menentapkan Jessica sebagai tersangka, pada Jumat 29 Januari 2016, sekitar pukul 23.00 WIB (Metrotv News.com 30/1). Penetatapan tersangka merupakan tindakan yang wajar, namun kewajaran tersebut harus berdasarkan rule of game sebagaimana ketentuan yang ada.

Karena Jessica merupakan orang yang mentraktir dan memesankan kopi untuk Mirna sebelum tiba dilokasi. Ditambah dengan keterangan beberapa ahli disertai dengan telah tercukupinya dua alat bkti yang sah (bukti permulaan), maka Jessica-lah pembunuhnya. Tindakan penyidik menuai pro dan kontra ditengah publik, tak sedikit yang yakin bahwa Jessica sebagai pembunuh Mirna, apalagi diperkuat dengan komentar keluarga korban dalam hal ini bapak Mirna sendiri. Tak sedikit juga yang tidak yakin bahwa Jessica bukanlah pembunuhnya, sebab statemen yang beredar bagaimana mungkin ia merencanakan semuanya, sedangkan ia tetap menunggu dalam meja yang sama.

Dalam Negara demokrasi perbedaan pandangan dan berpendapat itu sah-sah saja begitu pula dalam kasus ini.Walaupun spekulasi ini secara kenyataan hukum belum bisa dijadikan parameter bahwa Jessica pelakunya. Sebab yang pasti asas praduga tak bersalah tetaplah melekat terhadapnya. Untuk selanjutnya harus dilakukan tindakan lebih lanjut sebagaimana hukum acara yang berlaku, hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inckrah).

Analisa Kejadian

Ditetapkannya Jessica sebagai tersangka tentunya tidak mengherankan, namun setidaknya juga mengejutkan. Karena kejadian yang sesungguhnya berawal ketika Jessica memesan kopi untuk temannya Mirna (korban) dan Hanny sebagai teman lamanya yang sudah lama tidak bertemu. Singkat cerita pada hari kejadian Jessica datang terlebih dahulu ke Café Olivier Grand Indonesia sekitar pukul 16.00 wib, sedangkan 20 menit kemudian Mirna dan Hanny datang, keduanya langsung duduk dimeja, Hanny berada diposisi paling kiri, Jessica dipaling kanan, Mirna paling tengah. Mirna langsung meminum minumannya (detiknews 19/1). Berarti kedatangan keduanya memiliki jedah waktu sekitar 20 menit.

Dalam keterangannya kopi yang dipesan oleh Jessica merupakan keinginan dari Mirna sendiri dan dalam hal ini pula Jessica bertindak sebagai orang yang mentraktir, ini dilakukan Jessica semata-mata atas kebaikan Mirna terhadap dirinya selama ini. Sehingga kopi tersebut berada dalam kekuasaan Jessica sebagai orang yang pertama datang sekaligus sebagai orang yang tampak dari luar mengetahui soal kopi tersebut.

Pada kesempatan ini mau tidak mau, suka tidak suka bahwa berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik Jessica-lah sebagai otak dari semuanya. Bahkan guna memperjelas kasus ini penyidik dalam hal ini Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes pol Krishna Murti mengatakan akan menggunakan teori  hukum Conditio Sine Qua Non (sindonews.com 25/1).Penggunaan teori ini dianggap tidaklah tepat,bahkan terkesan dipaksakan. Karena dalam hukum pidana berdasarkan teori tersebut, secara sederhana kejahatan yang terjadi mengalami hubungan yang panjang kebelakang atau dengan kata lain menarik hubungan kausal terlalu jauh dan tidak ada habisnya.

Tiap-tiap syarat atau semua faktor yang turut serta atau bersama-sama menjadi penyebab suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap causa (akibat). Tiap-tiap faktor memiliki nilai yang sama dan sederajad tidak membedakan faktor syarat dan faktor penyebab. Jika salah satu syarat tidak ada maka akan menimbulkan akibat yang lain pula. Teori ini juga disebut dengan equivalent theori karena setiap syarat nilainya sama dan bedingung theori sebab bagianya tidak ada perbedaan antara syarat dan penyebab. Ajaran ini berimplikasi pada perluasan pertanggungjawaban dalam perbuatan pidana. Artinya teori ini dikenal secara populer bertentangan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonden schuld).

Bilamana kepolisian dalam hal ini penyidik mau“bersabar’dalam menentukan tersangkanya, maka kasus ini tidak demikian jadinya. Karena penetapan Jessica sebagai tersangka dianggap sebagai pencapaian target dan tekanan dari berbagai pihak kepada penyidik. Semua mata tertuju kepada Jessica dan semua kejadian mengarah kepadanya dengan tidak memperhatiakan rentetan kejadian yang sesungguhnya. Seolah cerita yang beredar dirasa tidak adil dan tidak memiliki nilai objektif. Ini bukanlah omong kosong belaka, namun dapat dipertanggungjawabkan dengan logika paling rasional, tidak hanya dapat dimengerti oleh orang tertentu, masyarakat awampun pastilah mengetahuinya. Mengapa demikian, bayangkan atas kasus ini sepengetahuan saya belum pernah terungkap atau bahkan yang membahasnya dimedia manapun, baik itu oleh penyidik terlebih para pakar yang katanya memiliki keahlian khusus dibidangnya.

Mungkin ini hanya diungkap untuk pertama kalinya pada tulisan ini terkait dengan logika rentetan yang terjadi yang menetapkan Jessica sebagai tersangka. Dimulai dari sebuah pertanyaan mengapa Jessica sebagai tersangka? Apakah benar Jessica sebagai pembunuhnya dengan memasukan racun kedalam minumanna Mirna?. Menurut saya sebagai seorang praktisi hukum, tidaklah demikian, apa yang dilakukan oleh kepolisian sebagai penyidik penuh dengan tekanan, emosi bahkan dapat dikatakan hanya sebatas pemenuhan target semata dari desakan pihak tertentu.

Karena secara objektif tidak demikian adanya. Jangan sampai penyidik berpikir yang penting sudah ditetapkan sebagai tersangka dan untuk selanjutnya itu urusan Jaksa selaku penuntut Umum. Setelah itu seolah penyidik lepas tangan dan tidak memiliki lagi tanggungjawab secara yuridis. Ini jika dibiarkan akan menimbulkan peradilan sesat sebagaimana kejadian-kejadian terdahulu sebut saja kasus sengkon dan karta.Walaupun mereka secara fakta hukum dipersidangan terbukti bersalah, namun akhirnya keadilan dan kebenaran terungkap.

Logika rentetan yang tidak disentuh oleh siapapun itu ialah bahwa benar secara kasat mata kopi beserta gelasnya berada dalam kekuasaan Jessica (teori penguasaan). Namun apakah ada yang mengetahui bahan mentah kopi tersebut sebelum diolah menjadi kopi cair yang siap diminum?. Yang dimaksud ialah siapa yang meracik kopi, gula dan sejenisnya lalu memasukannya kedalam gelas,kenapa ini tidak ditelusuri dan diungkap dengan jelas oleh pihak kepolisian. Lalu apakah ada orang yang memesan misalnya dengan meminta tolong masukan benda ini kedalam kopi dimaksud, kemudian setelah kopi itu jadi, ketangan siapa saja kopi itu berpindah. Walaupun dikatakan bahwa kopi itu dibuat tidak sendirian dalam arti ada sepuluh kopi yang dibuat secara bersamaan yang siap untuk diantar dan dihidangkan ke tiap-tiap pemesan.

Namun tidak menutup kemungkinan juga itu merupakan kesalahan eksekusi dan sasaran yang dituju, baik secara pelaku maupun korbannya sebagaimana sempat dikatakan oleh Reza Indragiri Amriel beberapa hari lalu di ILC TV One. Rentetan inilah yang harus ditelusuri. Berarti Jessica bukanlah orang yang pertama atas kopi yang dimaksud. Ini bukan berarti ingin memojokkan orang yang meracik kopinya apalagi ingin merusak nama kafe tempat dimana terjadinya perkara, namun ini dilandasi berdasarkan peristiwa secara objektif dan rasional adanya. Bukan juga berarti ingin menuduh atau bahkan mendikreditkan siapapun itu. tetapi dari rentetan tersebutlah yang harus diungkap dan dibangunkan ketengah publik.

Karena konstruksi stetemen yang sempat diungkapkan oleh pakar Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel dalam tayangan Indonesia Lawyers Club di TV One beberapa hari yang lalu rasional adanya dengan mengatakan bahwa mana mungkin pembunuh berada dalam satu meja yang sama dan menunggu hingga matinya korban. Begitupun yang sempat diungkapkan oleh pengacara kondang Hotman Paris Hutapea dalam acara yang sama beliau mengatakan mana mungkin pembunuh melakukan itu pada tempat yang ramai banyak orang dan menunggu sampai korbannya meninggal dan lain sebagainya. Jadi apa yang telah teradi harus diletakan seobjektif mungkin dengan penuh kehati-hatian. Agar apa yang dilakukan tidak merugikan orang lain terutama dalam menentukan status tersangka.

 Penulis merupakan praktisi hukum, pada kantor hukum Sidin Constitution

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun