Mohon tunggu...
Alungsyah mt
Alungsyah mt Mohon Tunggu... Praktisi Dikantor Hukum Sidin Constitution -

Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pembantu vs Lembaga Negara

18 November 2015   11:56 Diperbarui: 18 November 2015   12:53 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Pembantu Vs Lembaga Negara

Oleh: Alungsyah

Tidak begitu lama desas desus pencatut nama Presiden dan Wakil Presiden RI mulai sedikit terkuak. Tadinya masih merupakan tanda Tanya ditengah publik kini menemukan titik terang yang mengarah kepada pelakunya. Atas “tertangkapnya” pencatut tersebut sebelumnya sudah diduga bahwa ia bukanlah orang biasa. Bahakan ada juga pihak yang meraba-raba soal ini bahwa yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden merupakan orang yang kuat baik secara kedudukan, jabatan serta memiliki benteng pertahanan yang kokoh dalam politik.

Pertarungan Lembaga

Baru-baru ini Presiden dan Wakil Presiden melalui menterinya, menteri ESDM Sudirman Said membuat gebrakan mengejutkan terkait tindakan yang dilakukannya dengan melaporkan Ketua DPR RI Setya Novanto ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD), dengan tuduhan melakukan pencatutan nama Presiden dan wakil Presiden ketika bertemu dengan petinggi PT Freeport Indonesia terkait jatah saham. Aksi nekat yang dilakukan oleh Sudirman Said merupakan langkah yang berani, sebab dikatakan dalam keterangannya ia mendapatkan dukungan penuh dari Presiden dan Wakil Presiden (detik.com 17/15). Tidak sampai disana lebih lanjut Sudirman Said membawa bukti transkrip percakapan antara Setya Novanto dengan petinggi Freeport dan pengusaha berinisial R.

Di percakapan itu, ada penyebutan Presiden dan Wakil Presiden dalam upaya membahas saham dan proyek. Sempat disinggung juga soal rencana pembelian pesawat jet pribadi dan 'happy-happy'. Kasus ini bukanlah kasus yang biasa dan laporan atas setya Novanto ke MKD merupakan tindakan yang serius dan harus ditindaklanjuti dengan ketentuan yang berlaku. MKD dalam hal ini harus memberikan sanksi yang tegas kepada Setya Novanto, sebab jika ini benar adanya Setya Novanto pada tahun ini setidaknya 2 kali melakukan tindakan yang dianggap memalukan. Jika pun MKD tidak memberikan sanksi yang tegas, maka sudah sepantasnya MKD dihapukan dan tiadakan dari pada keberadaannya dianggap sebagai pelengkap dan mubazir adanya. Perlu diketahui setidaknya Setya Novanto secara tidak langsung telah mencemarkan dan menghianati tidak hanya atas nama pribadi, namun ini justeru melibatkan pertaruangan antara pembantu presiden dan lembaga Negara.

Karena secara pribadi Setya Novanto merupakan ketua DPR RI yang memiliki kebijakan yang penuh atas tindakan yang ia lakukan, jabatan yang diemban olehnya mengikuti kemanapun ia berada, sebab bisa dibilang bahwa ketua DPR merupakan simbol DPR itu sendiri. Atas tindakan Sudirman Said yang direstui oleh Presiden dan Wakil Presiden tersebut, dalam kacamata saya bahwa sebenarnya ini merupakan pertarungan antar lembaga Negara (Presiden) dan DPR. Mengapa demikian, karena secara logika, Presiden dan Wakil Presiden yang merasa dirugikan terutama ini menyangkut masalah Negara dan kesejahteraan umat, justru ia tidak mau masuk lebih dalam terhadap kasus ini, sehingga cara yang dilakukan pun terkesan berhati-hati dan rapi menyikapinya dengan menggunakan tangan pembantunya untuk “menampar” ketua DPR RI. Logika lainnya ialah mana mungkin seorang pembantu bertindak dan bergerak tanpa sepengetahuan majikannya dan inilah yang terjadi pada menteri ESDM.

Pertarungan Partai

Selain pertarungan individu, antar lembaga Negara, ini bisa jadi juga melibatkan dan merambat ke pertarungan partai politik pengusung. Mengapa demikian sebab terpilihnya Setya Novanto sebagai ketua DPR RI merupakan sebab dari segalanya dan menuai kontroversi/perlawanan dari beberapa fraksi partai yang tergabung dalam koalisi Indonesia Hebat pada waktu itu, bahwa ini pertanda Setya Novanto merupakan “bayi” yang tak diinginkan atas kelahirannya dan tidaklah pantas menduduki posisi orang nomor satu di DPR RI. Perlawanan selanjutnya ialah datang dari Ketua KPK non aktif Abraham Samad, seolah apa yang terjadi hari ini merupakan sedikit konfirmasi dari apa yang ia katakan sebelumnya bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR periode 2014-2019. Sebab Setya Novanto berpotensi mempunyai masalah hukum (goriau.com 2/10/14). Atas “lirik” yang “dinyanyikan” Abraham Samad tentu tidak bisa dikesampingkan, karena bisa jadi itu merupakan kebenaran yang tertunda atau bahkan KPK sudah mengantongi kasus yang Setya Novanto lakukan dan memiliki indikasi untuk menetapkan Setya Novanto menjadi tersangka.

Seperti diketahui, Setya Novanto akrab berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut catatan merdeka.com, Setya beberapa kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap Revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau oleh KPK. Ruang kerjanya di DPR pun pernah digeledah KPK terkait kasus yang menjerat mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang juga politikus Partai Golkar. Selain kasus suap PON Riau, Setya pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait sengketa pemilihan kepala daerah yang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Kasus ini menjerat mantan Ketua MK, Akil Mochtar, yang juga mantan politikus Partai Golkar. Nama Setya juga disebut-sebut terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri.

Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menyebut Setya dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai pengendali proyek e-KTP. Nazaruddin menuding Setya membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Setya juga disebut mengutak-atik perencanaan dan anggaran proyek senilai Rp.5,9 triliun tersebut (goriau.com 2/10/14). Selain itu Menurut Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yunto, mengatakan bahwa Setya Novanto diduga pernah menjadi tersangka perkara korupsi skandal cessie Bank Bali senilai Rp 546 miliar, bahkan hingga kini status hukumnya belum jelas (merdeka.com 2/10/14). Oleh kerena itu tidak mengherankan lagi jika atas perbuatan yang dilakukan oleh Setya Novanto yang dilaporkan oleh Sudirman Said mendapat dukungan dari beberapa partai sebut saja NasDem dan PKS.

Harus dihukum

Jika benar ini adanya tak ada yang tepat untuk menggambarkan apa yang telah dilakukan oleh Setya Novanto, mulai dari menghadiri kampanye Donald Trump di Amerika Serikat beberapa bulan yang lalu sampai dengan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden di PT Freeport Indonesia yang mengakibatkan dirinya dilaporkan ke MKD oleh meteri ESDM Sudirman Said. Sanksi tegas haruslah dijatuhkan terhadapnya, ini tidak hanya menyangkut masalah etik semata bahkan ini bisa masuk keranah pidana, jika MKD memiliki niatan dan tujuan yang serius menangani persoalan ini, maka dapat dipastikan Setya Novanto akan mendapatkan hukuman yang layak.

Hukuman yang dapat diberikan terhadapnya bukan lagi ke dalam bentuk teguran dan administrasi, namun pemberhentian secara tidak hormat patutlah diberikan, mengingat persoalan ini tidak semata masalah internal Negara, namun sudah menjual harga diri Negara kapada pihak asing. Jika pun tidak terbuki bahwa ia yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden, maka sudah sepatutnya Sudirman Said diberhentikan dari jabatannya atau bahkan dipidanakan atas pencemaran, fitnah yang ia lakukan.

Penulis merupakan praktisi hukum pada kantor hukum Sidin Constitution

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun