Mohon tunggu...
Alungsyah mt
Alungsyah mt Mohon Tunggu... Praktisi Dikantor Hukum Sidin Constitution -

Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jurus "Sakti" Palu Hakim

17 Februari 2015   17:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:02 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jurus "Sakti" Palu Hakim

Alungsyah

Ini merupakan hari yang menegangkan untuk sebagian orang terutama untuk lembaga antirasuah KPK. Tapi tidak dengan pihak sang "winner" Budi Gunawan "BG". Mengapa demikian, karena tepatnya pada hari Senin tanggal 16 Februari 2015 sekitar pukul 09.30 Wib ketukan palu hakim Sarpin Rizaldi telah memasuki babak akhir. Akhir-akhir ini siapa yang tak kenal hakim tunggal praperadilan Sarpin Rizaldi, sang "predator" keadilan merupakan hakim "terbaik" versinya ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengambil alih tugas yang diminta oleh Budi Gunawan "BG". Sejak ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setidaknya hakim tersebut sudah menuai pro dan kontra dimata publik, mengingat track recort yang ia miliki sebagai hakim kurang oke dalam memutus kasus. Terutama dari laporan oleh LSM ke lembaga pengawas hakim (Komisis Yudisial) terkait aksi "gilanya" yang dianggap menyimpang. Kondisi demikian sekiranya berlanjut pada sidang awal dilakukan, yang mana sejatinya publik berharap banyak terhadap hakim yang bersangkutan, namun tak jarang publik juga dibuat gamang akan tindakan yang nantinya hakim Sarpin Rizaldi lakukan.

Berdasarkan selama proses persidangan praperdilan dilakukan, sejatinya terdapat ruang gerak yang sempit untuk menangkap jalannya persidangan, baik itu dari tahap awal maupun akhir menjelang putusan, karena pada prosesnya sidang dibuka dan terbuka untuk umum, terlebih Komisi Yudisial-pun tidak ketinggalan untuk menyaksikannya. Tapi yang paling krusial ialah pada tahap proses pembuktian dipersidangan. Dimana, rekapitulasi fakta-fakta yang terjadi tentu kedua belah pihak memiliki rasa optimisme yang tinggi, sebab semua mengatakan ini sesuai dengan ketentuan yang sesungguhnya. Tak heran jika dalam wawancaranaya menjelang putusan, baik itu pihak KPK maupun Budi Gunawan mengatakan "yakin akan ditolak dan/atau dikabulkan". Pada tahap ini pula publik terlena dan berharap banyak kepada hakim untuk menolak kasus yang terjadi, tak terkecuali sebaliknya, bahkan seolah Republik terbelah menjadi dua kubu, pro KPK dan pro Polri. Dengan rasa optimisme yang tinggi publik yakin dengan seyakin-yakinnya, bahwa secara ketentuan peraturan yang ada (KUHAP) hakim Sarpin Rizaldi selaku hakim tunggal akan menolak permintaan/permohonan Budi Gunawan dan kuasa hukum ajukan, tetapi tidak dengan faktanya dan semua mata tertuju pada dua sosok yaitu hakim Sarpin Rizaldi beserta palunya. Publik tak henti bertanya-tanya, ada apa ini?

Penafsiran atau Terobosan?

Dalam dunia hukum dikenal adanya penafsiran hukum dan terobosan hukum, penafsiran hukum merupakan menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya. Hukum harus ditegakkan ditengah-tengah masyarakat dan dalam upaya penegakkan hukum, hakim sebagai penegak hukum tentu akan dihadapkan pada pelbagai kaidah baik itu tertulis maupun tidak tertulis. Berarti dalam menjalankan tugasnya hakim berpegang teguh kepada kodifikasi agar mendapat kepastian hukum. Disisi lain hakim juga dalam memutuskan perkara berpegang teguh pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku dalam masyarakat secara gobenden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gobendenheid (keterikatan yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi oleh pasal 20 AB yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasrkan undang-undang, sedangkan untuk pasal 22 AB mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap. Jika hakim menolak mengadili perkara tersebut, maka dapat dituntut.

Apabila dalam ketentuan undang-undangnya tidak ada, hakim dapat menciptakan hukum dengan konstruksi hukum (analogi), penghalusan hukum dan argumentum a contracio. Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Oleh karena itu setidaknya terdapat beberapa penafsiran dalam hukum diantaranya ialah penafsiran gramatikal, penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran autentik, penafsiran ekstensif, penafsiran analogi, penafsiran restiktif, penafsiran a contrario dan penafsiran perbandingan. Bila dilakukan analisa hukum, dari beberapa penafsiran tersebut diatas hakim Sarpin Rizaldi selaku hakim tunggal praperadilan jelas tidak masuk dalam kategori penafsiran yang ada atas tindakan atau putusan yang telah ia perbuat. Akan tetapi dalam keteranganya hakim Sarpin Rizaldi mengatakan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka merupakan objek dari praperadilan. Ini merupakan pernyataan yang sulit untuk diterima atas kebenarannya, sebab secara tersurat maupun tersirat KUHAP tidak mengatur dan membenarkan akan hal itu (Lihat pasal 77-82 KUHAP).

Jika bukan merupakan penafsiran hukum, bagaimana dengan terobosan hukum? Apakah ini merupakan bagian darinya? Dengan putusan yang mengabulkan permohonan Budi Gunawan melalui palu saktinya, hakim Sarpin Rizaldi ternyata menimbulkan pro dan kontra ditengah para ahli hukum. Bagaimana tidak putusan yang seharunya tapi tidak dilandasi dengan kenyataannya. Dari hal tersebut juga saya rasa tidak sedikit yang mengatakan ini merupakan bagian dari terobosan hukum, akan tetapi untuk menganalisa itu semua tidaklah sedikit waktu dan teori yang digunakan. Ini memerlukan kejernihan dalam melihat kompleksitas yang terjadi. Sekalipun atas nama terobosan hukum, dirasa terobosan yang digunakan tetaplah rasional adanya dan tidak menyimpang dari ketentuan logika hukum yang semestinya. Atas dasar itu juga, disisi lain hakim haruslah independen tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Pertanyaan sederhana ialah sampai dimana ke-independen-an hakim Sarpin Rizaldi, apakah kata independen hanya tepat digunakan untuk pihak Budi Gunawan, karena telah memenangkan "pertarungan" atau bahkan sebaliknya untuk pihak KPK selaku pihak yang dikalahkan? Perlu diketahui Ke-independen-an seorang hakim bukanlah apa yang terlihat nyata untuk mengukurnya, namun apa yang tidak nyata haruslah dilihat dan dianlisa dari sisi-sisi lainnya baik itu kondisi, situasi, timing, individual, keluarga bahkan dari sisi yang memungkinkan lainnya.

Harus diperiksa

Dengan mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan, Publik dibuat tersentak untuk kesekian kalinya. Sebab secara ketentuan yang ada untuk menguji sah tidaknya suatu penetapan sebagai tersangka bukanlah objek praperadilan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sesungghunya telah memberikan batasan (limited) terkait dengan objek praperadilan, yang mana diantaranya ialah Pertama, sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan. Kedua, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan (pasal 77 huruf a), ketiga¸ sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan dan atau penyitaan (pasal 82 ayat 1 huruf b jo pasal 95 ayat 2 KUHAP), dan keempat, ialah permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau pada tingkat penuntutan (pasal 77 huruf b KUHAP) (baca: menganalisa praperadilan Budi Gunawan). Dari batasan tersebut berarti Sarpin Rizaldi selaku hakim tunggal tidak adanya celah dengan alasan apapun untuk memasukan sah tidaknya penetapan tersangka sebagai bagian dari objek praperadilan. Namun, kondisi yang terjadi tidak ada yang menduga bahwa hakim Sarpin Rizaldi akan mengabulkan permohonan Budi Gunawan, kecuali ditentukan lain yaitu Budi Gunawan dan kuasa hukumnya. Ini bagian dari pemandangan yang anah tapi tidak dengan hasilnya.

Tindakan yang dilakukan oleh hakim tunggal Sarpin Rizaldi dinilai telah keluar dari relnya. Tak sedikit para ahli hukum yang meresponnya, bahkan lembaga peradilan tetinggi sekelas Mahkamah Agungpun ikut bersuara dibuatnya. Mengapa tidak, sebab idealnya praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan patutlah untuk ditolak, karena bukanlah bagian dari objek praperadilan sebagaimana ketentuan dalam KUHAP. Oleh karena itu hakim Sarpin Rizaldi haruslah diperiksa baik secara pribadi mapun secara putusan yang dikeluarkan. Penulis berpandangan Mahkamah Agung harus segera mengoreksi kembali putusan praperadilan Budi Gunawan yang menghilangkan status tersangka yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya putusan tersebut sekaligus membatalkan status tersangka Budi Gunawan atas kasus korupsi. Padahal sebagaimana dikatakan oleh mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan dalam hukum Indonesia, praperadilan tidak bisa membatalkan atau menghilangkan status tersangka, ini merupakan hal baru dan pertama terjadi di Indonesia (Republika.co.id 16/2). Disisi lain penulis berpandangan tindakan yang dilakukan oleh hakim Sarpin Rizaldi merupakan tindakan yang aneh, seolah ia mengalami tekanan dan ancaman yang begitu dasyat tidak hanya untuk dirinya, tapi melibatkan keluarganya. Walaupun dalam beberapa kesempatan beliau mengatakan tidak pernah diteror dan mendapatkan ancaman sebagaimana yang dialami oleh pihak KPK dan Polri dan dalam keterangannya juga, bahwa ia tidak perlu dijaga, tuhanlah yang menjaganya.

Atas dasar tersebut pula sekiranya Mahkamah Agung segera turun tangan untuk "mengungkap" apa yang terjadi sesungguhnya dan atas dasar putusan itu pula tidak ada alasan Mahkamah Agung untuk tidak menindaklanjuti dan berpangku tangan dalam melihat persoalan yang terjadi. Ini dilakukan demi keadilan dan penegakkan hukum serta kepastian hukum yang berkeadilan.

Lonceng Kematian KPK

DIikabulkannya permohonan praperadilan Budi Gunawan ternyata mendapat respon dari para pakar hukum, satu diantaranya ialah pakar hukum tata Negara Refly Harun. Dalam diskusinya beliau mengatakan ini merupakan lonceng kematian KPK (1/2). Apa yang dikatakan pakar hukum tersebut jelas memiliki makna dan konotasi yang itu kurang baik, sebab ini merupakan putusan yang aneh. Sedangkan untuk menentukan penetapan tersangka merupakan kewenangan dari penegak hukum dan paperadilan hanyalah berkaitan dengan prosedur penangkapan dan penahanan semata. Dengan begitu putusan tersebut akan merusak tatanan sistem hukum di Indonesia. Mengapa tidak, karena dengan berbekal putusan Budi Gunawan tersebut nantinya semua tersangka baik itu di Polri maupun di Kejaksaan terlebih di KPK akan beramai-ramai mengajukan permmintaan/permohonan praperadilan guna menguji keabsahan status tersangka.

Dalam pandangan penulis atas dinamika yang terjadi ada beberapa solusi yang harus ditempuh diantaranya ialah; pertama, KPK selaku pihak yang dikalahkan sudah seharusnya untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung guna membatalkan dan memeriksa putusan pengadilan Negeri tersebut, walaupun upaya hukum lauar biasa (PK) tidak mendapatkan pengaturan dalam KUHAP, akan tetapi dalam praktik hukum sudah pernah terjadi pemeriksaan Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilan yang didasarkan pada ketentuan pasal 263 (1) KUHAP dan pasal 23 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 sebagaimana telah diubanh dengan Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan perkara No. PK/pid/1989 tanggal 7 Februari atas nama Drs. Lukito kedua, dengan diajukannya PK oleh pihak KPK, sudah seharunya MA menerima, memeriksa dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan guna mengembalikan wibawa hukum acara di Indonesia. Ketiga, harus dilakukannya eksaminasi putusan terhadap putusan yang dikeluarkan oleh hakim Sarpin Rizaldi selaku hakim tunggal praperadilan, keempat, berdasarkan putusan tersebut sejatinya KPK segera melakukan penetapan tersangka kembali terhadap Budi Gunawan, yang mana prosedur yang dilakukan dianggap tidak tepat, sehingga hanya melakukan perbaikan ulang terhadap prosedur penetapan sebagai tersangka atau kelima, KPK melanjutkan kasus yang ada tampa melihat hasil dari putusan praperadilan tersebut, walaupun ini menyimpang, namun jika-lau putusan tersebut dianggap terobosan hukum, maka tindakan untuk melanjutkanpun "fear" kiranya sebagai "terobosan hukum" terlebih KPK tidak memiliki kewenangan untuk meng-SP3 tersangka.

Note: Tulisan ini hanyalah pandangan dan analisa subjektif penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun