Mohon tunggu...
opi novianto
opi novianto Mohon Tunggu... Lainnya - suka dunia militer

Suka otomotif dan dunia militer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sisingaan: Tradisi Subang Yang Tak Lekang Zaman

29 Juli 2015   06:38 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:18 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kesenian Sisingaan yang Digemari Warga Subang"][/caption]

Pada bulan Syawal pasca lebaran di kampung-kampung marak diadakan hajatan. Jika bukan nikahan, ya khitanan. Bahkan, pada akhir pekan bisa ada dua acara bersamaan. Nah, saat silaturahmi ke rumah handai taulan di Subang pada H+4 lebaran lalu saya menonton aksi hajatan dengan kesenian Sisingaan sebagai atraksi utama.

Saat itu saya habis berbelanja dari Pasar Kalijati. Ketika dalam perjalanan balik ke rumah paman, jalanan desa yang biasanya lengang menjadi macet. Selidik punya selidik, ternyata di depan kami sedang ada atraksi seni Sisingaan atau gotong singa dari pemilik hajat. Saya tidak tahu persis apakah hajatan itu pernikahan ataukah khitanan. Yang jelas si empunya hajat menyewa kesenian tradisional yang masih populer di Subang yaitu Sisingaan.

[caption caption="Rombongan Kesenian Sisingaan yang Disambut Warga"]

[/caption]

Tampak rombongan yang terdiri dari empat tandu Sisingaan yang berjalan kemudian diikuti oleh gerobak yang mengangkut grup musik. Rombongan paling belakang adalah genset mini sebagai sumber tenaga listrik. Para pengusung Sisingaan berjalan sambil menari diiringi musik sehingga membuat sisinggaan yang diusungnya bergerak seolah mengangguk-angguk sehingga terkesan hidup.

[caption caption="Tua Muda Asyik Menonton Arak-arakan"]

[/caption]

Namun, ada yang istimewa di Sisingaan yang saya tonton kali ini. Sisingaan ini tidak berwujud singa seperti pada umumnya, melainkan kombinasi singa dan seekor naga. Sehingga wujudnya adalah binatang berkaki empat, berkepala naga, berekor, dan bersayap. Ada-ada saja. Dan kepala hewan tunggangan ini ada yang berkepala tiga dan ada juga yang wujudnya absurd yakni berkepala tujuh.

Sisingaan ini boleh dinaiki oleh tetangga atau tamu hajatan. Konon jika ada tetangga yang bukan keluarga dari si empunya hajat namun ia ingin menaiki Sisingaan maka akan dikenai biaya Rp 500 ribu/orang. Lumayan mahal juga ya tarifnya.

 [caption caption="Sisingaan Berbentuk Naga"]

[/caption]

Rupanya kesenian Sisingaan ini menurut Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung sudah dikenal di Kabupaten Subang sejak masa penjajahan atau persisnya sekitar tahun 1812. Pada masa itu Subang dikuasai Belanda secara politik, sedangkan secara ekonomi dikuasai oleh Inggris dengan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden.

Kesenian ini awalnya merupakan bentuk ketidaksukaan masyarakat Subang yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Penggunaan patung singa disengaja karena merupakan lambang negara penjajah sehingga saat kesenian ini dihelat para penguasa tidak mengekang, malahan bangga karena simbol negaranya digunakan. Padahal adanya penunggang Sisingaan yang menjambaki patung singa menyimbolkan kebencian.

Saat itu rombongan Sisingaan terdiri atas empat pengusung Sisingaan, penunggang, waditra nayaga atau pemain musik seperti angklung, dan sinden. Pengusung bermakna rakyat yang menderita, penunggang adalah para pemuda yang diharapkan mengusir penjajah, dan waditra nayaga sebagai sosok pembangkit semangat. Lagu-lagu yang dimainkan seperti Manuk Hideung dan Tunggul Kawung.

 [caption caption="Wow Kepala Naganya Tujuh"]

[/caption]

Jika dulu Sisingaan berfungsi sebagai simbol pemberontakan dan ketidakpuasan, kini digunakan untuk prosesi hajatan. Penarinya menggunakan kostum berwarna-warni, gerak tarinya semakin beragam dengan menambahkan unsur pencak silat dan jaipong. Alat musik pengiringnya juga ditambahkan dengan berbagai perkusi seperti gong dan kendang juga lagu yang dimainkan terkadang lagu-lagu populer masa kini, meskipun juga tetap dimainkan lagu-lagu dari kesenian Ketuk Tilu seperti lagu Kidung, Kangsreng, dan sebagainya.

Kata paman, kesenian Sisingaan ini masih laris disewa saat hajatan. Bukan hanya warga desa Kabupaten Subang yang menyukainya, warga kota juga tertarik. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir juga rutin diselenggarakan festival Sisingaan tahunan yang diikuti kelompok Sisingaan di seluruh Subang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun