Saat itu rombongan Sisingaan terdiri atas empat pengusung Sisingaan, penunggang, waditra nayaga atau pemain musik seperti angklung, dan sinden. Pengusung bermakna rakyat yang menderita, penunggang adalah para pemuda yang diharapkan mengusir penjajah, dan waditra nayaga sebagai sosok pembangkit semangat. Lagu-lagu yang dimainkan seperti Manuk Hideung dan Tunggul Kawung.
 [caption caption="Wow Kepala Naganya Tujuh"]
Jika dulu Sisingaan berfungsi sebagai simbol pemberontakan dan ketidakpuasan, kini digunakan untuk prosesi hajatan. Penarinya menggunakan kostum berwarna-warni, gerak tarinya semakin beragam dengan menambahkan unsur pencak silat dan jaipong. Alat musik pengiringnya juga ditambahkan dengan berbagai perkusi seperti gong dan kendang juga lagu yang dimainkan terkadang lagu-lagu populer masa kini, meskipun juga tetap dimainkan lagu-lagu dari kesenian Ketuk Tilu seperti lagu Kidung, Kangsreng, dan sebagainya.
Kata paman, kesenian Sisingaan ini masih laris disewa saat hajatan. Bukan hanya warga desa Kabupaten Subang yang menyukainya, warga kota juga tertarik. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir juga rutin diselenggarakan festival Sisingaan tahunan yang diikuti kelompok Sisingaan di seluruh Subang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H