Pada sikon seperti itu, Nadiem Makarim memunculkan Kurikulum Merdeka dan  Asesmen Nasional terhdap Peserta Didik, Satuan Pendidikan, Kepala Sekolah, dan Guru-guru (Guru Kelas, Wali Kelas, dan Guru Bidang Studi). Semuanya, kata Nadiem, demi perbaikan mutu (hasil) Pendidikan Nasional.
Namun, menurut saya, "Apa gunanya mutu pendidikan tersebut, jika di dalam dirinya telah tertanam sifat-sikap intolerasi serta radikalisme?" Juga, "Bagaimana mungkin guru bisa menghasilkan lulusan berkualitas, jika ia/mereka mendidik dengan bumbu intoleran dan radikalisme?"
Jadinya, jika memang Kurikulum Merdeka dari Nadiem Makarin tersebut juga bersifat Memerdekakan, maka kemarin saya menulis bahwa,
Kurikulum Merdeka bukan sekedar memberi kemerdekaan ke/pada Satuan Pendidikan (PAUD hingga PT) untuk bebas menata sistem dan kurikulum sendiri, bahkan sesuka-sukanya. Sebab, Kurikulum tak bisa berbeda dari tunjuan Pendidikan Nasional dan UUD 45.
Selain itu, jika Kurikulum Merdeka juga merdeka dari semua pihak, utamanya Negara, maka bisa saja terjadi bidang studi pada Satuan Pendidikan, tak mencerminkan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta Pilar-pilar Kesatuan dan Persatuan Bangsa, Negara, dan Rakyat Indonesia.
Juga, ada baik Kurikulum Merdeka, harus mampu memerdekakan peserta didik dari (ajaran, masukan, orasi, dan narasi) intoleran serta radikalisme dari Guru fan guru-guru). Sehingga menghasilkan hasil didikan yang humanis, toleran, anti radikalisme, penuh cinta terhadap Negara dan Bangsa. Serta mampu berinteraksi dalam keseharian dengan orang lain sebagai sesama dalam kemanusian, sebangsa, dan setanah air.
So, Kurikulum Merdeka bukan sekedar untuk memperbaiki mutu lulusan (dari) Satuan Pendidikan. Tapi juga, termasuk upaya meningkatkat kualitas hidup dan kehidupan generasi penerus; generasi emas setelah kita, anda, dan saya.
Cukuplah
Nantikan Artikel Humaniora Berikutnya
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Lampiran