Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka, Harus Memerdekakan Peserta Didik dari Intoleran dan Radikalisme

17 Februari 2022   15:17 Diperbarui: 17 Februari 2022   17:21 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru Menanam Radikalisme di Ruang Kelas

Ajaran radikal sudah masuk ke ruang kelas melalui proses belajar. Ironisnya, yang menanamkan paham radikal tersebut adalah guru. Selain itu, ada sekolah yang mulai abai untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila atau menyanyikan lagu Indonesia Raya.

(Penanganan Anak Dalam Countering Violent Extremism, The Habibie Center,  Nopember 2017)

Guru Intoleran

Bulan Agustus-September Tahun 2018, UIN Syarif Hidayatullah melakukan penelitian untuk melihat pandangan serta sikap keberagamaan guru sekolah dan madrasah di Indonesia. Guru punya posisi strategis dan punya peran penting dalam pembentukan nilai-nilai, pandangan, serta pemikiran siswa.

Hasilnya, (i) 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain, (ii) 37,77% keinginan untuk melakukan perbuatan intoleran atau intensi-aksi, (iii) 29% guru bersedia menandatangi petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama, (iv) 34% guru bersedia menandatangani petisi menolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar tempatnya tinggal.

(Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah, Oktober 2018).

Tangkapan Layar Kompas.
Tangkapan Layar Kompas.
Anjungan Nusa Tenggara Timur TMII, Jakarta Timur | Semoga kita, anda dan saya, masih ingat catatan-catatan di atas. Semuanya belum lama, dan masih ada jejak digitalnya. Di bawah, masih ada arsip koran yang saya simpaan di Laptop sejak tahun 2018.

Fakta-fakta tersebut, menjadikan, suatu waktu di Tahun 2021, Menteri Pendidikan (singkatnya saja ya) menyatakan bahwa, "Tidak mentolerir adanya radikalisme dan intoleransi di Sekolah!" Great.

Tapi, apa yang Kementerian dan Instansi Terkait lakukan? Semuanya sunyi-senyap, membisu, serta nyaris tak berbuat apa-apa. Tak ada publikasi tentang adanya 'bina guru'  (yang terpapar itu) agar mereka merobah diri,  menyikapi perbddaan, serta memiliki nilai-nilai toleran dan menolak radikalisme. Prihatin.

Perilaku guru seperti di atas, tentu saja, jelas sangat mempengaruhi kualitas bertoleransi atau tidaknya pada anak didik mereka. Dampaknya, bisa, tercipta hasil didikan (dan lulusan) selaras dengan sikap dan sifat intoleransi (serta radikalisme) pada guru; dan itu ditanam oleh guru ke dalam diri para murid.

Pada sikon seperti itu, Nadiem Makarim memunculkan Kurikulum Merdeka dan  Asesmen Nasional terhdap Peserta Didik, Satuan Pendidikan, Kepala Sekolah, dan Guru-guru (Guru Kelas, Wali Kelas, dan Guru Bidang Studi). Semuanya, kata Nadiem, demi perbaikan mutu (hasil) Pendidikan Nasional.

Namun, menurut saya, "Apa gunanya mutu pendidikan tersebut, jika di dalam dirinya telah tertanam sifat-sikap intolerasi serta radikalisme?" Juga, "Bagaimana mungkin guru bisa menghasilkan lulusan berkualitas, jika ia/mereka mendidik dengan bumbu intoleran dan radikalisme?"

Jadinya, jika memang Kurikulum Merdeka dari Nadiem Makarin tersebut juga bersifat Memerdekakan, maka kemarin saya menulis bahwa,

Kurikulum Merdeka bukan sekedar memberi kemerdekaan ke/pada Satuan Pendidikan (PAUD hingga PT) untuk bebas menata sistem dan kurikulum sendiri, bahkan sesuka-sukanya. Sebab, Kurikulum tak bisa berbeda dari tunjuan Pendidikan Nasional dan UUD 45.

Selain itu, jika Kurikulum Merdeka juga merdeka dari semua pihak, utamanya Negara, maka bisa saja terjadi bidang studi pada Satuan Pendidikan, tak mencerminkan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta Pilar-pilar Kesatuan dan Persatuan Bangsa, Negara, dan Rakyat Indonesia.

Juga, ada baik Kurikulum Merdeka, harus mampu memerdekakan peserta didik dari (ajaran, masukan, orasi, dan narasi) intoleran serta radikalisme dari Guru fan guru-guru). Sehingga menghasilkan hasil didikan yang humanis, toleran, anti radikalisme, penuh cinta terhadap Negara dan Bangsa. Serta mampu berinteraksi dalam keseharian dengan orang lain sebagai sesama dalam kemanusian, sebangsa, dan setanah air.

So, Kurikulum Merdeka bukan sekedar untuk memperbaiki mutu lulusan (dari) Satuan Pendidikan. Tapi juga, termasuk upaya meningkatkat kualitas hidup dan kehidupan generasi penerus; generasi emas setelah kita, anda, dan saya.

Cukuplah
Nantikan Artikel Humaniora Berikutnya

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Lampiran

Koran Tempo/dokpri
Koran Tempo/dokpri

Koran Tempo/dokpri
Koran Tempo/dokpri

Koran Tempo/dokpri
Koran Tempo/dokpri

Koran Tempo/dokpri
Koran Tempo/dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun