Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hapus Jurusan atau Tak Ada SD, SMP, SMA Diganti Sekolah dari Kelas 1 hingga 12

13 Februari 2022   17:01 Diperbarui: 16 Februari 2022   08:04 2515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanjung Barat, Jakarta Selatan | Menarik  sekaligus Prihatin, ketika membaca pemberitaan tentang adanya perubahan Sistem dan Mekanisme Pendidikan Nasional  (di) Nadiem Makarim. Prihatin karena, sekali lagi, terjadi perubahan, (katanya) seturut perkembangan zaman dan 'kebutuhan yang mendesak.'

Dan, yang paling terlihat dari 'Gebrakan Nadiem,' dalam perhatian saya, adalah (i) cara lulus atau selesai belajar pada setiap satuan pendidikan (misalnya SD, SMP, SMA/SMK), (ii) cara lanjutkan atau masuk ke satuan pendidikan berikutnya, (iii) dan (rencana) 'penghapusan' jurusan di SMA. 

Serta, lucunya, 'Gebrakan Nadiem' tersebut, lebih menyentuh dan ramai pada pendidikan menengah atas atau SMA; juga mendapat perhatian banyak orang (mungkin karena mayoritas orang Indonesia, lebih menyukai ajaknya sekolah di SMA, bukan SMK).

Kemudian, fakta terbaru, mulai TA 2022/2023, sudah tak ada istilah dan pembagian (jurusan) sesuai minat IPA-IPS- Bahasa. Walau seperti itu, menurut sejumlah Yunior (di Kementerian Pendidikan) yang saya hubungi, "Memang Benar. Tapi tak berarti siswa belajar semua pelajaran. Itu memberatkan mereka." Sehingga yang terjadi adalah,

  1. Pelajaran wajib di SMA: Pendidikan Agama, PKN, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Seni Musik, Penjaskes, Sejarah.
  2. Pelajaran dan belajar sesuai Minat: IPTEK-IPA
  3. Pelajaran dan belajar sesuai Minat IPS-Humaniora-Bahasa
  4. Untuk proses pemilihan minat, setiap siswa mendapat pendampingan dan bimbingan dari guru (Wali Kelas, Guru BP/BK), mirip dosen pamong di PT, ketika mahasiswa mengisi Kartu Rencana Studi pada awal semester.
  5. Dengan itu, terjadi ketepatan memilih rencana belajar sesuai dengan minat dan nantinya berlanjut di Perguruan Tinggi.

Note: No 1, 2, 3 sesuai penjelasan Kementerian Pendidikan; 4 dan 5, prediksi saya.

Jadi, terjadi penelusuran minat siswa (sejak kelas 1 atau 2) yang berlanjut pada proses kegiatan belajar mengajar atau KBM) di Kelas; atau penelusuran minat tersebut, baru terjadi di SMA. Toh sama saja; KBM dan Kelas berisi siswa yang mempunyai minat sama. 

Padahal, jika mau jujur, untuk menemukan seseorang belajar sesuai minat dan bakatnya, maka harus ditelusuri, ditemukan, diketahui, dan didapat sedini mungkin; minimal sejak Sekolah Dasar. Dari situ, ketika ia belajar di Satuan Pendidikan yang lebih tinggi,  tetap fokus pada pilihan yang dipilih tadi. Bukan 'duga-duga' sesuai laporan hasil belajar atau rapor (yang kadang angka atau nilai di dalamnya tak jujur).

Apalagi, sebaran sekolah (SD, SMP, SMA/SMK) di Indonesia, terpisah-pisah, tidak merata. Sehingga kadang seorang anak harus pindah desa untuk melanjutkan sekolah karena di Desa atau Kecamatan, hanya ada SD ataupun SMP. Sebaran sekolah seperti itu, juga berlanjut pada ketidaktahuan guru (pada Satuan Pendidikan yang baru) pada minat dan bakat siswanya (khan baru kenal).

Dan, harus diakui bahwa sebaran sekolah di Indonesia, penyebarannya masih merupakan warisan sistem pendidikan Belanda, (lihat kolom komentar). Pada masa itu, praktis tak ada (satu kompleks) sekolah dari kelas 1 SD hingga SMA (kelas 3). Semua Sekolah terpisah sesuai kebutuhan dan alasan politis.

Artinya, setiap murid/siswa akan terputus (belajar/sekolahnya) di Satuan Pendidikan tertentu, karena ia harus ke/sekolah baru, yang mungkin saja jauh ataupun di Desa/Kecamatan berbeda. Sekolah yang terpisah-pisah seperti itu, kini sudah ditinggalkan, mungkin hanya  Indonesia dan negara-negara terbelakang di Afrika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun