Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Entah sejak kapan diksi 'Jin Buang Anak' jadi terkenal. Pastinya, kata-kata tersebut telah populer sejak lama.
Jika tak salah ingat, Alm Benyamin Suaib lah yang mengpopulerakan. Ketika itu, puluhan tahun lalu, Benyamin tampil di sejumlah film dengan narasi khas dialek Betawi. Dan, 'Tempat Jin Buang Anak' sebagai ungkapan penolakan, ketidaksetujuan, dan protes. Sama halnya dengan ungkapan Yahudi, 'Lebih baik Tinggal di Atap daripada Serumah dengan Perempuan Cerewet;' emangnya ada  yang benar-benar terjadi?
Lalu, adakah atau benar-benar real area yang disebut 'Tempat Jin Buang Anak'? Plus, emangnya ada yang tahu  kawin-mawin Jin sehingga hamil; atau ada yang tahu Jin atau ml di luar nikah dan selingkuh hingga hamil serta lahirkan dan anaknya di buang?
Sebetulnya apa yang terkandung di/dalam 'Tempat Jin Buang Anak?"
Tempat Jin Buang Anak, bukan tentang area atau pun lokasi nun jauh yang tak terjangkau. Tapi, hanya area imaginasi di sekitar mereka yang sementara bicara atau omong-omong. Misalnya, di tepi sungai yang deras, pinggir hutan, jalan yang gelap. (Doeloe, Ancol, Jembatan Lima, Muara Angke, bahkan Hutan UI sebelum ada Kampus, disebut Tempat Jin Buang Anak, bha bha bha).
Katakanlah seperti, "Memangnya lue mau mau mancing di Tempat Jin Buang Anak?" Atau, "Ogah, Daripada Gue jalan di Tempat Jin Buang Anak, mending kaga jadi pergi." Dan lain sebagainya.
Tempat Jin Buang Anak, menunjukkan sikon di/pada lokasi tertentu. Sikon yang dimaksud adalah tidak tertata, menakutkan, liar, buas, tanpa peradaban, dan sejenisnya. Oleh sebab itu, ada baiknya manusia (yang normal dan beradab) tidak ke tersebut, karena akan terhilang dari sejarah hidup dan kehidupan.
Selanjutnya?
Yang jadi masalah adalah terjadi penggabungan makna imaginer dan sikon Tempat Jin Buang Anak dengan Lokasi atau Area (real) tertentu.
Misalnya, pada percakapan sosial antara saya dan teman-teman. "Opa, aslinya mana?" Tanya teman yang buta geografi pada saya. Saya jawab, "Dari Kupang!" Ia bertanya lagi, "Kupang itu di mana, Timor Leste, NTB, atau dekat Surabaya?" Teman lain menjawab, "Itu tuh, Tempat Jin Buang Anak." Lalu, apakah saya harus bereaksi dengan 'asah pedang?'
Tapi, percakapan di atas bisa beda jika seperti ini. Seseorang yang berlatar sosial dan akademik yang memadai berkata ke Publik, "Jangan pindah ke Kupang, daerah asalnya Opa Jappy, karena daerah itu masih penuh monyet dan Tempat Jin Buang Anak"
Tentu saja, reaksi saya adalah 'asah pedang dan siapkan panah beracun.' Mengapa? Karena orang itu, secara sadar, telah menghina Kampung Halaman saya, termasuk peradaban di sana.
Nah.
Jadinya, penggabungan (bahkan identifikasi), secara sengaja, imaginasi makna dan sikon Tempat Jin Buang Anak terhadap atau pada daerah tertentu (di Era Modern ini), merupakan sesuatu yang absurd, sangat tidak beralasan, tak layak, serta tak etis. Dan, dinilai dari sudut pandang apa pun, hal tersebut sangat tak patut.
Karena itu, menurut saya, wajar jika ada banyak orang marah jika Kampung Halamannya disebut Tempat Jin Buang Anak.
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI