Catatan AwalÂ
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka seseorang dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain. Jappy M. Pellokila (Opa Jappy) menilai,
"Presiden ingin menunjukkan sisi lain dari kecintaan pada Tanah Air dan budaya bangsa dengan menampilkan unsur-unsur budaya Nusantara. Pakaian adat adalah unsur-unsur budaya nusantara yang value-nya sangat tinggi. Perlu dilanjutkan pada perayaan nasional lainnya. Tak hanya pada Sumpah Pemuda atau Hari Kartini."
Umumnya, mereka lakukan itu dengan nada-nada penuh bangga dan kebanggaan, karena Presiden Jokowi dalam balutan Kostum Adat untuk para  bangsawan dan Raja-raja di/dari NTT.
Suatu kebanggaan yang biasa dan ada juga yang merasa luar biasa, sebab Presiden RI memilih menggenakan Kostum Adat (untuk para bangsawan) di Sabu dan Timor pada upacara kenegeraan yang diliput atau pun terpublikasi secara Nasional dan Internasional. Itu juga bermakna, secara langsung dan tidak, kekayaan (unsur-unsur hasil) Budaya NTT ikut dikenal oleh Dunia Luar NTT.
Ya. Itula fakta yang ada. Fakta bahwa warga NTT (di Diaspora dan Kampung Halaman) larut dalam terharu, senang, sukacita, bangga, serta penuh kebanggaan.Â
Tapi, di balik itu, ada juga warga NTT yang 'tidak ikutan bangga;' dalam artian kostum yang dikenakan Presiden tersebut biasa-biasa saja. Biasa-biasa saja karena merupaka salah satu 'personal branding' Jokowi (lihat kutipan di atas); personal branding yang dibangun atau dibentuk Jokowi sebagai upaya mendekatkan diri ke/pada setiap hati rakyat.
Namun, sejumlah warga NTT, termasuk Opa Jappy, juga mempertanyakan, "Apa yang bisa diambil oleh daerah asal Kostum Adat yang dikenakan oleh Presiden Jokowi tersebut?"Â
Dalam artian, Presiden Jokowi telah 'menjadi Duta Pakaian Adat' dari daerah Asal (pakaian adat) ke Tataran Nasional dan Internasional, lalu apa dampaknya untuk Daerah Asal tersebut?Â
Sebab, menurut saya, di samping sebagai 'personal branding,' sisi lain dari kenakan Kostum Adat tersebut, Presiden telah memperlihatkan kekayaan (hasil-hasil) Budaya Etnisitas di Nusantara dan bisa memiliki nilai ekonomi atau jual yang tinggi.
Katakanlah, Pemda (asal pakaian adat yang dipakai Presiden) melihatnya sebagai momentum untuk menjual Tenun atau pun Pakaian Adat ke mana-mana. Dan dengan itu, Pemda melakukan upaya-upaya lanjutan (di daerahnya); misalnya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi, promosi, dan lain sebagainya, termasuk menjadikan Foto-foto Presiden dengan berbagai pose sebagai 'bahan pameran.' Toh, foto-foto tersebut telah menjadi milik publik.
Jadinya, ke depan, ketika Presiden kenakan Kostum Adat pada acara-acara kenegaraan (dan diliput secara Nasional dan Internasional), maka Pemda (asal pakaian adat) dan Komunitas pemiliknya tidak cukup dan selesai dengan bangga serta kebanggaan.Â
Bangga dan penuh kebanggaan karena Presiden kenakan Kostum Adat dari daerahnya (mereka); melainkan lebih dari sekedar itu. Dalam arti, Pemda harus jadikan momentum tersebut sebagai edukasi publik, kampanye, pameran, bahkan giat menjual produk; menjual Tenun atau Kostum Adat ke berbagai penjuru.
Dengan demikian yang terjadi adalah ketika Presiden menggenakan Pakaian Adat, maka Pemda dan komunitas masyarakat pemilik pakaian adat tersebut bukan saja bangga tapi juga meraih keuntungan dari penjualan (menjual) pakaiam adat. Jadi, ada nilai ekonomi di baliknya.
So, secara khusus, dengan Bahasa atau Omong Kupang, "Basong samua Warga NTT di Diaspora dan Kampong, Presiden Jokowi su pake Salemut deng Sarong NTT dari Rote, Sabu, Sumba, dan Timor Tengah Selatan, jadi, sonde cukup deng katong bangga, lalu barenti di situ. Tapi, tarus, apa yang katong dapat deng katong buat? Presiden su kastunju pi Dunia katong pung Salimut deng Sarong; jadi katong musti beking jadi itu untuk kasampatan bajual Salimut deng Sarong."Â
Cukuplah
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H