Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Biarkan Anak-anak Itu Kembali ke Negeri Leluhur Mereka

26 Februari 2020   19:21 Diperbarui: 26 Februari 2020   19:25 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jagakarsa, Jakarta Selatan | Agaknya, niat Pemerintah RI untuk membawa pulang anak-anak (usia di bawah 10 tahun dan yatim piatu, serta dengan kondisi tertentu) dari para WN ISIState asal Indonesia, sudah tak terbendung. Niat baik berlandaskan tanggungjawab moral serta asas kemanusiaan itu patut diapresi; walau masih mendapat atau ada penolakan publik.

Dengan demikian, RI lebih maju daripada Negara-negara lain, termasuk di Eropa, yang sama sekali tidak mau menerima kembali bekas warga negara mereka, termasuk anak-anak, yang sudah bergabung dengan ISIS. Bahkan, sejumlah Negara telah melepaskan status mereka sebagai warga negara; sementara Indonesia, baru Minggu lalu melakukan hal tersebut, sebagai antisipasi agar mereka tidak masuk ke Indonesia secara ilegal.

'Jalan Tengah' yang diambil diambil pemerintah RI tersebut, paling tidak, menyampaikan pesan ke/pada publik bahwa Negara masih memiliki perhatian terhadap warganya, siapa pun dia, serta nantinya, akan 'memperbaiki mereka' sehingga kembali ke jalan yang benar. Selain itu, bisa dimaknai sebagai, upaya menutup mulut mereka, utamanya dari oposisi, yang selalu menyatakan bahwa Negara melakukan kriminalisasi serta tidak peduli terhadap warganya.

Walau rencana pemulangan tersebut sudah resmi, tapi butuh proses dan waktu. Pemerintah tidak serta merta melakukan pemulangan tanpa mempersiapkan hal-hal lainnya. Sebab, jika terjadi, maka justru niat baik Pemeritah tersebut akan mengalami penolakan publik; bahkan memunculkan berdampak pada sesuatu yang lebih besar dan tak terduga.

Oleh sebab itu, Senin 24 Februari 2020, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan bahwa,

Pemerintah telah menjadikan rencana pemulangan anak yatim piatu WNI eks ISIS di bawah 10 tahun yang yatim piatu akan dipulangkan, itu kebijakannya sudah resmi. Namun, identitas anak-anak yang akan dipulangkan belum bisa diumumkan. Sampai sekarang belum ada yang boleh atau belum ada yang akan diumumkan dulu tentang orang-orangnya.

Tapi kita ke prinsipnya (rencana pemulangan) saja dulu lah. Kelonggaran akan diberikan untuk anak-anak mereka yang sama sekali tak tersangkut aksi terorisme orangtuanya. Pemerintah akan mengkajinya lebih dalam. Anak-anak di bawah 10 tahun akan dipertimbangkan tapi case by case. Ya lihat saja apakah ada orangtuanya atau tidak, yatim piatu.

Kompas

Pernyataan Menkopolhukam sudah cukup jelas, sehingga, untuk sementara, tidak perlu menjadi pro-kontra. Tapi, agaknya, Pemerintah perlu untuk menyampaikan ke publik tentang langkah-langkah dan proses pemulangan tersebut. Serta, nantinya, membuka ke publik siap-siapa mereka, misalnya nama, umur, asal keluarga, dan lain sebagainya; tapi tetap merahasiakan lokasi pemulihan kembali atau tempat mereka dibina ulang sehingga menjadi anak-anak Indonesia yang 'normal.' .

Selain itu, jika anak-anak tesebut sudah pulang dan ditampung pada lokasi bina ulang tersebut, maka Pemerintah

(i) tidak segera atau cepat-cepat membawa mereka ke area masyarakat atau menyusupkannya ke keluarga-keluarga yang mau menerima mereka;

(ii) mereka harus betul-betul disembukan secara ajaran agama, kejiwaan, dan luka-luka bathin;

(iii) perlu perbaikan nilai-nilai serta cara pandang yang telah tertanam pada diri mereka ketika masih ada di area perang; (iv) perlu tim penanganan yang terdiri dari orang-orang atau praktisi lintas ilmu dan latar belakang, dan harus benar ahli, terampil menangani anak-anak, serta rela mengorbankan waktu untuk pendampingan terhadap anak-anak bina. 

Juga, perlu pertimbangan bahwa anak-anak tersebut sudah (akan) tercabut atau dicabut dari lingkaran (komunitas sebelumnya), yang diketahui sebagai kelompok radikal, kekerasan, perang serta darah, memberikan mereka (menciptakan) suatu identitas  biologis, bahkan 'silsilah' yang baru. Ini penting, agar terhapus memori atau rekaman lama (yang tersimpan dalam pikiran) ketika mereka di Timur Tengah; seperti dilakukan pada proses cuci otak. Ini yang paling sulit, apalagi memori tersebut sudah tertanam di/dalam alam bawa sadar dan sewaktu-waktu muncul sebagai mimpi buruk.

Penghapusan memori itu, bukan hal yang mudah; tapi jika menggunakan pola, misalnya terhadap 'pasukan tertentu yang tahu rahasia Negara,' ketika mereka pensiun; atau, ada cara-cara lainnya.

Cara-cara di atas, memang cukup rumit, butuh waktu, tim yang kuat, dana, dan lain sebagainya, tapi karena Pemerintah sudah mengambil sikap, maka apa pun resikonya, harus dijalani atau tempuh.

So, lanjutkan lah, jika sudah siap

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Artikel Terkait: Telaah Psikologi Perkembangan terhadap Rencana Pemulangan Anak-anak Eks ISIS 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun