Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Pers Nasional ke-22, Menghitungnya dari Mana?

9 Februari 2020   21:58 Diperbarui: 10 Februari 2020   13:55 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Kanal IHI

Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Pers atau Press? Dua kata itu selalu muncul jika ada kegiatan yang dihubungkan dengan pemberitaan, publikasi, atau disiarkan ke publik. Paling tidak, ada sejumlah orang yang menggantung ID atau name tag di dada, dan tertulis PERS dan juga PRESS. Mana yang benar?

Press, sebetulnya, (pada awalnya) tidak dipakai atau dihubungkan dengan 'dunia atau media permberitaan. Kata ini, muncul di Inggris, tak berapa lama setelah lahir mesin cetak. Ketika itu, mesin cetak 'dilahirkan' sebagai kebutuhan untuk mencetak Kitab Suci dalam bahasa Inggris. Kemudian, berkembang (sesuai kebutuhan) untuk mencetak buku atau teks book pelajaran di Universitas (sebagai ganti teks book yang ditulis tangan atau pun masih tertulis pada perkamen.

Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai kebutuhan, Negara (dhi. Kerajaan Inggris) membutuhkan lembaran-lembaran pengumuman-penguman penting untuk rakyat. Sehingga, para pencetak buku, pada masa itu, diminta untuk membuat hasil cetakan berupa lembaran-lembaran kertas yang berisi pengumuman dari Negara. Lembaran-lembaran tersebut, belum diberi nama; tapi karena ada tulisan-tulisan yang dibuat karena press (maksudnya huruf-huruf pada kertas adalah hasil dari logam yang ditekan atau press ke kertas). Satu dua lembaran atau kertas-kertas berisi berita itu disebut sebagai press.

Selanjutnya, sesuai kebutuhan banyaknya berita yang harus disampaikan ke/pada rakyat, maka percetakan mencetak lebih dari satu lembaran press. Lembaran-lembaran kertas berita tadi disebut sebagai Kerta (berisi) Berita (berita) atau Newspaper/s; dan diterbitkan secara berkala, sesuai permintaan Kerajaan atau pun pemerintah Kota.

Tak lama kemudian, setelah Inggris, berkembang di daratan Eropa, terutama Jerman; muncul pada tahun 1660 dengan nama Leipziger Zeitung; yang kemudian terbit setiap hari, sehingga dicatat sebagai Newspaper pertama yang terbit setiap hari.

Nah. Pada konteks kekinian, telah ada atau muncul mesin stensil (yang sudah tinggal kenangan),  mesin cetak tekan/press (juga sudah mulai ditinggalkan), dan kini mesin cetak elekronik (yang bisa menghasilkan ratusan ribu lembar hasil cetak); serta menghasilkan gambar, grafik, suara, dan lain sebagainya untuk dipublikasi. Apakah publikasi atau pemberitaan tersebut, masih dihubungkan dengan 'press?'

Press, yang diindonesiakan dengan kata Pers, entah siapa yang memulai,; sudah tepatkah. Sebab, di Indonesia, sama halnya dengan Luar Negeri, Pers dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat mengumpulkan, membuat, serta memberitakan atau mempublikasikan berita.

Dan, kegiatan mengumpulkan, membuat, serta memberitakan atau mempublikasikan berita, 'disatukan' dalam satu frame 'jurnalistik.' Frame ini pun terasa 'kurang pas,' karena jurnalistik, sederhananya merupakan kegiatan yang dilakukan oleh jurnalis atau gampangnya pengumpul berita.

Jadinya, penggunaan, pers, press, jurnalistik, telah disamakan atau dihubungkan dengan Dunia Pemberitaan melalui media tertentu, misalnya cetak, penyiaran, tonton. Sehingga kesemuanya (malah) disatukan atau dibungkus dalam satu frame besar sebagai Pers.

Dengan itu, untuk cukup sulit menemukan makna (kata) Pers (pengindonesian dari kata press) atau menjelaskannya secara sederhana.

Lalu, apa makna pers yang biasa atau lasim dipakai? Agaknya, sudah tak mungkin membangun makna sesuai akar kata pers (yang lahir di Inggris). 

Umumnya, pada masa kini di Indonesia, pers dimaknai sebagai semua bentuk kegiatan yang bersifat pemberitaan (mengumpulkan, membuat, serta memberitakan) melalui media dalam bentuk media cetak seperti koran, majalah, tabloid, dan berbagai buletin kantor berita; serta diperluas menjadi semua media massa yang ada seperti media online, radio, televisi, dan media cetak.

Makna itulah yang kemudian diselaraskan dalam  UU No. 40 Tahun 1999, bahwa pers sebagai atau merupakan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memiliki, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dalam bentuk tulisan, gambar, suara, gambar, serta data dan grafik dan dalam bentuk lainnya. Yangmenggunakan media elektronik, media cetak, dan segala jenis saluran yang tersedia. 

Serta berfungsi, sesuai pasal 33 UU No 40 Tahun 1999, sebagai sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol sosial.

Dengan demikian, berdasarkan semuanya di atas, apa yang disebut Hari Pers, yang tepat hari ini 9 Februari 2020, dirayakan sebagai Hari Pers Nasional ke 22. Kok baru berusia 22 tahun? Hari raya yang justru dirayakan bukan karena lahir media (cetak, siaran, tonton) pertama di Indonesia. Tapi, berdasarkan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia, yang diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985.

Penetapan HPN pada pada 1985, agaknya tidak muncul dari mengingat pada sejarah bahwa bahwa sebelum  Persatuan Wartawan Indonesia dibentuk, telah ada insan pers (wartawann, jurnalis, penerbit, dan lain sebagainya) di Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Bahkan, bisa disebutkan bahwa 'Pers (di) Indonesia' lebih tua dari RI; juga orang Indonesia yang menjadi wartawan, telah ada sebelum NKRI berdiri; misalnya Raden Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini, yang menjadi wartawan dan berkelana hingga di Eropa dan Amerika.

Jadi, jika hari ini, insan pers merayakan Hari Pers Nasional, agaknya perlu 'menggali ulang' kapan dan siapa yang pertama kali melahirkan kegiatan pers di Nusantara. Suatu penggalian dalam rangka meluruskan sejarah panjang Pers (di) Indonesia. Tapi, mungkin kah?

Opa Jappy | Mantan Pengajar Komunikasi Publik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun