Sukabumi, Jabar | Kemarin, mungkin hingga Hari Ini sampai beberapa hari ke depan, hampir pada semua rumah yang dikunjungi, ada 'wadah' makanan, dari anyaman daun kelapa (janur) berbentuk segi (ganjil) misalnya 3, 5, 7.
Makanan berbungkus atau terbungkus atau bungkusan daun berisi nasi tersebut, disebut ketupat, tupat, atau sebutan lainnya. Namun, hingga kini, banyak orang 'belum sepakat' dengan apa yang disebut ketupat.
Sebab, yang disebut tupat atau ketupat, seutuhnya bungkusan daun dan isinya; atau hanya isinya. Juga, secara umum, pengucapan tupat atau ketupat, seturut kebiasaan ucapan orang Jawa. Yakni, 'Ngaku Lepat' dan 'Laku Papat'.
Ngaku Lepat mengandung makna 'mengakui kesalahan;' dan Laku Papat adalah 'empat tindakan.' Suatu 'hukum tidak tertulis' dan pembiasaan pada interaksi sosial masyarakat Jawa, jauh sebelum masuknya Agama-agama Semitis di Nusantara.
Sehingga, pada tradisi Jawa; (aku) Ngaku Lepat atau (aku) mengakui sejumlah besar kesalahan, karena itu (aku akan) Laku Papat.
Laku Papat atau empat tindakan (setelah mengakui kesalahan) tersebut adalah (i) menerima (dan mendapat) maaf atau ampunan, (ii) membayar denda karena kesalahan dengan cara memberi makanan kepada orang miskin, terlantar, atau pun pengelana, (iii) menyatu dan menyatukan kembali hubungan yang (telah) rusak sebelumnya, dan (iv) menjaga diri agar tidak melakukan kesalahan yang sama atau lebih besar (lebih kasar dan jahat) terhadap sesama.
Lalu, sebetulnya, apa yang disebut ketupat itu?
Pada masa lalu ketupat sebagai wadah bekal karena ringan dan praktis; setelah isinya, dimakan, daunnya langsung dibuang. Sehingga mudah dipahami bahwa ketupat merupakan kelengkapan yang wajib untuk mereka yang melakukan perjalanan. Bahkan, dipergunakan pada saat ritus-ritus penyembahan Dewi Sri; Dewi yang menguasai pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran.
Pada masa Kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara bahkan sebelum ada Mataram, Majapahit dan Pajajaran, ritus (ketika melakukan) penyembahan kepada Dewi Sri, diwarnai berbagai anyaman dari daun kelapa (yang masih muda) termasuk berbentuk ketupat.
Jadi, sebetulnya ketupat bukan merupakan 'identik dan identitas' Lebaran atau suku serta sub-suku tertentu. Melainkan, suatu hasil dan warisan leluhur; dan masih dipergunakan atau terpelihara hingga sekarang, [Selanjutnya Klik Opa Jappy, Filosofi Ketupat | KANAL IHI].
Dengan latar di atas, dan geniusnya para penyebar Agama-agama Semitis 'mengagamakan' unsur-unsur budaya masyarakat; menurut tuturan, ketupat pun oleh Sunan Kalijaga dijadikan ikon pada waktu perayaan Idul Fitri.
Dengan itu, maka mudah dipahami bahwa ketupat menjadi identik dan salah satu identitas Idul Fitri; sebab, Tanpa Ketupat, Lebaran Tidak Ramai.
Tapi, ketupat Idul Fitri bukan sekedar Tanpa Ketupat, Lebaran Tidak Ramai; bukan juga sekedar Ngaku Lepat dan Laku Papat, namun lebih dari itu.
Ketupat (membuat, mengirim, dan menerima ketupat) pada waktu Idul Firi dimaknai sebagai simbol kebersamaan, memberi dan menerima maaf, serta kasih sayang. Misalnya, ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, dan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya. Jika, ketupat tersebut dimakan, maka segala kesalahan, terhapus.
Nah.
Jika kemarin, hari ini, dan (nanti) pada hari-hari setelah Hari Ini, kita, anda, dan saya, (banyak) makan ketupat; apakah hanya sekedar makan?
Mungkin ya atau benar. Bahwa kita, anda, dan sekedar makan ketupat tanpa pahami kekayaan makna yang terkandung di dalamnya.
So, jangan cuma Berketupat, Ngaku Lepat, dan Laku Papat pada Idul Fitri, tapi lakukan itu sepanjang hidup dan kehidupan.
###
Atas Nama Semua Jajaran Komunitas Indonesia Hari Ini dan Gerakan Damai Nusantara, Saya Mengucapkan Selamat
Merayakan Idul Fitri 1440 H
Opa Jappy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H