Sejak lama, pada religiusitas umat (dan ritus) Agama Hindu ada semacam 'masa' yang disebut upawasa (Sansekerta; Upa dan Wasa). Upa yang berarti dekat; sedangkan Wasa bermakna Yang Maha Kuasa yaitu Sang Hyang Widhi Wasa.
Dari kata upawasa itulah, diserap kedalam dialek Melayu, kemudian menjadi kosa kata Bahasa Indonesia, yaitu puasa.
Sederhananya, Upayasa merupakan suatu proses persiapan untuk masuk atau melakukan ritus (prosesi dan penyembahan yang lebih khusus; atau kepada Sang Hyang Widhi Wasa). Mereka yang mau melakukan hal tersebut, harus benar-benar bersih tubuh, jiwa, dan rohani.
Pada masyarakat Timur Tengah, jauh sebelum Komunitas Taurat Musa (yang menjadikan Taurat sebagai hukum sosial dan ibadah), mereka mengenal masa atau kata tzum (Ibrani dan Aram; Arab, shoum/saum) atau menahan diri dari makanan dan minuman; kemudian berkembang menjadi tidak melakukan hal-hal yang bisa merusak kesucian diri.
Tzum biasa dilakukan oleh para pemimpin ritus atau Imam sebelum memimpin ritus di Kuil-kuil. Dan, seringkali, orang-orang yang mau ikut melakukan ritus, juga melakukan tzum.
Selain tzum/shoum tersebut, pada masa keemasan Helenis, bahkan jauh sebelumnya, masyarakat Yunani, Roma (sebutan untuk seluruh Italia pada masa itu), Asia Kecil (sekarang Turki), mengenal dan menggunakan kata nesteia atau tidak makan; sebagai persiapan sebelum ke pasta pora. Karena pada pasta pora, misalnya di Istana, para tamu makan hingga puas; bahkan tersedia ruang muntah untuk mereka yang kekenyangan, setelah itu, kembali makan dan minum.
Dalam perkembangan kemudian, tzum, saum, nesteia tidak sebatas pada tidak makan minum, namun terjadi pengembangan makna dan fungsi; serta dihubungkan dengan banyak kegiatan lain, termasuk ritus atau pun penyembahan.
Sehingga ada penggabungan kata seperti puasa bicara, puasa perang, puasa (hubungan) seks, puasa menulis, puasa membaca, puasa melakukan yang tidak benar, dan lain sebagainya.
Pengembangan makna itulah, puasa lebih sering dihubungkan dengan (sebagai) ibadah; padahal sebetulnya sebagai persiapan untuk (masuk atau melakukan) ibadah yang lebih akhbar atau utama. Jadi, puasa merupakan persiapan untuk melaksananakan ibadah atau ritus selanjutnya.
Misalnya, (i) puasa pra-paskah selama 40 hari pada Gereja Orthodox dan Katolik, (ii) puasa dan doa pada beberapa Mazhab Kristen, (iii) puasa 40 hari pada ritus-ritus Yahudi, dan (iv) puasa 30 hari jelang Idul Fitri, dan lain sebagainya.
Puasa yang dihubungkan dengan ibadah itulah yang menjadikan 'puasa sebagai ibadah;' dan muncul frasa 'Selamat Menjalankan Ibadah Puasa, Hormatilah Bulan Puasa, atau Hormati Orang yang Puasa.' Tepat kah?
Karena adanya 'puasa yang dihubungkan (sebagai) ibadah itulah, maka ada 'perlakuan khusus.' Sehingga puasa tersebut tidak sekedar memindahkan jadual makan, melainkan lebih dari itu.
Pada sejumlah atau berbagai Komunitas Iman, (ketika atau waktu) melakukan puasa, harus terjadi semacam upaya perbaikan dan pemulihan diri secara menyeluruh.
Sehingga yang terjadi antara lain (i) membuang segala perbuatan, perkataan, dan keinginan yang tidak benar, (ii) pelatihan rohani, (iii) merendahkan diri di hadapan Sang Ilahi, (iv) pengosongan diri dari hal-hal jahat; kemudian mengisinya dengan kebaikan, kebenaran, dan keadilan, (v) termasuk pelatihan dan pemulihan diri sehingga mampu mengontrol emosi, kata-kata, tindakan, pikiran, dan perilaku, (vi) dan lain sebagainya.
##
Nah. Saat ini, jika kita sementara puasa pada siang hari, maka monggo menilai diri sendiri; apakah cuma sekedar puasa makan-minum atau lebih dari itu.
Tentu, puasa selayaknya bukan seperti era Helenis atau hanya cukup menahan lapar dan haus; melainkan bisa menjadi pelatihan rohani dan pemulihan luka-luka bathin.
###
Selamat Berpuasa
Opa Jappy | Indonesia Today
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H