Catatan Awal
Pew Research Center, melakukan penelitian dengan cara memodifikasi makanan secara genetik; makanan aman dikonsumsi serta banyak manfaat.
Peneliti meminta para partisipan or responden menyusun peringkat pengetahuan terhadap subyek serta menguji pengetahuan literasi.
Hasilnya
Hanya 37% responden (dari latar Amerika, Perancis, Jerman) menilai makanan tersebut aman. 73% responden menentang pendapat bahwa makanan tersebut aman dikonsumsi atau menolak fakta-fakta ilmiah (pada makanan itu).
Peniliti kemudian mengembangkan penelitian terhadap 73% responden tersebut. Ternyata mereka menderita "illusion of knowledge" atau ilusi pengetahuan; karena opini ekstrem mereka berasal dari informasi kosong sehingga sangat yakin bahwa paling benar.
Orang-orang atau responden yang paling ngotot dan anggap diri benar, ternyata adalah mereka memiliki pengetahuan paling minim atau terbodoh tentang masalah yang dibahas, [Opa Jappy | Kanal Indonesia Hari Ini].
###
Melompat ke sikon kekinian di Indonesia, dan umumnya di Negara-negara Berkembang, maaf-maaf saja ya, dengan tingkat 'minimal pengetahuan' sangat tinggi, bisa juga seperti simpulan dari Pew Research Center. Dalam artian, mereka yang berpendidikan rendah (termasuk yang bodoh dan tidak berpendidikan) selalu teguh dengan pendapat dan opini sendiri yang ngawur, salah, dan gagal paham.
Dengan demikian, kelompok atau komunitas masyarakat berpendidikan rendah itulah, dalam keterbatasan mereka, paling mudah 'diperalat atau dipergunakan' oleh orang lain yang memiliki kuasa, kekuasaan, dan uang. Mereka lah yang menjadi ujung tombak di area terbuka publik (virtual, Dunia Maya, Dunia Nyata) untuk melakukan hal-hal melawan logika serta di luar akal sehat.
Saya persempit lagi pada sikon pra dan pasca Pilpres RI 17 April 2019. Mungkin saya terlalu ekstrim, tapi tak apalah; mayoritas pelaku dan penyebar orasi, narasi, video, image ujar kebencian dan hoaks adalah mereka yang berpendidikan rendah atau pun non-edukasi. Cuma sedikit yang berpendidikan minimal S 1 atau lulus Perguruan Tinggi.
Mereka, umumnya tidak mau, atau malas dan tak mau, melakukan konfirmasi atau pun validasi info yang didapat; apalagi info tersebut dari orang-orang yang dinilai dapat dipercaya dan valid. Sehingga, yang terjadi adalah dengan mudahnya hoaks, berita tak benar, news aspal begitu cepat tersebar, utamanya dikalangan akar rumput yang tidak terdidik.
Akibat lain dari semuanya itu adalah terjadi penyesatan publik karena mereka atau publik disi dengan segala bentuk info sesat, salah, hoaks dari berbagai arah. Dan, para pelaku utama penyesatan itu, umumnya tak terjangkau hukum karena pandai sembunyikan diri.
Upaya Tangkal
Hal yang tidak terbantahkan bahwa masyarakat Inddonesia masih didominasi oleh komunitas tidak terdidik (tentang Komunitas Terdidik, Klik), yang seringkali mudah percaya pada hal-hal yang bombabtis, tanpa saringan, apalagi tersebar secara masif.
Oleh sebab itu, upaya mencegah khabar bohong atau pun hoaks, juga harus dilakukan TSM. Dengan muatan isi atau konten kontra isu yang mudah dipahami, singkat, lugas. Hal-hal ini bisa dilakukan oleh anda dan saya atau siapa pun yang masih waras.
Selain itu, perlu penegakan hukum yang menembus atau mencapai mereka yang menjadi sumber utama (pembuat) hoaks ujar kebencian, fitnah, dan hal-hal yang bersifat penyesatan publik.
###
Cukuplah
Opa Jappy | Indonesia Today
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H