Capres/Capres juga lahir dari suatu proses dan perhitungan politik yang 'cukup rumit' dan memperhitungankan sangat banyak aspek lain, termasuk kemampuan mengumpulkan dukungan publik dan dana.
Capres/Cawapres tidak bisa seperti Caleg dadakan; atau pun sosok 'mendadak capres/cawapres.' Atau, karena 'pemaksaan kelompok,' demi pencampaian tujuan mereka.
###
Berdasar Tiga Catatan di atas, mari melompak ke konteks kekinian, jelang Pemilu: Parlemen dan Presiden/Wakil Presiden. Nama-nama mereka sudah menyebar, tersebar, dan dikenal publik.
Bahkan, sejak sekian waktu yang lalu, banyak (calon) pemilih sudah memiliki kepastian memilih. Luar Biasa.
Timbul tanya, mengapa mereka memiliki kepastian memilih? Ada banyak alasan; tapi utamanya adalah adagium yang muncul kemarin-kemarin dari area publik, 'Orang Baik Pilih Orang Baik.'
Orang Baik Pilih Orang Baik, suatu ungkapan yang kena-mengena dengan pemilih dan yang (akan) dipilih. Dengan asumsi bahwa semua pemilih adalah orang baik; serta semua Caleg, Capres, Cawapres adalah orang baik.
Ya. Karena mereka semua orang baik, utamanya menurut dirinya sendiri, maka berani mencalonkan diri sebagai Anggota Parlemen dan Capres/Cawapres di RI.
Namun, faktanya, setelah melewati ratusan Hari-Hari Kampanye, frasa bahwa semua pemilih adalah orang baik; serta semua Caleg, Capres, Cawapres adalah orang baik, menjadi pudar, abu-abu, dan cenderung sebaliknya.
Lihat apa yang terjadi selama ratusan hari kampanye. Para (calon) pemilih menunjukan amarah, arogan, pemberang, fitnah, ujar kebencian, lakukan kekerasan, pelanggaran hukum, dan hal-lain yang bukan kategori orang baik.
Juga, lihat apa-apa yang dilakukan Capres/Cawapres. Publik atau calon pemilih disodorkan orasi dan narasi pesimis, penyesatan publik, merendahkan Bangsa dan Negara, kata-kata kasar dan sejenisnya.