Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jonru Bebas Bersyarat, Apakah Ia Berhenti "Menjonru?"

24 November 2018   10:24 Diperbarui: 24 November 2018   17:14 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan I

Jon Riah Ukur Ginting atau Jonru yang divonis 1 tahun 6 bulan penjara dalam kasus ujaran kebencian, kemarin Jumat 23 November 2018, bebas bersyarat. Ia bebas dari LP Cipinang setelah menjalani 2/3 masa hukuman. Jonru masuk penjara karena unggahannya di Medsos, terutama FB, mengandung ujaran kebencian dan berbahaya karena jika dibiarkan dapat memecah belah bangsa.

Lengkapnya, Klik Kompas.Com

Catatan II: Artikel Terkait, Jonru Ginting, Jakarta 2 Maret 2018

Sesaat setelah mendengar putusan Hakim, ia berdiam sejenak, memperlihatkan wajah tak bersahabat, seakan tak peduli dengan siapa pun. Kemudian, berdiri, melangkah ke samping dan membelakangi Majelis Hakim; lalu kepalkan telapak tangan, mengakat ke atas, dan dengan nyaring berseru, "Kebenaran bisa disalahkan!! Tapi kebenaran tidak bisa dikalahkan!!"

Ia histeris, sambil tiga kali berteriak takbir. Para pengikutnya, menyambut dengan nada dan pekikan yang sama. Walau seperti itu, Jonru pun tak berdaya karena langsung dibawa ke penjara, untuk meneruskan hukuman.

Jonru, walaupun semua bukti menunjukkan bahwa ia (pada akun FBnya) selalu menyebarkan benci, kebenciaan, dan 'mengajak' orang (para pembacanya) agar memusuhi sesama yang bebeda SARA, ia tetap mengelak, dan merasa tidak pernah salah atau selalu benar.

Sumber: Opa Jappy, Klik

Catatan III: Ujar Kembencian

Hate Speach atau Ucapan Kebencian bisa dimaknai sebagai tindakan, orasi dan narasi di/pada komunikasi (verbal, virtual, cetak, penyiaran, dan pemberitaan, bahkan termasuk film, video, drama, dan seni pertunjukkan lainnya) yang dilakukan oleh orang per orang atau pun kelompok (termasuk institusi, lembaga, badan, organisasi) bersifat dan berbentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan dan menghina, menista, memusuhi, membangun benci dan kebencian terhadap (kepada) individu atau kelompok yang lainnya karena atau perbedaan ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain, dan lain sebagainya.

Seringkali dalam tempo yang tidak lama, (akibat penyebaran ujar kebencian) terjadi tindakan kekerasan, langsung dan tidak langsung, terhadap mereka yang menjadi korban ujar kebencian. Sebab, umumnya pelaku tindak kekerasan tersebut yakin bahwa apa yang ia dapat (terima karena sebaran ujar kebencian, apalagi dilakykan secara TSM) sebagai suatu kebenaran (yang mutlak) ; dan itu harus diteruskan dalam bentuk aksi atau tindakan; biasanya berupa aksi pengrusakan, kekerasan, dan tindakan brutal lainnya.

Begita ganas dan brutalnya dampak dari ujar kebencian, maka hampir semua negara di Dunia mengeluarkan (dan memiliki) undang-undang yang isinya melarang hate speech. Misalnya, Inggris dan Brazil, melarang seseorang melakukan perbuatan mengancam, menghina, dan melecehkan baik dalam perkataan maupun perbuatan" terhadap warna kulit, ras, kewarganegaraan, atau etnis; Turki, pengadilan akan menghukum seseorang selama satu sampai tiga tahun, jika ia melakukan penghasutan terhadap seseorang yang membuat kebencian dan permusuhan dalam basis kelas, agama, ras, sekte, atau daerah, dan lain-lain.

Bagaimana di Indonesia? Pada KUHP Bab XVI, Pasal 310, 311, 315, 317, dan Pasal 318 KUHP, 142, 143, 156, 157, 177, 207, 208, dengan jelas melarang (dan memberi sanksi hukum) segala bentuk penghinaan atau pencemaran nama baik, penghinaan, benci dan kebencian kepada orang lain, lembaga pemerintah, agama, serta Kepala Negara.

##

Kembali ke Kasus Jonru. Jonru, yang sekian waktu lalu pernah populer dengan idion 'Jonru;' idiom yang dihubungkan dengan segala bentuk ujar kebencian. Dan, karena perilaku itulah, ia dihukum serta dimasukan ke dalam penjara. Kini, ia bebas bersyarat.

Timbul tanya, apakah setelah bebas, masihkah ia 'menjoru?' Dalam artian, ia menjadi jera sehingga stop atau berhenti melakukan (dan menyampaikan) orasi dan narasi yang bersifat 'Jonru' melalui Medsos dan di Dunia Nyata?

Saya justru meragukan bahwa Jonru berhenti 'menjoru.' Alasannya, lihat catatan II di atas, Jonru tidak pernah mengakui bahwa dirinya (telah) membuat kesalahan atau melanggar hukum. Intinya, ia tidak pernah (merasa dan) berbuat salah, karena selalu benar.

Dengan demikian, sepatutnya hukuman terhadap mereka yang terbukti secara sah dan meyakinkan (berdasar bukti-bukti serta kesaksian para saksi di/dalam Sidang Pengadilan) telah melakukan (dan meyampaikan) ujar kebencian, harus diberi (atau mendapat) hukuman yang maksimal. Termasuk, tidak (akan) mendapat pembebasan bersyarat.

Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis pasal Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Dan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28, pasal 2, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); dan pasal Pasal 45, Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Melalui hukuman atau pemberian hukuman yang maksimal tersebut, diharapkan pelaku, ketika di sel tahanan dalam sepi serta kesepian, bisa merenungkan serta merefleksi tentang apa-apa yang telah ia lakukan; dan sedapat mungkin, dari dalam dirinya, muncul pertobatan serta perubahan diri.

Sebab, tanpa pertobatan (dan juga perubahan spiritual), maka seseorang, walau sudah dipenjarakan (karena terbukti bersalah), ketika bebas, ia akan mengulangi perbuatan atau kesalahan yang sama, bahkan lebih jahat dari sebelumnya.

So, Stop Hate Speach
Opa Jappy | Ketum Komunitas Indonesia Hari Ini - IHI

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun