Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Aslinya, sarkas adalah kata-kata untuk menyindir dan menyinggung orang lain dengan 'kata-kata halus, soft, tapi menjengkelkan;' jika pas pada orang tertentu.
Dalam perkembangangan kemudian, sarkas telah menjadi kata-kata ejekan (sepertinya benar), namun (seringkali atau biasanya) yang menerima atau mendengarnya tidak marah dan tersinggung karena dipahami sebagai sesuatu yang lucu, canda, komedi, karena sudah diterima secara 'umun.'Â
Sarkas sebagai sesuatu yang penuh canda, lucu, dan komedi ini, tidak bisa dibantah, muncul sejak film-film Warkop (Dono, Kasino, Indro). Mereka mampu menjadikan hal-hal sudah umum dan 'negatif' (kebiasaan-kebiasan tertentu dan umumnya fakta atau biasa terjadi) pada suku dan sub-suku, kelompok, atau pun prosfesi tertentu sebagai lucu, tersindir, bahkan menimbulkan tawa. Selain itu, sarkas pun selalu ada atau terdengar dalam/pada percakapan atau interaksi sosial, bahkan sering sebagai salah satu upaya breaking ice atau memecah kebisuan.
Jelasnya, kebiasaan-kebiasan tertentu dan umumnya fakta atau biasa terjadi pada suku dan sub-suku, kelompok, atau pun prosfesi tertentu, seperti kisah berikut.
Sekelompok anak muda (yang bersahabat atau akrab) sementara berjalan-jalan soreh di Jakarta. Mereka bercerita, penuh canda, dan ngobrol sana-sini tanpa topik yang jelas. Apa-apa saja yang terlihat, bisa saja bahan percakapan sambung menyambung.
Ketika mereka melihat tumpukan besi bekas, salah seroang dari antara mereka langsung berkata, "Kira-kira dijual atau tidak?" Kata-kata itu pun dijawab oleh temannya, "Dasar M .... lu, tak bisa lihat besi nganggur." Â Semua pun tertawa.
Beberapa menit kemudian, mereka melihat lahan kosong di pinggir jalan, salah satu dari antara mereka berkata, "Wah, bagus untuk bangung kos-kosan." Teman-temanya kontan menjawan, "Dasar B .... otak kos-kosan melulu lu; napa bukan bangun Apartemen, yang modern dikit lah." Yang lain pun menjawab, "Lha, otaknya si B .... cuma nyampe di kos-kosan, mau gimana?"
Salah satu dari antara mereka pun menyambar dan berkata, "Bagusnya buat ruko, aku bisa buka rumah makan." Tawa pun pecah, dan ada yang berkata, "Dasar P .... lu; jika lihat rumah kosong langsung mikir rumah makan P atau warung T." Tawa semakin keras.
Setelah itu mereka pun terus berjalan, dan bertemu dengan seorang pengamen memegang gitar tua. Salah satu dari rombongan, meminjam gitarnya, lalu memetiknya dan bernyanyi; dan seroang teman lainnya ikut bernyanyi. Duet yang bagus dan merdu. Setelah bernyanyi, ada yang berkata, "Dasar lu A ... dan B ... lihat gitar langsung nyanyi." Si A... dan B .... ikut tawa riang.
Tak berapa lama, mereka, anak-anak muda tersebut, bertemu dengan dua orang yang kekar dan tampang tak bersahabat, serta gelagatnya seperti orang tak benar dan menghadang mereka. Kebetulan pada rombongan tersebut ada yang berasal dari Rote, NTT. Melihat situasi yang tak nyaman itu, Si Rote kemudian maju ke  depan, dan berbicara dengan kedua orang kekar tersebut. Dalam hitungan menit, kedua orang itu pergi.
Ketika Si Rote kembali ke kelompok, ada yang bertanya, "Lu bilang apa ke dua preman itu." Â Si Rote pun menjawab santai, "Saya tak bilang apa-apa kok. Cuma berikan info ke mereka, "Di belakang saya itu adalah kawan-kawan yang baru keluar dari LP Cipinang, mereka dihukum karena berkelahi hingga lawannya tewas. Jadi, lebih baik abang-abang menjauh. Hati mereka masih panas." Mendengar ucapan Si Rote, mereka pun tertawa lepas; dan ada yang berkata, "Dasar Otak Rote, licik tapi unggul pada hal-hal kritis."
Kisah di atas, menunjukkan adanya indentikasi kebiasaan (dan mungkin juga profesi dan pola laku) yang sering atau umum dilakukan pada seseorang (dan suku atau sub-sukunya). Katakanlah M dengan jual-beli besi tua; P dan T dengan warung makan; A dan B dengan suka nyanyi; bahkan Arb yang pelit; atau pun Si Otak Rote yang banyak akal dan 'licik.'
Sehingga walaupun tidak semua Orang M jual-beli besi tua, Orang P dan T tidak usaha rumah maka, atau tak semua orang A dan B bisa main musik dan nyanyi, serta ada Orang Rote yang biasa-biasa saja, namun identifikasi (yang telah melekat) tersebut menjadi semacam 'tanda yang melekat.' Jadinya, misalnya dasar Arb lu, dasar P, dasar T, atau pun dasar Otak Rote, walau menyindir dan tak sedap didengar, namun 'diterima' tanpa marah atau pun tersinggung.
Agaknya sarkas bisa juga merupakan kebiasaan menanggapi segala hal atau pun reaksi terhadap hal-hal 'muncul' Â berdasar kebiasan atau yang biasa terjadi sebelumnya; dan itu telah diterima secara umum, dan tidak terbantahkan.
Di sampin itu, kata-kata sarkas, karena terjadi dalam konteks keakraban maka tidak boleh dimengerti sebagai suatu pelecehan terhadap suku dan sub-suku atau pun golongan.Â
Bahkan, mereka yang memiliki kemampuan memproduksi dan mengelola kata-kata sarkas, umumnya memiliki selera humor yang tinggi, misalnya Warkop atau Indro dan kawan-kawan. Mereka memang bisa melucu di segala kesempatan serta berkomentar tentang segala hal dengan kata-kata yang tidak nterduga dan mengundang gelak tawa.
Lebih dari itu, mereka yang 'hobi' sarkas adalah orang-orang yang kreatif dalam menyusun kata-kata. Mereka bisa memadukan satu kejadian dengan kejadian lainnya; termasuk pandai mengendalikan emosi; tidak gampang baper ataupun sakit hati. Sehingga menanggapi semuanya sukacita, tawa dan canda; dan sekaligus membalas dengan kata-kata yang 'lebih menusuk.'
Tampang BoyolaliÂ
Setelah melihat video 'Tampang Boyolali,' terlihat bahwa audiens tidak begitu banyak, dan ucapan-ucapan Prabowo diikuti dengan tawa para pendengar atau yang melihat ia berorasi. Bisa jadi, audiens tersebut sudah akrab dan biasa mendengar kata-kata Prabowo, sehingga menerima ucapan-ucapanya sebagai sesuatu yang biasa.
Tapi, harus diingat bahwa, Prabowo bukan mengucapkannya di/dalam kelompok 'ngumpul keluarga' atau pun komonitas terbatas, melainkan pada pembekalan atau pun sosialisasi sebagai seorang Calon Presiden. Artinya, para pendengarnya adalah orang-orang dengan aneka ragam latar belakang, tingkat, strata, dan profesi; bahkan diliput oleh sejumalah Media Pemberitaan dan Penyiaran.
Apalagi dengan mimik serius, dan berkata, "Saya yakin kalian tidak pernah masuk hotel-hotel (mewah) tersebut, kalau kalian masuk kalian pasti akan diusir karena bukan tampang orang kaya. Tampang kalian ya tampang-tampang Boyolali." Â Saya, pastikan bahwa kata-kata Prabowo tersebut bukan canda, sengaja melucu, dan apalagi sarkas. Lalu, apa pesan yang ingin disampaikan oleh Prabowo? Hanya dia yang tahu.
Jika ucapan Prabowo dihubungakan dengan dengan kisah anak-anak muda di atas, maka akan seperti ini: Selanjutnya mereka berjalan-jalan hingga soreh, semua lelah; lalu mau menginap di hotel. Tiba-tiba ada yang bicara, "Mas, lu Tampang Boyolali, tak cocok nginap di Hotel Mewah." Â Tapi, Mas Boyolali Cuma tertawa, dan berkata, "Enak aja lu; Aku yang bayar penginapannya."
Mungkinkah Prabowo ingin membangun suatu 'identifikasi baru' Â bahwa Tampang Boyolali diperuntukan kepada mereka yang miskin dan tak mampu sebagai orang-orang tidak layak menginap di Hotel Mewah? Sehingga nantinya, menjadi sebutan umum dan populer. Kata-kata dari Prabowo tersebut, nyaris sama dengan kata-kata 'rakyat tak jelas,' yang muncul dari (mantan) elite Nasional. Ia menyebut orang-orang atau para aktivis sebagai 'rakyat tak jelas.'
##
Dengan demikian, kedua 'istilah baru' tersebut, Tampan Boyolali dan Rakyat Tak Jelas, sesuai konteks terjadinya atau keluarnya kata-kata tersebut, maka sama-sama menunjukkan ketidakpedulian dan merendahkan orang lain. Yang terjadi adalah, kamu (Rakyat Tak Jelas) yang dengar atau mereka (yang Bertampan Boyolali) lebih rendah dan tak setara dengan yang lainnya.
Walau belakangan Prabowo mengaku heran dengan sejumlah orang yang mempersoalkan pidatonya soal 'tampang Boyolali,' padahal hanya candaan, namun sudah terlambat. Oleh sebab itu, sebagai seorang politisi, ada baiknya lebih cermat dalam menyampaikan kata-kata dalam pidato. Sebab, canda dalam dunia politik memiliki batasan; seorang pemimpin harus cermat dalam mengeluarkan kata-kata.
Secara sadar atau tidak Prabowo telah mempopulerkan sarkas 'Tampang Boyolali,' walau sangat tidak tepat untuk mereka yang berasal dan lahir dari/di sana. Prabowo telah melakukan 'pemaksaan identifikasi' yang (sangat) salah terhadap dan tentang Orang Boyolali, dan itu menjadi hal yang kontraproduktif.
Kini, Prabowo pun lelah mencegahnya agar 'Tampang Boyolali' yang salah kaprah tersebut hilang terbawa angin dan tenggelam di Bengawan Solo.
Mulutmu, Harimaumu
Opa Jappy | Orang Rote dan Relawan Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi - IHI MJ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI