Kisah di atas, menunjukkan adanya indentikasi kebiasaan (dan mungkin juga profesi dan pola laku) yang sering atau umum dilakukan pada seseorang (dan suku atau sub-sukunya). Katakanlah M dengan jual-beli besi tua; P dan T dengan warung makan; A dan B dengan suka nyanyi; bahkan Arb yang pelit; atau pun Si Otak Rote yang banyak akal dan 'licik.'
Sehingga walaupun tidak semua Orang M jual-beli besi tua, Orang P dan T tidak usaha rumah maka, atau tak semua orang A dan B bisa main musik dan nyanyi, serta ada Orang Rote yang biasa-biasa saja, namun identifikasi (yang telah melekat) tersebut menjadi semacam 'tanda yang melekat.' Jadinya, misalnya dasar Arb lu, dasar P, dasar T, atau pun dasar Otak Rote, walau menyindir dan tak sedap didengar, namun 'diterima' tanpa marah atau pun tersinggung.
Agaknya sarkas bisa juga merupakan kebiasaan menanggapi segala hal atau pun reaksi terhadap hal-hal 'muncul' Â berdasar kebiasan atau yang biasa terjadi sebelumnya; dan itu telah diterima secara umum, dan tidak terbantahkan.
Di sampin itu, kata-kata sarkas, karena terjadi dalam konteks keakraban maka tidak boleh dimengerti sebagai suatu pelecehan terhadap suku dan sub-suku atau pun golongan.Â
Bahkan, mereka yang memiliki kemampuan memproduksi dan mengelola kata-kata sarkas, umumnya memiliki selera humor yang tinggi, misalnya Warkop atau Indro dan kawan-kawan. Mereka memang bisa melucu di segala kesempatan serta berkomentar tentang segala hal dengan kata-kata yang tidak nterduga dan mengundang gelak tawa.
Lebih dari itu, mereka yang 'hobi' sarkas adalah orang-orang yang kreatif dalam menyusun kata-kata. Mereka bisa memadukan satu kejadian dengan kejadian lainnya; termasuk pandai mengendalikan emosi; tidak gampang baper ataupun sakit hati. Sehingga menanggapi semuanya sukacita, tawa dan canda; dan sekaligus membalas dengan kata-kata yang 'lebih menusuk.'
Tampang BoyolaliÂ
Setelah melihat video 'Tampang Boyolali,' terlihat bahwa audiens tidak begitu banyak, dan ucapan-ucapan Prabowo diikuti dengan tawa para pendengar atau yang melihat ia berorasi. Bisa jadi, audiens tersebut sudah akrab dan biasa mendengar kata-kata Prabowo, sehingga menerima ucapan-ucapanya sebagai sesuatu yang biasa.
Tapi, harus diingat bahwa, Prabowo bukan mengucapkannya di/dalam kelompok 'ngumpul keluarga' atau pun komonitas terbatas, melainkan pada pembekalan atau pun sosialisasi sebagai seorang Calon Presiden. Artinya, para pendengarnya adalah orang-orang dengan aneka ragam latar belakang, tingkat, strata, dan profesi; bahkan diliput oleh sejumalah Media Pemberitaan dan Penyiaran.
Apalagi dengan mimik serius, dan berkata, "Saya yakin kalian tidak pernah masuk hotel-hotel (mewah) tersebut, kalau kalian masuk kalian pasti akan diusir karena bukan tampang orang kaya. Tampang kalian ya tampang-tampang Boyolali." Â Saya, pastikan bahwa kata-kata Prabowo tersebut bukan canda, sengaja melucu, dan apalagi sarkas. Lalu, apa pesan yang ingin disampaikan oleh Prabowo? Hanya dia yang tahu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!