Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Merebut Suara Generasi Milenial

5 November 2018   14:30 Diperbarui: 5 November 2018   16:48 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Kanal Indonesia Hari Ini

Banyak orang bertanya, siapa yang memulai dan 'apa alat ukurnya,' sehingga melakukan pembagian imajinatif terhadap 'mereka yang lahir antara tahun 1981-2005.?' Pada pembagian tersebut, mereka atau orang-orang lahir pada kurun waktu 1981-1994, disebut Gererasi Y atau Milenial Y; sedangkan mereka yang lahir pada 1995-2005, dikategorikan sebagai Generasi Z atau Milenial Z.

Dari jejak digital ditemukan bahwa William Strauss (Generations: The History of America's Future Generations, 1584 to 2069, 1991) dan Neil Howe (Millennials Rising: The Next Great Generation, 2000), paling bertangungjawab pada sebutan atau penamaan generasi milenial. Keduanya menciptakan istilah tersebut pada 1987, di saat anak-anak yang lahir di tahun 1982 masuk pra-sekolah; dan media menyebut mereka sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA di tahun 2000.

Umumnya, generasi milenial memiliki gaya hidup dan kehidupan yang khas dan berbeda dengan mereka yang lahir pada tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, mereka terlahir bersamaan dengan produk (alat) teknologi (dan informasi) yang generasi terbaru;  mesin pencari atau search machine yang memudahkan informasi; transportasi cepat, uang elektronik, bahkan hanya dengan telepon genggam, mereka mampu menjelajahi serta mengetahui banyak hal.

Belakangan, menurut  beberapa teman dari 'Konsorsium Ilmu-ilmu Sosal,' utamanya mereka yang fokus pada Pengembangan Kepribadian,'  pada bidang sipil, Anak-anak muda Generasi Y, (kini dan lebih) cepat berperan pada banyak bidang, misalnya bisnis, ekonomi, dan politik, serta interaksi sosial yang saling kait mengait satu sama lain. Mereka inilah yang sibuk melakukan lobby bisnis, negoisasi, meeting, dan melakukan analisis untuk perusahan atau korporasi tempat bekerja.

Sedangkan pada area Kepolisian dan Militer, tak sedikit dari antara mereka yang sudah mencapai pangkat Mayor, Letkol, dan Kolonel; pada pangkat itulah, mereka paling sibuk (turun dan berperan ke berbagai tugas) di lapangan, wilayah, atau daerah. Pada level inilah, mereka menjadi Kepala Operasi atau Pelaksana Tugas Operasional di Lapangan; dan dengan kecepatan pengambilan keputusan, mereka cepat menemukan solusi pada saat-saat genting.

Kecenderungan Pilihan Politik

Pada bidang Politik (sebagai Politisi dan aktif di Parpol) serta aktivis politik, anak-anak muda generasi milenial (terutama generasi Y), mulai terlihat dan meninggalkan atau lebih maju dari 'generasi pergerakan mahasiswa angkatan 1974 - 1977/78; bahkan dari mereka yang aktif sekitar 1996-1998. Memang ada banyak faktor yang mempengaruhinya, namun tidak bisa dibantah bahwa generasi milenial Y, lebih mudah bergerak (secara politik dan politis) karena nyaris bebas tekanan dan hambatan. Berbeda dengan pergerakan mahasiswa dan kaum muda era 1974 - 1996/1998; mereka langsung berhadapan dengan kekuatan rezim yang menggunakan lars, mesiu, serta seragam kekerasan.

Tetapi, di balik 'kehebatan, kemajuan, kemampuan, dan kebebasan berpolitik generasi Y' tersebut, tak sedikit dari antara mereka yang cenderung lupa (serta melupakan) jejak sejarah para politisi dan elite bangsa (utamanya yang sekarang ini bertarung menuju RI 1 dan RI 2). Kecenderungan tersebut menjadikan dukungan terhadap dua pasangan Capres/Cawapres, dari kalangan milenial,  terasa seimbang atau merata.

Jumlah generasi milenial, menurut data Badan Pusat Statistik, mencapai 90 juta milenial atau berusia 20-34/35 tahun; dengan angka yang begitu besar, menjadi masuk akal jika politisi dan pasangan Capres/Cawapres Pilpres 2019 menabur pesona agar mendapat dukungan mereka, termasuk melalu Medsos.

Faktanya, dukungan terhadap pasangan Capres/Cawapres cukup variatif. Misalnya, survey CSIS pada generasi milenial (usia 17-29 tahun ) pengguna Twitter, Path, dan Instagram, antara lain (i) Facebook: Generasi Milenial di FB, 30.6 % memilih Jokowi - 26.6 % memilih Prabowo, (ii) Twitter:  24,6 % memilih Prabowo - 22,5 % memilih Jokowi, (iii) Path: 25,8 % memilih Prabowo - 21,6 % memilih Jokowi, (iv) Instagram:  29,6 % memilih Prabowo - 26,5 % memilih Jokowi.

Berdasarkan itu, bukan (juga) bermakna bahwa survey di atas merupakann 'hasil akhir yang pasti,' sebab umumnya generasi milenial, yang pasif dan kurang gaul sekalipun, menguasai arus informasi atau mudah mengaksesnya, hanya melalui telepon genggam. Sehingga mereka dengan cepat bisa merubah dan berubah keputusan politiknya, termasuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Nah. Jika kecenderungan pilihan politik seperti itu, maka para Tim Pemenangan Capres dan Cawarpres layak waspada serta berhati-hati. Ada baiknya, ketika melakukan sosialisasi dan kampanye, perlu memperhatikan banyak hal. Misalnya,

Kejujuran Informasi

Ini sangat Penting dan Utama. Dengan asumsi bahwa umumnya generasi milenial mengusai dan bersahabat dengan IT, maka mereka biasanya (sangat) mudah mencari kebenaran informasi (yang didapat dari orangt lain atau siapa pun) melalui perangkat informasi miliknya. Katakanlah, jika ada informasi yang berlebihan, tidak masuk akal, terlihat bombabtis, diragukan kebenarannya, maka mereka akan melakukan 'searching atau googling' untuk mengetahui kebenaran atau validitasnya.

Jadi, ketika para Tim Pemenangan menyampaikan orasi, narasi, meme, spanduk, atau apa pun yang bersifat kampanye, maka lakukan lah itu dengan jujur, penuh kejujuran, sesuai fakta dan data, dan juga tidak melaukan penyesatan publik. Sebab, kesalahan, penyimpangan, dan kebohongannya dengan cepat akan diketahui oleh publik.

Ini sekedar contoh. Beberapa hari yang lalu, beredar (di Medsos, dan saya dapat melalui Grup WA) daftar silsilah salah satu Capres; pada daftar tersebut, menyatakan bahwa Sang Capres adalah keturunan pangeran atau pun pejuang. Dalam tempo menit, beberapa anggota grup WA memposting ketidakbenaran silsilah tersebut. Ada lagi; salah satu Cawapres menyatakan bahwa dua minggu sebelumnya, ia naik Lion tujuan Pangkal Pinang; dalam tempo menit, nitizen sudah menyampaikan bawah pengakuan Cawapres tersebut adalah boohong.

Mengapa mereka dengan cepat bisa mengetahui kebohongan, penyimpangan, atau ketidakbenaran orasi serta narasi tersebut? Jawabnya sederhana, mereka menguasai IT dan mudah mengakses jejak digital.  

Berdasarkan itu, maka para Capres dan Cawapres harus lebih arif, jujur, dan hati-hati jika (ingin) menyampaikan sesuatu yang bersifat data serta fakta. Sebab, kemudahan generasi milenial mengakses informasi, bisa membuat para Capres/Cawapres malu jika mereka bohong.

 

Efektifitas dan Cepat Mengambil Keputusan

Generasi Milenial membutuhkan pemimpin yang tegas, bicara berbasis data dan IT, terukur, dan tidak memanipulasi angka-angka; mereka yang melakukan sesuatu berdasar analisis, dan hasil dari 'menurut saya bukan karena perintah.'  Tentu berbeda dengan kepemimpinan (termasuk politik) sejak 1999, yang sebelumnya dipegang oleh para pemimpin karier, rata-rata merupakan kepemimpinan konvensional.

Generasi melenial melihat korupsi dan kelambanan sebagai faktor ketidakmajuan dan musuh besar; mereka pun tak nyaman dengan birokrasi kaku dan pembelengguan kreativitas bekerja dengan banyak aturan membosankan; tidak nyaman dengan generasi yang terlalu banyak pertimbangan dan takut bertindak serta gaptek .

Oleh sebab itu, seringkali, ketika generasi milenial berhadapan dengan banyak tugas (dari/dan di tempat kerja), justru mereka cuma menjawab 'ya' dan senyum-senyum, karena tahu persis apa yang harus dikerjakan dan selesaikan; bahkan lakukan semuanya secara efektif. Hal tersebut, dinyatakan oleh Selo Christian, salah salah satu manajer perusaha Jepang di Indonesia. Ketika mendapat tugas ke daerah atau LN, terasa bahwa waktu yang diberikan pada (oleh Perusahan) berlebihan, karena pekerjaan atau tugas bisa selesai sehari atau dua hari dari waktu tugas. Di sini, yang terjadi adalah bekerja efisien, irit biaya, namun mencapai tingkat keberhasilan.

Ke depan, generasi Milenial inilah yang (akan) masuk dalam era kepemimpinan yang bertindak lebih cepat, mengantisipasi perubahan global, serba internet  dan digital, diiringi berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi yang lebih terbuka. Jadinya, mereka tidak bisa menerima sesuatu dengan sekedar 'ini perintah,' namun 'ini penjelasan detailnya. Oleh sebab itu, mereka tidak bersifat nanti 'ada keputusan' yang bertingkat, baru dikerjakan, melainkan aksi yang cepat, tepat, dan tak pakai lama, karena segala sesuatu bisa dikerjakan simultan.

##

Nah. Kandidat Capres/Cawapres yang mau merebut suara generasi milenial, maka tunjukan efektifitas itu dalam kampanye. Berikan 'janji' kepada mereka bahwa jika menang sebagai Presiden dan Wakil Presiden, maka akan memberi peran besar kepada Generasi Milenial untuk memajukan  Bangsa dan Negara.

Opa Jappy | Relawan Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi - IHI MJ

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun