Tentang Kampanye: Sederhananya, kampanye adalah memberitakan (menyampaikan sesuatu melalui tulisan, gambar, suara dengan berbagai media) daya tarik untuk mendapat perhatian, dukungan, dan pilihan. Isi pemberitaan itu, antara lain kapasitas, kualitas, bobot, prestasi, kelebihan (berdasar data, fakta, arsip, hasil yang telah ada/dicapai), dan keuntungan jika memilih sesuai yang dikampanyekan. Kampanye bisa dan biasa dilakukan oleh/pada berbagai kegiatan; dan utamanya pada proses pemilihan pimpinan (dan pengurus) di pada organisasi tertentu (ormas, keagamaan, kegiatan sekolah, kampus, dan partai politik), dan yang paling umum dilakukan adalah pada kegiatan politik, [Sumber: Klik]
Berdasarkan hal di atas, maka siapa pun yang mau terpilih sebagai pemimpin, termasuk Anggota Parlemen, Presiden dan Wakil Presiden, maka ia harus menemukan dan memiliki pendukung atau pun pemilih; tanpa itu, ia tidak bisa terpilih. Salah satu cara 'menemukan dan memilih' tersebut, adalah melalui Kampanye.
Kampanye 'Orasi dan Narasi Ketakutan'
Langsung saja; jika mengikuti data dan jejak digital kampanye yang dilakukan oleh Capres Prabowo Subianto dan 'Tim Hore serta Pemandu Soraknya,' maka saya yang rakyat biasa ini semakin bingung karena tidak ada apa-apa yang didapatkan dari mereka. Penyebabnya adalah, Sang Capres ini belum menyampaikan usul, visi, missi, program unggulan, terobosan, bahkan solusi cerdas dari apa yang mereka sebut 'permasalahan bangsa.'
Apa-apa yang Sang Capres (bersama Pemandu Soraknya) sampaikan, boleh saya sebut, adalah orasi dan narasi ketakutan, anti kebijakan pemerintah, dan segala sesuatu, yang selama ini, terjadi adalah 'penuh ketidakbenaran dan ketidakberesen,' sehingga Negara menuju kehancuran. Â Misalnya, dari Sang Capres dan Tim Pesoraknya bersuara tentang (i) ada jutaan anggota Komunis di NKRI Capres, (ii) tenaga kerja asing menguasai lapangan kerja, (iii) sedikitnya 10 % orang menguasai SDA dan Kekayaan Negara, (iv) sementara itu, 99 % rakyat Indonesia hidup pas-pasan, (v) NKRI bakalan lenyap pada tahun 2030, (vi) hutang Negara sudah mencapai ribuan triliuan rupiah, jauh lebih besar dari angka resmi dari pemerintah dan perbankan, dan lain sebagainya.
Kampanye "Semuanya Serba Mahal"
Melihat dan membaca publikasi pada/di berbagai media (Media Pemberitaan, Penyiarang, Cetak, dan News Online) dari salah satu Calon Wakil Presiden, cukup membuat saya prihatin serta berupaya memahami  'ada apa di baliknya.'  Penyebanya adalah, isi atau muatan kampanye (dalam bentuk sekedar jalan-jalan ke sejumlah lokasi, termasuk pemakaman) tersebut berupa orasi dan narasi (dipublikasi media) yang bersifat sangat berlebihan atau 'super hyperbola' dari hal-hal atau fakta sebernarnya.
Misalnya, harga sayur mayur, beras, telur atau pun bahan pokok yang sangat mahal sehingga tak terbeli rakyat; tempe setebal atm, seporsi nasi lebih mahal dari rumah makan di Singapura, dan lain sebagainya. Intinya semua jenis kebutuhan pokok mahal sehingga rakyat makin susah; pedagang pasar mengeluh, barang jualan (dagangan) menumpuk, dan tidak laku atau pun tak terbeli.
##
Agaknya, menurut pada pendukung Capres/Cawapres Nomor Dua, melalui cara-cara seperti di atas, maka, yang terjadi adalah, pasangan tersebut sudah ada di hati rakyat. Karena rakyat membutuhkan sosok yang bisa melepaskan Negara dari cengkraman ketakutan, kesulitan ekonomi, dan ketidakpastian. Bahkan, sekali lagi menurut para pemandu sorak, pasangan yang mereka dukung sudah ada di hati rakyat.
Itu, kata mereka; tapi apakah memang benar seperti itu? Terpulang kepada anda (yang sedang baca). Â
Namun, jika memahami (dengan baik dan benar) orasi dan narasi kebencian serta serba mahal dalam/pada kampanye Capres/Cawapres Nomor Dua, agaknya bukan menyampaikan sesuatu yang bersifat edukasi dan mencerdaskan massa, melainkan agitasi politik.
Dalam artian, di depan atau kepada media, merupaka orasi dan narasi, yang kelihatannya lembut, tenang, dan bersahaja, bahkan setengah canda, namun sebetulnya berisi hasutan politik. Agitasi seperti itu, kemudian terus menerus didaur ulang, diberi muatan tambahan atau baru; dan selanjutnya disebarkan melalui Medsos.
Dengan demimikian, publik mendapat (di isi dengan) sejumlah kebohongan, hasustan, penipuan yang terus menerus, sehingga, pada alam bawa sadarnya, mereka terima sebagai suatu kebenaran; benar karena diungkapkan oleh banyak orang. Lalu, adakah dampak kebaikkan dari 'orasi dan narasi kebencian dan kampanye serba mahal?' Â Itu yang perlu menjadi perhatian bersama.
Tapi, jika memperhatikan dan mendengar, setelah larut dalam percakapan sosial sehari-hari (di/dan bersama) berbagai kalangan, maka yang sebenarnya terjadi adalah  'orasi dan narasi kebencian dan kampanye serba mahal,' justru membuat publik muak serta bosan.
Selain itu, misalnya 'kampanye serba mahal,' justru membuat, misalnya para pedagang pasar, menjadi gusar karena dinilai 'membuat dagangan mereka tidak laku. Misalnya, Bu Irah, pedagang sayur di Pasar Minggu, yang saya temui. Ia menyebut bahwa harga sayuran yang jual, harganya naik, tapi habis dibeli orang. Dan menurutnya, itu tanda bahwa orang tidak susah atau masih ada uang.
Ketika, saya tanyaakan, "Bu ada tempe setebal ATM?" Bu Irah tertawa, sambil menunjukkan ATM Bank miliknya, dan berkata, "Abah (ia memanggil saya Abah) jangan ngaco seperti Si Uno lah." Kemudian kami tertawa lepas.
Selain itu, sejumlah pedagang pasar, juga merasa bahwa mereka disinggung oleh Cawapres bukan untuk hal-hal positip, melainkan tak benar., atau hanya dipolitisir. Buktinya, mereka masih bisa berdagang dan banyak pembeli. Artinya, klaim Capres/Cawapres bahwa 99% masyarakat hidup pas-pasan, adalah salah besar. Itu, baru salah satu contoh.
Mereka, para pedagang yang saya temui, pun memilih untuk tidak mendukung Capres/Cawapres yang asal bicara tentang sikon pedagang pasar. Nah.
Selain itu, 'orasi dan narasi kebencian dan kampanye serba mahal,' Â ternyata tidak berdampak pada menaiknya penerimaan publik serta 'rencana publik memilih pada Pilpres 2019.' Â Hal tersebut terbukti, sejak masa Kampanye 23 September 2018 yang lalu, semua survey menunjukkan bahwa penerimaan publik serta 'rencana publik memilih pada Pilpres 2019' terhadap Capres/Cawapres Nomer Dua, tetap berkisar pada 20-30 %; sementara pasangan Nomer Satu, sudah melewati 50 %. Great.
Berdasarkan semuanya di atas, maka bisa disebut bahwa 'orasi dan narasi kebencian dan kampanye serba mahal sangat, sangat, dan sangat tidak efektif serta mampu menaikkan penerimaan publik serta 'rencana publik memilih pada Pilpres 2019.' Â Sebaliknya, yang terjadi adalah kebosanan dan kemuakan publik. Mereka bosan dan muak karena tidak mendapat program, mendengar kata-kata penuh kejujuran, dan melihat rencana solusi yang cerdas, tapi sebaliknya.
Cukup lah.
Kampanye itu, bukan sebarkan kebohongan dan hoax.
Opa Jappy | Relawan Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi - IHI MJ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H