Namun, jika memahami (dengan baik dan benar) orasi dan narasi kebencian serta serba mahal dalam/pada kampanye Capres/Cawapres Nomor Dua, agaknya bukan menyampaikan sesuatu yang bersifat edukasi dan mencerdaskan massa, melainkan agitasi politik.
Dalam artian, di depan atau kepada media, merupaka orasi dan narasi, yang kelihatannya lembut, tenang, dan bersahaja, bahkan setengah canda, namun sebetulnya berisi hasutan politik. Agitasi seperti itu, kemudian terus menerus didaur ulang, diberi muatan tambahan atau baru; dan selanjutnya disebarkan melalui Medsos.
Dengan demimikian, publik mendapat (di isi dengan) sejumlah kebohongan, hasustan, penipuan yang terus menerus, sehingga, pada alam bawa sadarnya, mereka terima sebagai suatu kebenaran; benar karena diungkapkan oleh banyak orang. Lalu, adakah dampak kebaikkan dari 'orasi dan narasi kebencian dan kampanye serba mahal?' Â Itu yang perlu menjadi perhatian bersama.
Tapi, jika memperhatikan dan mendengar, setelah larut dalam percakapan sosial sehari-hari (di/dan bersama) berbagai kalangan, maka yang sebenarnya terjadi adalah  'orasi dan narasi kebencian dan kampanye serba mahal,' justru membuat publik muak serta bosan.
Selain itu, misalnya 'kampanye serba mahal,' justru membuat, misalnya para pedagang pasar, menjadi gusar karena dinilai 'membuat dagangan mereka tidak laku. Misalnya, Bu Irah, pedagang sayur di Pasar Minggu, yang saya temui. Ia menyebut bahwa harga sayuran yang jual, harganya naik, tapi habis dibeli orang. Dan menurutnya, itu tanda bahwa orang tidak susah atau masih ada uang.
Ketika, saya tanyaakan, "Bu ada tempe setebal ATM?" Bu Irah tertawa, sambil menunjukkan ATM Bank miliknya, dan berkata, "Abah (ia memanggil saya Abah) jangan ngaco seperti Si Uno lah." Kemudian kami tertawa lepas.
Selain itu, sejumlah pedagang pasar, juga merasa bahwa mereka disinggung oleh Cawapres bukan untuk hal-hal positip, melainkan tak benar., atau hanya dipolitisir. Buktinya, mereka masih bisa berdagang dan banyak pembeli. Artinya, klaim Capres/Cawapres bahwa 99% masyarakat hidup pas-pasan, adalah salah besar. Itu, baru salah satu contoh.
Mereka, para pedagang yang saya temui, pun memilih untuk tidak mendukung Capres/Cawapres yang asal bicara tentang sikon pedagang pasar. Nah.
Selain itu, 'orasi dan narasi kebencian dan kampanye serba mahal,' Â ternyata tidak berdampak pada menaiknya penerimaan publik serta 'rencana publik memilih pada Pilpres 2019.' Â Hal tersebut terbukti, sejak masa Kampanye 23 September 2018 yang lalu, semua survey menunjukkan bahwa penerimaan publik serta 'rencana publik memilih pada Pilpres 2019' terhadap Capres/Cawapres Nomer Dua, tetap berkisar pada 20-30 %; sementara pasangan Nomer Satu, sudah melewati 50 %. Great.
Berdasarkan semuanya di atas, maka bisa disebut bahwa 'orasi dan narasi kebencian dan kampanye serba mahal sangat, sangat, dan sangat tidak efektif serta mampu menaikkan penerimaan publik serta 'rencana publik memilih pada Pilpres 2019.' Â Sebaliknya, yang terjadi adalah kebosanan dan kemuakan publik. Mereka bosan dan muak karena tidak mendapat program, mendengar kata-kata penuh kejujuran, dan melihat rencana solusi yang cerdas, tapi sebaliknya.
Cukup lah.