Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kelompok-kelompok yang Sering Menjadi Sasaran Kebencian

26 Februari 2018   16:13 Diperbarui: 29 Juli 2022   18:53 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Kita, anda dan saya, tidak bisa menolak takdir dan nasib dilahirkan sebagai bagian dari Bangsa Negara Indonesia. Mungkin, kini hanya sedikit orang yang dilahirkan pada waktu NKRi belum dilahirkan atau diproklamasikan; dengan demikia, bisa jadi 99 % rakyat Indonesia, sekarang ini, terlahir sebagai 'anak-anak Bunda Pertiwi' Republik Indonesia. Republik yang ada serta dibangun melalui proses perjuangan panjang diiringi air mata, keringat, dan darah, serta pengorbanan lainnya. 

Ketika, Anda dan saya, terlahir serta ada, langsung terhisab sebagai bangsa yang multi kultural, etinis, golongan, strata, dan pelbagai perbedaan lainnya. Sehingga bisa disebut Indonesia  merupakan kumpulan masyarakat yang multi kultural dan pluralistik di dunia. Di Indonesia ada ratusan suku dan sub-suku dengan ciri khas sosio-kulturalnya masing-masing; mempunyai aneka ragam bahasa suku dan sub-suku; ada banyak cara penyembahan kepada Ilahi sesuai sikon hidup dan kehidupan; bahkan terdapat berbagai macam karakteristik manusia, dan seterusnya. 

Semuanya itu adalah Anugerah dari Sang Khalik; semuanya itu adalah kekayaan sosial yang tak terelakan; semuanya itu adalah warna warni Nusantara; semuanya itu adalah kebhinnekaan kita. Ya, negeri ini adalah tanah keragaman, multikulturalisme, pluralisme, penuh dengan kepelbagaian.

Karena itu, para pendiri bangsa telah melakukan suatu kesepakatan bersama yang tertuang dalam dan melalui UUD 45, bahwa

  • Negara menjamin kebebasan bangsa Indonesia untuk beragama; dan bukan menentukan rakyat memeluk salah satu atau hanya satu agama. Artinya, adanya peluang dan kesempatan seluas-luasnya untuk keseluruhan rakyat dan bangsa, agar bisa memeluk atau menjadi umat salah satu agama yang ada dan berkembang di Indonesia.
  • Tujuan berbangsa dan bernegara adalah adanya kesejahteraan seluruh rakyat, yang di dalamnya terjadi kesetaraan pada semua bidang, termasuk keadilan, hukum, perlakuan, jaminan terhadap kebutuhan dasar rakyat, perlindungan hak-hak asasi manusia, dan keamanan serta kebebasan  sosial.

Semuanya masih terus menerus berproses; berproses untuk mencapai tujuan. Proses tersebut terus melalui berbagai langkah dan program pembangunan Nasional. Dalam kerangka itu pun terjadi interaksi dan relasi sosial yang dibangun berdasar spirit cinta kasih, damai, dan kehendak satu sama lain saling memuliakan, serta melintasi sekat perbedaan dan sentiment SARA.

Hal tersebut juga bermakna bahwa, di negeri ini, seharusnya tidak ada tempat, sekecil apa pun, untuk atau adanya konflik dan sengketa karena perbedaan agama, politik, atau etnik serta aneka perbedaan lainnya.

Dengan demikian, segenap anak bangsa di Bumi Nusantara ini, ketika berinteraksi, mau tau mau, terjadi kebersamaan penuh perjumpaan atau berjumpa dengan aneka perbedaan; perbedaan yang juga merupakan anugerah dan berkat dari Sang Pencipta. Dalam perjumpaan tersebut, (akan) terjadi saling menerima, menghormati, menghargai, satu sama lain sebagai saudara berbangsa dan bernegara. Itu, idealnya dan penuh keindahan.

Sayangnya, interaksi yang penuh keindahan tersebut, akhir-akhir ini, justru mengalami degradasi; suatu sikon penurunan kualitas hubungan sosial (dan juga bidang lain). Penurunan tersebut, terjadi akibat banyak faktor, namun menurut saya, sumbangan utamanya adalah perbedaan dan setimen SARA serta beda pilihan (termasuk dukungan) politik. Dua hal yang saling tarik menarik serta bagaikan 'ayam dan telur' atau 'telur dan ayam.'  

Hal senada, juga diungkapkan oleh Asep Salahudin (Staf Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat). Menurut Asep,

"Dalam 15 tahun terakhir, politik keindonesiaan sering kali diharu biru narasi kebencian. Keindonesiaan seolah lahir dan dipaksa tampil satu wajah. Sesuatu yang seharusnya sudah selesai tiba-tiba ditampilkan lagi dalam panggung demokrasi lima tahunan, semata untuk mengejar tampuk fana kekuasaan dan pragmatisme politik yang berjangka pendek. Politisasi identitas digoreng sedemikian rupa sampai gosong, bahkan hubungan tetangga rontok dan kekerabatan berantakan. Massa diindoktrinasi dengan paham keagamaan sempit, arkaik, dan sangat menghinakan akal sehat.

Politik yang seharusnya menjadi medan untuk menyeleksi pemimpin amanah, kredibel, punya kemampuan manajerial, tiba-tiba seperti menanggung beban teologis sehingga di panggung kampanye yang tersimak adalah sumpah seranah dan stigma kafir, sesat, bidah kepada mereka yang tak sehaluan keyakinannya. Ayat- ayat Tuhan dikutip bukan demi mengagungkan Diri-Nya, melainkan sekadar cari legitimasi, orang lain tak layak jadi pemimpin,"

Bukan itu saja. Dampak dari 'politik parsial karena adanya muatan religius,' memunculkan penolakan dan penerimaan terhadap pemimpin yang beda iman. Terbukti dengan hasil survei CSIS pada 23-30 Agustus 2017, 58,4 % responden tidak mau menerima pemimpin yang tidak sama agamanya; dan hanya 39,15 % responden menerima pemimpin yang berbeda keyakinan dan agama.

Dampak lain dari 'politik parsial karena adanya muatan religius' ditambah dengan (adanya) sentiment SARA, menghasilkan kelompok yang tidak menyukai (bahkan membenci) kelompok-kelompok-kelompok atau komunitas lainnya. Hal tersebut, terbukti dari hasil survey Wahid Institute dan Lembaga Survei Indonesia. Menurut dua lembaga tersebut, 10 Kelompok atau pun komunitas yang sering jadi sasaran kebencian masyarakat dan acap diartikulasikan dalam bentuk kekerasan fisik; sepuluh kelompok tersebut adalah

  1. LGBT, 26,1 %
  2. Komunis, 16,1 %
  3. Yahudi, 10,7 %
  4. Kristen, 2,2 %
  5. Syiah, 1,3 %
  6. Wahabi, 0,5 %
  7. Buddha, 0,4 %
  8. China, 0,4 %
  9. Katolik, 0,4 %
  10. Khonghucu, 0,1 %

Selain itu, berdasar survey, 59,9 % memiliki kelompok yang dibenci. Dan diikuti dengan, 92,2 % tidak setuju jika anggota kelompok yang dibenci menjadi pejabat pemerintah; 82,4 % tidak rela anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga. Luar biasa.

Sedikit Catatan: 

Kelompok atau komunitas yang menjadi sasaran kebencian tersebut dapat dibagi menjadi

  1. Kelompok Agama dan Aliran Keagamaan: Yahudi, Kristen, Syiah, Budha, Katolik, Khong Hu cu
  2. Kelompok Idiologi: Komunis, Wahabi
  3. Kelompok 'Penyimpangan' Kejiwaan: LGBT  

Di sini, terjadi suatu 'kerumitan' pengolongan. Misalnya, ada kelompok yang menolak Syiah sebagai Islam, dan juga Wahabi bukan sebagai 'islam yang Benar.' Namun, jika memasukan Wahabi sebagai Idiologi (minus agama), maka akan menyamakannya dengan (Idiologi) Komunis. Padahal, kelompok Wahabi, pada umumnya sangat anti Komunis. 

Tentang LGBT. Pada kalangan Kristen dan Katolik, serta sebagian Umat Islam, melihat LGBT sebagai biasa-biasa saja serta  bagian yang harus diterima. Namun, tak sedikit orang (umat) Kristen, Katolik, dan Islam menilai LGBT sebagai penyakit psikhologis, penyimpangan, bahkan dosa yang tak berampun serta tempatnya di Neraka karena kelakuan mereka melawan kodrat serta teks-teks Kitab Suci.

Kebencian Terhadap LGBT. Ini menarik, karena menempati urutan pertama. Berdasarkan pengalaman, melayani dan pelayanan (pada konteks pendampingan serta penguatan terhadap korban kekerasan psikhis dan fisik), kebencian atau pun ketidaksukaan terhadap LGBT tidak melulu datang satu kelompok agama atau pun organisasi massa. Kebencian terhadap LGBT ada di semua agama (terutama Katolik, Kristen, Islam), terutama mereka yang tergolong fundamentalis agama dan radikal. Kelompok-kelompok fundamentalis ini lah, yang akhir-akhir ini berteriak nyaring terhadap LGBT.

Latar Idiologi responden dan Latar Keagamaan Responden. Jika memperhatikan hasil survey di atas, misalnya nomor 6, hanya 0.5 % responden yang membenci Wahabi, namun pada nomor 1-5, ada sejumlah kelompok yang menjadi sasaran kebencian. Umumnya, kelompok yang membenci nomor 1-5 adalah mereka yang tergolong Wahabi. Sayangnya saya tak mendapat info tentang detail latar idiologi responden yang disurvey oleh WI dan LSI. Bisa jadi, mayoritas dari antara mereka datang dari kelompok Wahabi.

Sangat memprihatinkan adalah banyaknya jumlah kelompok agama yang menjadi sasaran 'kebencian.'  Dengan demikian, bisa disebut bahwa perbedaan keyakinan, iman, agama dan aliran keagamaan, ternyata menjadi alasan sehingga muncul ketidaksukaan dan kebencian terhadap yang lainnya. 

Selanjutnya, Apa yang Seharusnya Diperbuat? Nantikan tulisan berikut. 

Mari kita bersama menemukan jawaban yang tepat

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun