Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Apa dengan Jogja

11 Februari 2018   21:24 Diperbarui: 12 Februari 2018   07:05 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jogjakarta, Yogyakarta, Jogja, Yogya, apa pun sebutannya, pasti tertuju ke Kota di Jawa bagian Selatan. Kota yang disebut juga sebagai warisan Mataram Kuno, dan sekaligus memiliki 'warisan' Majapahit dan penerus Kesultanan Mataram. Namun, sejak kapan 'pusat kesultanan' tersebut disebut Yogyakarta? Hingga kini, belum ada kesamaan pendapat tentang asal usul kata Yogyakarta; tapi, ada beberapa pendapat antara lain,

Peter Carey, Yogyakarta dari kata 'Ayodhya' (Sansekerta), mengacu pada ibukota Rama dalam epos Ramayana. Peter Carey mengikuti History of Java (1872) karya Thomas Raffles, kota itu "diberi nama oleh pendirinya menurut nama Ayudhya, ibukota Rama yang terkenal."

Jacobus Noorduyn mengemukakan pendapat tentang asal-usul nama Yogyakarta yang diperkuat dengan bukti-bukti tertulis dari surat, jurnal, memoir, dan catatan-catatan yang dilakukan oleh Belanda. Dalam Babad Giyanti karya Yasadipura I, disebutkan nama 'Ayogya', 'Yugya', 'Ngajukjeku (Ngajukja iku)' menunjuk pada tempat atau lokasi di Mataram, terdapat pesanggrahan perburuan, pada tempat tersebut, kemudian, didirikan Kraton. Pada Babad Tanah Jawi versi macapat, juga disebutkan bahwa Paku Buwana II singgah di pesanggrahan Gerjitawati dan mengubah namanya menjadi Ayogya.

Prof. Dr. M.C Rickfles menyanggah Yogya berasal dari 'Ayodhya' ibukota dalam Ramayana. Menurutnya, sebelum kota Ngayogyakarta Hadiningrat diumumkan oleh HB I, sudah ada nama Garjitawati dan/atau Yogya atau Ayogya. "Garjita" (Sansekerta artinya "meraung, menyombongkan diri, angkuh, membual");  Jawa Kuna artinya "gembira, senang, puas;' Bahasa Jawa Baru artinya "sangat puas, gembira, merasakan emosi yang kuat".

Paksi Raras Alit berpendapat bahwa etimologi kata Yogya masih simpang siur dan tidak bisa dipastikan sejarahnya, setidaknya dalam bahasa Jawa baru dan bahasa Indonesia kata 'Yogya' sudah mendapatkan terjemahannya yaitu 'sesuai, layak, pantas, pas'. Berarti tidaklah berlebihan kalau sementara ini kita sepakat mengartikan Yogyakarta sebagai 'kota yang layak dan pas untuk dihuni'.

Nah ... itulah Jogja atau Yogya. 

Lengkapnya klik Asal-usul Nama Yogyakarta

Kenangan sebagai Kota Pendidikan

Yogyakarta, kota yang tahun 70an hingga awal 80an, saya sudah akrab dengannya. Akrab karena pada masa itu, harus sering bolak-balik Semarang-Salatiga-Magelang-Yogya. Yogya menjadi kota "wajib datang," karena merupakan 'pusat mahasiswa' asal NTT (dan juga dari wilayah Indonesia Timur lainnya) di Jawa. Sebab, pada masa itu Alm. Prof. Dr. Ir. Johannes, menjadi kiblat ilmu serta orang tua kedua bagi para mahasiswa NTT di rantau.

Pada waktu itu, mahasiswa asal NTT menyebar di Universitas Gadjah Mada, IKIP Yogya (kini Universitas Negeri Yogyakarta), Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, Unika Atmajaya, Asmi, UK Duta Wacana (sebelumnya bernama STT Duta Wacana), juga Undip dan IKIP Semarang, UKSW Salatiga, UKRIM (sebelumnya bernama STII). Boleh dikata, pada masa itu, Yogya sebagai kota 'aman damai nyaman' untuk belajar atau kuliah mengalahkan kota-kota lainnya di Negeri ini.

Masih teringat dalam ingatan; pada masa mahasiswa, tak pernah ada ribut dan ramai antar suku, agama, golongan, atau pun etnis. Hampir semuanya bagaikan saudara; menyatu diri dalam belajar walau beda kampus. Bahkan, masih segar dalam ingatan, anak rantau dengan aman berinteraksi dan berbaur dengan penduduk asli Jogya. Dan tak sedikit, yang selesai kuliah, sekaligus membawa ijazah dan isteri gadis Jogya pulang ke Kampung Halaman.

Itu, cerita kemarin; pada masa lalu di Yogyakarta.

Kisah indah dan belajar di Yogya, mungkin (saja) kini tinggal kenangan? Ya, bisa jadi seperti itu. Jika tidak salah, setelah era akhir tahun 80an dan awal 90an, seiring dengan perkembangan zaman, Yogya mulai berubah dari Kota Pendidikan menjadi Kota Metropolis. Gempita hiburan malam 'berdampingan' dengan kemegahan Kampus; ruang belajar di kamar kos dan asrama 'bersebelahan' dengan cafe, mall, dan arena hiburan malam lainnya.

Kedamaian, persaudaran, dan suasana belajar, serta kelelahan setelah belajar pun tak lagi diakhiri pada canda, catur, dan main gitar di area halamaan rumah kos dan asrama, namun berpindah ke mall, plaza, atau pun karoke. Sehingga tak jarang, pada sikon tertentu, justru menimbulkan gesekan-gesekan kecil. Atau, bahkan terjadi konflik yang berujung pada korban jiwa; tentu masih ingat khan, pada suatu masa beberapa pemudah ditembak mati oleh tentara, akibat konflik di area hiburan malam.

Belakangan, dan makin menjadi-jadi, di Yogya muncul sejumlah ormas keagamaan, yang giat dan aksinya membuat Jogja 'tak lagi nyaman untuk semua golongan, etnis, agama.' Tahun-tahun belakangan ini, sejumlah aksi dan ribut intoleran terjadi di Jogja. Misalnya, penolakan terhadap 'menampung' korban atau pengungsi akibat bencana; penolakan terhadap Perayaan 500 tahun Reformasi Protestan; penolakan terhadap Bhakti Sosial yang diadakan oleh Gereja Katolik, dan sejumlah kasus intoleransi lainnya.

Menurut catatan Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Agnes Dwi Rusjiyati, mengatakan kasus intoleransi pada 2015 hingga Maret 2016 paling banyak terjadi di Kabupaten Sleman. Contoh kasusnya di antaranya penutupan tempat ibadah, pelarangan aktivitas ibadah, tidak dikeluarkannya izin mendirikan tempat ibadah, dan larangan melakukan diskusi di kampus.

Kabupaten Bantul menjadi wilayah kedua terjadinya intoleransi setelah Sleman. Contohnya adalah penutupan pondok pesantren Waria Al-Fattah di Dusun Celenan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul; setelah Bantul, Gunung Kidul menjadi daerah terjadinya kasus intoleransi. Misalnya ada kasus penyegelan dan penutupan paksa gereja.

Madinaonline juga mencatat bahwa, Yogyakarta adalah kota budaya. Sebagai kota budaya masyarakat Yogya dikenal sebagai warga yang toleran, plural, dan menghargai perbedaan agama atau keyakinan orang lain. Tapi belakangan peristiwa intoleransi di Yogya semakin kerap terjadi.

Mulai pembubaran acara diskusi atau keagamaan, penutupan bahkan sampai pembakaran tempat ibadah. Terakhir, kelompok intoleran semakin sering menekan kampus. Kebebasan akademik pun mulai terancam. Yang terbaru belum lama ini, mereka menggagalkan acara diskusi tentang Syiah yang akan diadakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dan yang paling terbaru adalah , seorang pria tidak dikenal dengan membawa pedang menyerang umat dan pastor yang sedang menjalankan ibadah misa di gereja Santa Lidwina Bedog, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta, Minggu (11/02/2018) pagi. Pelaku bernama Suliyono, 16 Maret 1995, mahasiswa; alamat Krajan Rt. 02 Rw. 01 Kandangan Pesanggrahan Banyuwangi Jawa Timur.

Itu sedikit yang terjadi di Yogya. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di Yogyakarta?

Bisa saja semuanya yang terjadi, belakangan ini, meningkatnya kasus-kasus intoleransi, dan juga penyerangan terhadap pemuka agama, sebagai start up agar menjadi kasus atau pun kerusuhan sosial yang lebih besar. Jadi, ada semacam motif serta rencana tersembunyi untuk menciptakan rasa tidak aman di tengah masyarakat, yang berujung pada umat provokasi sehingga tercipta konflik horizontal.

Jadinya, walau Yogyakarta sebagai 'kota yang layak dan pas untuk dihuni,' namun agaknya telah berubah dengan pasti menuju 'Garjita' atau meraung, menyombongkan diri, angkuh, membual.

Kembali ke judul, Ada Apa dengan Yogya?

Opa Jappy

Penggagas Gerakan Damai Nusantara

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun