Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haik Lambang Filosofi Orang Rote

23 Januari 2018   19:14 Diperbarui: 24 Januari 2018   07:37 2571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Diaspora Rote | Haik

Ba'a, Rote Nusa Tenggara Timur---Hidup dan Kehidupan manusia selalu ada dalam bentangan dan batasan maya dan nyata; ia dibatasi secara geografis, pangkat, jabatan, profesi, jenjang, dan struktur serta strata lainnya. Walau seperti itu, manusia atau seseorang, karena naluri mobilitas dan perubahan sikon dirinya, dapat berpindah atau pun beralih secara geografis, srata, jenjang, dan seterusnya. Semuanya itu, bisa terjadi karena manusia memilik budaya, kebudayaan, serta unsur-unsur budaya yang mempermudah hidup dan kehidupannya.

Tentang Kebudayaan dan Kognisi

Secara sederhana, kebudayaan merupakan hasil cipta (serta akal budi) manusia untuk memperbaiki, mempermudah, serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Atau, kebudayaan adalah keseluruhan kemampuan (pikiran, kata, dan tindakan) manusia yang digunakan untuk memahami serta berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya. 

Kebudayaan berkembang sesuai atau karena adanya adaptasi dengan lingkungan hidup dan kehidupan serta sikon manusia berada. Juga, kebudayaan berkembang karena adanya kemampuan kognisi pada manusia; kognisi tersebut menjadikan manusia menghasilkan sejumlah unsur, benda, kegiatan, kebiasaan, dan lain sebagainya yang sering disebut Hasil-hasil atau unsur-unsur Kebudayaan. 

Kognisi juga bisa merupakan keseluruhan kemampuan otak dalam menerima, menyimpan, dan mengingat kembali semua input yang masuk atau dimasukkan (secara sengaja dan tidak sengaja) ke dalamnya.  Pada konteks itu, Naomi Quinn dan Dorothy Holland menyatakan bahwa,

"Ada kaitan antara budaya dan kognisi; ada semacam kongnisi makna yang bersifat budaya; dari situ, muncul dari sudut pandang perspektif antropologi, yang melihat kebudayaan sebagai pengetahuan bersama. Dan bukan sekedar adat, artefak, tradisi lisan, melainkan agar masyarakat ketahui sehingga dapat berperilaku, menafsirkan pengalaman, serta bertindak sesuai apa yang mereka ciptakan.

Pada masyarakat, ada kaitan erat dengan kebiasaan atau perilaku, unsur-unsur budaya memberi pengaruh kepada perilaku, dan juga sebaliknya. Dan dalam hubungan timbal-balik seperti itu, semua elemen di/dalam komunitas (yang sama-sama sebagai dan pengguna unsur-unsur dan hasil kebudayaan) selalu bertambah kognisinya; dan dengan itu semakin memperkaya atau bahkan memiskinkan warisan unsur-unsur budaya yang ada padanya. Ini terutama pada mereka yang telah mengalami sentuhan dengan Masyarakat Modern yang tidak melupakan unsur budaya tradisionalnya.

Sebaliknya, pada masyarak tradisional, misalnya masyarakat adat di wilayah kota-kota kecil, pedalaman, setiap kognisi baru, yang sekiranya (yang menurutnya bisa) bertantangan atau berbeda dengan unsur-unsur dan warisan budaya (yang berlaku dan masih ada) pada komunitasnya, maka akan dipendam; artinya hanya sekedar menjadi kognisi, namun tak digunakan atau aplikasikan. Hal itu terjadi, karena masih ada rasa segan, hormat, dan nilai-nilai budaya serta tuturan orang tua (ingat bahwa warisan budaya berupa jangan ini dan jangan itu, filosofi hidup, biasanya ada karena hasil tuturan); jika melanggar tuturan itu, maka akan disamakan dengan telah melawan dan melanggar adat.

Sedikit Catatan dari Quinn, Naomi dan Holland, Dorothy. 1987. "Culture and Cognition" dalam Cultural Models in Language and Thought. New York: Cambridge University Press.

Dokumentasi Diaspora Rote | Puncak Pohon Lontar
Dokumentasi Diaspora Rote | Puncak Pohon Lontar
Pada masyarakat bangsa, suku dan sub-sub suku selalu ada orang-orang, sering disebut local genius, merekalah yang memilik kognisi sehingga menghasilkan atau menciptakan unsur-unsur budaya, dan dipakai secara bersama, serta menjadi 'milik' ataupun ciri khas komunitas tersebut; bahkan dipergunakan juga, karena adanya interaksi, oleh orang luar. Dengan itu, mudah dimengerti bahwa adanya sebaran hasil atau unsur budaya satu komunitas ke pelbagai penjuru; ada yang mirip atau pun 'di daur ulang' sesuai kebutuhan dan sikon setempat.

Sama halnya dengan Orang Rote atau 'Hataholi Lotek,' salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur. Pulau, bersama pulau Ndao merupakan Kabupaten terselatan di Nusantara, yang penduduknya, pada masa lalu, akrab dan bergantung pada pohon Lontar atau Siwalan (Latin, Borassus Flabellifer) sejenis palem batang tunggal, bisa mencapai tinggi 30 m, berbatang kasap, agak kehitam-hitaman, dengan penebalan sisa pelepah daun di bagian bawah.

Lontar, orang Rote menyebutnya sebagai 'Pohon Tuak;' pohon yang tumbuhnya alami tanpa pemeliharaan, pupuk, dan tumbuh sendiri di hamparan tanah kosong, bukit, tepian pantai, ladiang, bahkan di tanah tandus sekalipun. Pohon lontar tumbuh dengan tidak teratur dan berkelompok sehingga sulit diadakan perhitungan banyaknya di Rote. Karena hidup dan tumbuh 'yang gampang' tersebut, seringkali pohon lontar tak dihitung sebagai harta (dalam Mamar atau Ladang) milik atau pun mas kawin. Atau, Lontar pantang dijual karena merupakan salah satu 'penunjang utama hidup dan kehidupan Orang-orang Rote. 

Dengan kata lain, Pohon Tuak atau Lontar menjadi salah satu kontribusi utama makanan serta sejumlan peralatan harian masyarakat Rote. Bahkan, para Petutur Rote menyatakan 'Pohon Tuak' adalah satu simbol kebudayaan dan peradaban, karena di dalamnya atau dari pohon itu ada kelangsungan hidup dan kehidupan Orang-orang Rote.  

[Note: Sejak zaman dulu, Orang Rote menggunakan budaya bertutur; dalam artian bertutur sebagai media penyampai kisah, sejarah, silsilah, harta milik, dan juga filosofi hidup dan kehidupan. Misalnya, 'Cara Bertutur' dipercaya sebagai bukti sah dan valid terhadap kepemilikan, asal usul, dan lain sebagainya].

Ada filosofi hidup dan kehidupan Orang Rote yaitu mao tua do lefe bafi artinya kehidupan cukup bersumber dari mengiris atau menyadap tuak dan memelihara babi. Dan memang secara tradisional orang-orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak. Sehingga, umumnya komunitas atau kelompok kecil masyarakat Rote tinggal di sekitaran Pohon Lontar yang sudah ada sebelumnya.

Faktanya, dari pohon lontar, batangnya yang telah tua, dijadikan tiang atau pun dipakai untuk membangung rumah; buahnya, siwalan untuk dimakan; sadapan air lontar dibuat menjadi gula cair dan lempengan; daunnya untuk lintingan rokok, membuat topi Rote atau Ti'i Langga, Sasando, serta semacam ember dan gelas.

Ember atau wadah menampung benda cair dan gelas dari daun lontar itulah yang disebut haik, (baca, bukan 'haik,' i datar atau lembut; tapi ha ii kk, tekanan kuat pada ik). Pengucapan lafal atau dialek ini penting, sebab kata 'haik' pada Bahasa Rote, jika salah pengucapan maka berbeda makna atau arti. [Note: ha i, tekanan pada i, artinya api; ha i, tekanan pada ha dilanjut i lembut, artinya ambil, misalnya ha i ma fe au, artinya ambil buat saya, kata kerja atau perintah]. Nah, mungkin saja, kosa kata 'haik' juga mengandung makna 'ambil sesuatu untuk;' dalam artian haik sebagai wadah untuk mengambil dan menampung sesuatu.  

Haik, pada masa lalu hingga kini (masih banyak yang gunakan) sebagai perlengkapan harian orang Rote, sehingga dibuat sesuai dengan kegunaannya. Yaitu, haik untuk menampung air minum atau pun wadah menampung air (seperti ember) dan dipikul dari sumber air ke rumah; haik untuk menampung hasil sadapan air lontar; haik untuk menjual tuak; haik kecil untuk minum; juga haik khusus untuk membuat Sasando (instrumen musik khas dari Rote). Bentuk dan kegunaan haik tersebut, ternyata mengandung atau mencerminkan dan melambangkan filosofi keseharian hidup dan kehidupan Orang-orang Rote.

Dokumentasi Diaspora Rote
Dokumentasi Diaspora Rote
Penyimpanan Haik

Haik berbentuk nyaris seperti 'setengah slinder;' bagian bawah seperti telur, sehingga tak bisa diletakan dengan tegak. Sehingga haik yang berisi air atau bahan cair, selalu digantung; dan jika haik kosong maka disimpan terbalik atau mulutnya di bawah; menyimpan haik, harus bersih dari sisa-sisa tuak, gula, atau makanan yang sebelumnya di di tampung di dalamnya.

Ini melambangkan bahwa Orang Rote membiarkan hal-hal yang merusak, bahkan hal-hal kecil sekalipun, membekas pada hidupnya. Sebelum ia istirahat, misalnya tidur, ia pastikan bahwa tak apa pun yang bersifat merusak membekas dalam dirinya. Orang Rote, pantang dendam dan selalu memberi perlindungan kepada yang lemah, tak kuat, dan tertindas.

Dokumentasi Diaspora Rote
Dokumentasi Diaspora Rote
Haik untuk Penyadap atau 'Iris Tuak' dan Hasilnya

Pengiris atau Penyadap Air Lontar (tuak) selalu naik pohon lontar dan menaruh haik di belakang, mengikat pada sabuk pinggang belakang, perhatikan foto. Haik di belakang bawah Penyadap garus selaras dengan bidang bawah tubuhnya, tak boleh lebih besar atau pun kekecilan. Ketika ia di atas pohon, haik dibuka dan menampun hasil sadapan. 

Setelah penuh, kira-kira lima senti meter dari mulut haik, Si Penyadab turun, dan menggangtung haik yang telah berisi air lontar. Pada saat itu, ia menjaga agar air lontar yang di dalam haik tak tumpah sedikit pun; ketika turun mendekati tanah, ia juga waspada, sebelum kakinya menapak tanah, maka satu tangangnya memegang haik, kemudian kakinya turun. Jika tidak, maka haik akan miring atau  pecah, maka hasil sadapannya tumpah.

Semuanya itu menunjukkan suatu pelambangan bahwa 'kerja dan usaha' Orang Rote, dengan perhitungan yang teliti, waspada, hati-hati, perhitungan, dan menjaga keselarasan serta keseimbangan. Orang Rote yang berani bertaruh nyawa dengan naik pohon lontar, kadang tingginya mencapai 30 meter, tanpa sabuk pengaman, merupakan suatu keberanian dan perjuangan. 

Sehingga, walau hasilnya satu haik kira-kira 10-20 liter air nira, maka ia harus menjaga hasil keringatnya itu. Dengan itu, Orang Rote tak boleh menyia-nyiakan hasil usahanya dengan sembarangan. Juga, menunjukan bahwa jika mau mendapat hasil kerja, maka Orang Rote harus berani 'naik' dan lakukan sendiri, tanpa didorong atau ditarik oleh orang lain, semuanya ia lakukan sendiri atau mandiri. 

Faktanya, hingga sekarang, kemandirian Orang Rote di Perantauan atau Diaspora sangat terlihat; mereka yang menjadi pejabat atau sukses usaha, semuanya ada hasil jerih dan juang sendiri, bukan karena nepotisme. Bahkan, independensi Orang Rote itu lah, kadang menjadikan mereka 'sulit diatur' atau terhisab secara tetap serta militans pada organisasi dan orang tertentu; ia hanya mau membela atau mendukung mereka yang menurutnya benar dan tepat, walaupun seluruh dunia menantangnya.

Dokumentasi Diaspora Rote
Dokumentasi Diaspora Rote
Haik untuk Dipikul

Haik jenis ini, biasanya agak besar, karena dipergunakan untuk mengambil air di sumber air (dan bawa ke rumah) dan menjual tuak atau pun gula cair/air. Jika seorang Rote mengambil air atau menjual tuak di haik (lihat foto), maka pantang baginya meletakan haik di tanah atau istirahat (karena memang haik tak bisa diletakan di tanah, sebab bawahnya seperti telur atau slinder). Ini bermakna, ia harus membawa air hingga ke tujuan atau rumah, baru ia istirahat; demikian juga jika menjual tuak, jualannya harus laku atau habis baru ia bisa istirahat dan meletakan haik kosong di tanah.

Makna yang terkandung di dalamnya bahwa jika melakukan sesuatu, apa pun rintangan dan halangannya, Orang Rote harus lakukan semuanya hingga selesai. Ia tak kenal 'berhenti di jalan' atau menyerah; jika ia memulai sesuatu, maka dengan kekuatan yang ada padanya, apa pun hasil akhirnya, harus diselesaikan hingga tuntas. Sifat dan filosofi Orang Rote ini, kadang menjadikan dirinya (diri sendiri) korban, bahkan nyawa melayang, sebab dalam keadaan lemah sekalipun, ia mau tuntaskan tugas dan tanggungjawab yang dipikulnya.    

Dokumentasi Diaspora Rote
Dokumentasi Diaspora Rote
Haik untuk Minum

Bentuknya sama dengan Haik lainnya, namun diperkecil karena berfungsi sebagai gelas minum; beberntuk sedang dan kecil. Jika minum dengan haik, disuguhkan karena sebagai tamu atau sendiri,  atau pun pada pertemuan adat, biasanya isi haik tak sampai penuh (jika berisi arak atau sopi, maka bisa cepat mabuk), namun tak boleh sekali teguk hingga habis. 

Minum dengan haik atau atau mendapat suguhan minuman pada haik, untuk menunjukkan tuang rumah (atau yang menyuguhkan) ingin bertutur, ngobrol lama, mempererat kekerabatan, dan sejenisnya; apalagi jika di dekatnya ada haik besar yang berisi minuman, misalnya tuak. Karena haik untuk minum, juga tak bisa diletakan, maka tetap dipegang sambil bertutur.

 Tetap memegang haiki minum, juga bisa cepat 'menolak' jika yang disuguhkan adalah sopi atau arak tradisional Orang Rote, yang berasal dari 'turunan' air nira. [Note: Orang Rote mempunyai minuman beralkohol yang khas yaitu sopi. Air nira dicampur berbagai akar-akaran dan difragmentasi menjadi laru; kemudian laru disuling menjadi sopi].

Ini adalah ciri khas kekerabatan Orang Rote, karena mereka memegang teguh budaya bertutur, maka setiap kesempatan (misalnya pada waktu melayat), jika ada celahnya, digunakan untuk bertutur. Dan itu hanya bisa terjadi jika sementara duduk bersama dan minum dengan haik. Di sini, memegang haik sebagai tanda bahwa 'Saya masih mendengar apa-apa yang dibicarakan dna menghormati siapa yang bicara.' 

Bertutur pada waktu makan dan minum, juga adalah sisi kebiasaan Orang Rote (sementara pada belahan lain, pada waktu makan dan minum, harus diam atau tak banyak bicara); biasanya mengenai silsilah, sejarah, asal usul; bahkan setelah Agama Kristen masuk di Rote, maka pada waktu bertutur, juga ada bahasan keagamaan.

Dokumentasi Diaspora Rote
Dokumentasi Diaspora Rote
Haik untuk Sasando

Bentuknya sama dengan haik untuk memikul atau pun menjual tuak, namun pegangannya digantik gondola senar. Mencerminkan hidup dan kehidupan Orang Rote yang tak pernah statis; dalam diam sekalipun, mereka mampu menggetarkan orang lain dengan irama serta suara yang merdu dan penuh keindahan.  

Dokumentasi Diaspora Rote | Sang Penyadap
Dokumentasi Diaspora Rote | Sang Penyadap
Haik, bukan sekedar alat untuk untuk menunjang keperluan hidup dan kehidupan, melainkan mencerminkan atau perlambang filosofi Orang Rote di mana pun ia berada. 

Haik, walau terlihat rapuh, namun tahan lama, tapi mudah bocor jika terkena benda kasar atau logam. Oleh sebab itu, pemilik haik harus menjaganya agar tidak berbenturan dengan benda keras. Itulah yang ada pada setiap pribadi Orang Rote, mereka akan menjaga dirinya sehingga tak melakukan benturan dengan apa dan siapa pun.  Jika ia ada dalam sikon yang tak bisa dihindari, maka di situlah ia tampil sebagai pelindung yang lainnya, agar tak ada yang retak dan hancur. 

Haik Tak Pernah Retak di tangan Orang Rote; dan Orang Rote bukan Haik yang Retak.

Itulah Haik

Opa Jappy | Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun