Sekitaran Pasca Sarjana Universitas Pancasila, Jakarta - Batu, ya tentang batu. Batu ada dan hadir sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta; usianya setara semesta, dan sulit dihitung dengan pasti.
Batu yang terlihat merupakan benda padat, tak terbentuk semetris; ada di halaman rumah, pinggir jalan, gunung, lembah, sungai, laut dan sebagainya; ia adalah bagian dari alam.
Batu, yang terlihat, hanyalah serpihan dari bentuk yang sangat  besar; ia menjadi serpihan kecil karena pengaruh gesekan alami atau pun ditempa oleh tangan-tangan manusia.
Oleh tangan-tangan manusia itulah, batu yang tadinya tak berarti, menjadi penuh makna; tadinya terbuang, mendapat tempat mulia; tadinya tak diperhatkan, menjadi pusat perhatian, dan seterusnya.
Batu tak pernah sendiri dan mandiri; ia selalu bersama dengan unsur-unsur alam dan makhluk hidup lainnya. Merekalah yang menjadikan batu (dan batu-batu) semakin bermakna, berarti, berguna, penting, bahkan mulia.
Tiba-tiba, imaginasi membawaku ke hadapan cermin besar; ternyata diriku  serta hidup dan kehidupan yang melekat di dalamnya bagaikan batu.
Manusia, bisa saja seperti batu; ia (manusia itu, sendiri mau pun kelompok) ada karena suatu proses panjang; bertahan dan tetap ada karena adanya dukungan serta ketergantungan dengan yang lainnya.
Batu hanya bisa bermakna, berarti, berguna, penting, bahkan mulia karena terbentuk dan dibentuk, begitu pun manusia.
Manusia (dirimu dan diriku) jadi seperti sekarang ini, bermakna, berarti, berguna, penting, bahkan mulia karena adanya suatu proses pembentukan; proses pembentukan yang dilakukan (dan diterima) secara sengaja dan tidak, informal serta formal. Tanpa proses pembentukan tersebut, dirimu dan dirimu tak memiliki eksistensi, tak berdaya, tidak mampu aktualisasi diri bagaikan batu-batu kotor di pinggir jalan yang penuh sampah.
Namun dan sayangnya.
Kini, di sekitaran dirimu dan diriku ada sekarang ini, dekat atau pun nun jauh di seberang sana, ada banyak orang masih seperti batu yang tak bermakna serta tiada pernah berfungsi.
Atau, ada banyak orang yang sudah mengalami proses pembentukan dan menjadi mulia, terhormat, indah, bermanfaat, tetapi kembali menjadi atau bagaikan batu-batu kotor penuh sampah.
Mereka, 'manusia yang kembali menjadi batu-batu kotor' itu, bagaikan ada dalam telapak tangan Sang Lain.
Sang Lain itu pun melempar batu-batu tersebut ke siapa serta apa pun yang ia tak sukai  dan benci.
Ya, ia gunakan batu (dan batu-batu) untuk merusak, menghancurkan, dan membinasakan; ia melempar batu, kemudian sembunyikan tangannya.
Batu-batu itu, tak menyadari hanyalah sebagai alat penghancur; mereka berteriak, meluncur, berlari, haus, lapar bergerak, kepanasan, bahkan merusak dan korbankan diri, sementara tangan Sang Lain tetap bersih.
Di tempat lain, ia, Sang Lain itu, senyum sinis sambil berbisik ke tembok, "Lihatlah! Dasar manusia-manusia bodoh; mau ikuti perintahku. Mereka merusak, menghancurkan, mencaci, dan berkorban. Jika berhasil, aku lah yang menjadi pahlawan."
Ah .....
Negeriku, kapan menjadi damai?
Opa Jappy
Gerakan Damai Nusantara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H