Monumen Lusuh tentang Korban Kekejaman Pembrontak. Mengapa kalian hanya sibuk dengan anak-cucu "mummi PKI"? Mummi yang dibangkitkan dalam rangka merusak kenyamanan dan ketenangan Bangsa dan Negara. Hitunglah berapa korban PKI tahun 1948 dan 1965. Dan bandingkan dengan pembantaian terhadap mereka yang dituduh dan dituding PKI.
Bandingkanlah kekejaman PKI dengan para pembrontak lainnya atau mereka yang membantai PKI. Mana yang paling menggerikan. Kekejaman DI/TII melebih pembrontakan apa pun di Nusantara. Mengapa kalian tak ribut dan protes?
Mengapa kalian tak lakukan persekusi terhadap anak cucu para pembrontak DI/TII? Tapi, memberi tempat istimewa kepada mereka? Di bawah ini, ada salah satu bukti sejarah yang terlupakan
Monumen Lusuh (lihat foto di atas)
Monumen itu sudah lusuh, dibuat sederhana; tergolek di bawah tiang bendera di depan rumah, di Kampung Buligir, Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya. Monumen yang berisi kalimat berbahasa Sunda, seakan menarik perhatian. Tapi ternyata kata demi kata yang tertulis di monumen, membuat merinding bulu kuduk. Karena tertulis kekejaman gerombolan DI/TII yang telah membantai 51 warga Buligir. Simak
"Bumi ieu anu nyaksi getih suci nyiram bumi lima puluh hiji jalmi rampak lastari."
Artinya "tanah ini menjadi saksi, darah suci menyiram tanah dari 51 warga yang mati dibantai."
Aksi pembantaian terjadi persis malam sebelum peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16 pada tahun 1961. Seorang warga Buligir yang menjadi saksi hidup aksi pembantaian gerombolan DI/TII itu, Warmun (63), menuturkan,Â
"Peristiwa berdarah itu terjadi sekitar pukul 23.00, pada saat sebagian besar warga sudah berada di rumah masing-masing.
Malam itu, sebelumnya warga masih ramai dan sibuk persiapan menyambut HUT RI ke-16. Karena malam mulai larut, warga pun pulang ke rumah masing-masing setelah gotong royong mengerjakan berbagai persiapan menyambut HUT RI keesokan harinya. Saya sendiri saat itu mulai terlelap. Tapi tiba-tiba dibangunkan ayah saya karena katanya ada serangan gerombolan.
Suasana riang penuh canda yang sebelumnya mewarnai warga, tiba-tiba berubah menjadi pekik memilukan. Gerombolan DI/TII, yang datang dari perbukitan di selatan kampung, langsung menyergap perkampunga, dengan cara membakar rumah dan membantai siapa saja yang mereka temui.
Saya melihat kebiadaban itu. Ada ibu-ibu yang sudah hamil tua ditembak hingga mati, lalu perutnya disayat dan bayinya dikeluarkan. Salah seorang paman saya menjadi korban. Tubuhnya sampai diiris-iris dengan menggunakan parang atau golok besar. Pembantaian terjadi setelah gerombolan membumihanguskan hampir semua rumah dan mulai mencari tempat persembunyian warga.Â
Malam itu sebagian besar warga bersembunyi dengan cara tiarap di bawah rimbunan tanaman padi di sawah. Sisanya, termasuk saya dan keluarga, lari menyelamatkan diri ke hutan. Yang lari dan bersembunyi di sawah itulah yang dibantai gerombolan. Mungkin karena ada jejak kaki sehingga tempat persembunyian itu diketahui mereka. Kami mengetahui banyak korban bergelimpangan di sawah setelah kembali ke kampung dan situasi mulai aman.
Sebenarnya, di Kampung Buligir saat itu ada sepasukan TNI. Tapi karena jumlahnya tidak seimbang, gerombolan masih bisa leluasa melakukan aksi pembunuhan massal itu. Akhirnya dengan susah payah TNI bisa menghalau gerombolan melalui pertempuran cukup sengit. Tiga tentara turut jadi korban.
Monggo, cari dan temukan di internet atau datanglah di berbagai daerah sarang DI/TII, maka (akan) menemukan tuturan dan air mata tentang kekejaman DI/TII. Mereka adalah saksi mata dari kekejaman DI/TII, yang penuh kebengisan dan biadab. So, kita, Anda dan saya, saat ini, jangan cuma 'menggoreng' isue PKI, dan lupa pada kekejaman pemberontakan lainnya, terutama yang dilakukan DI/TII.
Mari, kita buka semuanya, biar seimbang.
Dari berbagai sumber
Oleh Opa Jappy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H