Pernyataan Gubernur Bank Indonesia beberapa waktu yang lalu, sangat menarik (lhat suplemen). Menarik, karena jika semuanya lancar, Â maka uang NKRI, menjadi alat tukar yang mahal atau hampir setara, bahkan lebih tinggi, dari uang negara lain.
Mungkin karena minim publikasi "berbau politik," pernyataan Gub BI tersebut, agaknya kurang mendapat perhatian publik. Namun, reaksi muncul dari mereka yang pada pertengahan dekade '60 - '70 sudah dewasa, dan kini telah Opa Oma, ingat masa sanering Rp 1.000.- Â menjadi Rp 1.-
Pada waktu, peredaran Rupiah sangat banyak dan luar biasa, sehingga angka harga dan beli barang serta jasa pun bisa mencapai enam digit. Sanering diperlukan agar "menpermurah" harga barang dan jasa, namun mempermahal mata uang rupiah.
Bagaimana dengan Redenominasi?
Menurut Gub BI, redenominasi adalah penyederhanaan mata uang; ini perlu penjelasan yang detail ke publik.
Saya jadi ingat, tahun 60an, masih ada Rupiah memiliki 1 sen, 5 sen, Â 10 sen atau satu ketip, dan 1 ringgit atau Rp 2.5.- Â Ada juga Rp 5.- Rp 10.- Mata uang "kecil dan receh" tersebut kemudian ditiadakan, sebagai "bentuk penyerderhanaan mata uang."
Kini, Rupiah mulai 100, 200, 500, 1000, 2000, 5000, 10.000, 20.000, 50.000,100.000; angka atau nilai di bawah 100 rupiah, hanya "sebutan," tapi tak ada bentuknya.
Lalu, apa yang mau di-redenominasi oleh Bank Indonesia? Itu, yang dipertanyakan publik.
Sederhakan percahan mata uang sehingga tak lagi ada mata uang "murah atau recehan?" Â Atau, BI mau "menaikan value rupiah sehingga sejajar" dengan mata uang Luar Negeri.
Jika yang dimaksud BI bahwa redenominasi sebagai upaya "menaikan value rupiah," maka publik tak perlu kuatir adanya sanering. Mungkin, yang agak kaget adalah, misalnya, WNI yang bekerja dengan gaji dollar, karena akan mendapat rupiah yang sedikit.
Di balik itu, dampak dari "menaikan value rupiah," akan membuat harga barang dan jasa inport pun menurun karena gap nilai tukar yang kecil. Mungkin lah.
Opa Jappy
SUPLEMEN
Gubernur BI Agus Martowardojo di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Jumat, 21 Juli 2017), menyatakan bahwa
"Kami meminta waktu bapak Presiden untuk bapak Presiden akan mendukung penyederhanaan atau redenominasi mata uang
BI menilai kondisi ekonomi dan politik sangat stabil sehingga pengajuan Rancangan Undang-undang (RUU) redenominasi rupiah bisa diajukan tahun ini kepada DPR.
Hampir semua fraksi di Komisi XI DPR sebagai mitra BI menyambut baik rencana pengajuan RUU redenominasi rupiah. BI sudah ada pertemuan dengan Komisi XI membicarakan rencana itu.
RUU redenominasi belum diajukan kepada DPR. BI masih berupaya menyelesaikan RUU tersebut sambil meminta restu kepada Presiden Jokowi.
RUU redenominasi rupiah bisa diserahkan kepada DPR tahun ini. Dengan begitu DPR diharapkan bisa membahas RUU tersebut setelah masa reses 27 Juli 2017. Di DPR tanggal 27 Juli sudah reses dan akan mulai lagi 16 Agustus sampai 27 Oktober. Kalau bisa sebelum 16 Agustus sudah bisa usulkan ke DPR.
Redenominasi penting untuk menyederhanakan rupiah. Saat ini, AS $ 1 = Rp. 13.300, Malaysia, AS $ 1 = 4 Ringgit, Singapura, Â AS $ 1 = S $1,5.
Selain itu, redenominasi rupiah mampu membuat persepsi positif bagi Indonesia sebab transaksi akan menjadi lebih efisien. Diharapkan, ekonomi Indonesia bisa lebih dipercaya pasar, [sumber http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/21/144613026/redenominasi-rupiah-bi-minta-restu-presiden-]."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H