Oleh sebab itu, untuk menjaga tak terjadi "peralihan dukungan politik," maka politisi dan Parpol harus melakukan banyak hal, termasuk "membeli loyalitas dan dukungan" dengan jumlah uang, posisi, serta jabatan.
Parahnya, jika ada politisi dan Parpol membeli dukungan politik dengan cara melakukan kampanye hitam, intimidasi, ancaman, teror sosial dan kekerasan atas nama agama serta publikasi sentimen SARA. Misalnya pada Pilkada DKI Jakarta 2017, terjadi hal-hal yang parah tersebut.
Memberi Bunga sebagai Bentuk Dukungan Politik
Harus diakui bahwa pada Pilkada DKI Jakarta 2017, muncul hal-hal baru, dalam model perpolitikan Indonesia, yang tak diduga dan terduga sebelumnya; hal-hal yang belum pernah ada dan terjadi di mana pun.
Pada Pilkada DKI Jakarta lah, "ayat dan mayat" sebagai media kampanye; kandidat harus membagi waktu antara diadili dan kampanye; adanya ancaman, intimidai, penolakan atas nama agama agar tak boleh memilih pasangan lawan politik. Hasilnya sudah jelas.
Melihat hasil awal Pilkada DKI Jakarta 2017 tersebut, tanggal 19 April 2017, dari suatu tempat sepi, saya memulai pesan-pesan pendek (melalui WatsApp) ke beberapa teman, "Berikan Setangkai Bunga untuk Badja sebagai Tanda Keterpihakan."
Gagasan utama tersembunyi di balik Setangkai Bunga untuk Badja yaitu ada kemenangan yang diambil, kemenangan yang dicuri, dan kemenangan yang dirampok.
Sekaligus menunjukkan bahwa Basuki Djarot tetap ada di semua hati; mereka selalu ada dalam hati para pendukungnya. Dan itu terbukti. Publik tak lagi mengirim Setangkai Bunga, melainkan Papan-papan Bunga.
----
Dari "gerakan" bunga-bunga hanya untuk Basuki Djarot tersebut, ternyata telah berubah menjadi suatu model baru cara memberikan dukungan politik di Indonesia atau mungkin di dunia.
Dukungan Politik dengan bunga kepada Basuki Djarot bermunculan dari berbagai penjuru tanah air dan Dunia. Luar Biasa dan Mengharukan.