Nini Hamid, menurutnya, hanyalah ibu rumah tangga biasa, yang sebelumnya tak pernah tertarik membicarakan politik, karena menganggap dunia tersebut penuh intrik dan bertabur konflik. Namun, Eyang Putri yang tinggal di Bandung ini, karena hobi merangkai kata-kata menjadi rangkaian pesan-pesan bermakna, maka ia pun tekuni sebagai “penulis profesional.” Karena itu, ketika dirinya melihat sosok dan keberadaan Ahok, Sang Gubernur DKI Jakarta yang fenomenal, naluri tulis menulisnya membuat ia melirik hiruk-pikuk politik.
Hasil lirikan mata hatinya, ternyata menyusup ke dalam nurani sehingga dalam dadanya penuh sesak dengan nada-nada keresahan; resah karena banyak tokoh masyarakat dan pemuka agama bersikap kurang bijak dalam menyikapi sepak terjang Ahok. Tak sedikit orang yang menebar penolakan terhadap Ahok hanya karena perbedaan etnis dan identitas agama. Oleh sebab itu, keresahan dan kesesakan hati Nini Hamid tersebut, ia tuangkan dalam Kenapa “Percaya” Saya Buat Ahok;? [selanjutnya pada tulisan ini, Kenapa Percaya].
Hasil karyanya, Nini Hamid mengungkapkan pendapat berbeda; berbeda dari pola pikir yang selama ini terpaku pada tradisi pemahaman yang keliru dan kaku. Sehingga dalam Kenapa Percaya, Nini Hamid yang juga bagian dari umat Islam yang universal dapat menggunakan akalnya tanpa ragu, dengan tetap bersandar kepada Al-Qur’an dan Sunah Rasul, ketika memberikan penilaian terhadap banyak hal, termasuk kepada Basuki Tj Purnama.
Judul : Kenapa “Percaya” Saya Buat Ahok!?
Penulis : Nini Hamid
Penerbit : Forum Asal Arus
Tebal : 296 hal + lxxiv Album (tanpa indeks)
Risentor : Opa Jappy
Harga : WA ke +62 89 69 52 34 404
‘Kenapa Percaya’ dibuka dengan Ucapan Terima Kasih, selanjutnya Jalur Pilihan Ahok, Apa, Siapa, dan Bagaimana Ahok di Mata Saya; kemudian Inspirasi dari Belitung Timur, serta Kitab Suci Bukan Senjata untuk Saling Membenci; selanjutnya, Pening dan Pusing Membaca Pendapat Para Pesaing, Hati Tersentuh Menyimak Mereka yang Butuh; dilanjutkan dengan Kiprah Relawan yang Menciptakan Sejarah, Kamus Bahasa Gaya Ahok, Kumpulan Kata Bijak Ahok, Pada Mula adalah Kata; dan tiga bab terakhir yang begitu menggoda dan menarik yaitu Peradilan Rakyat, Puisi Benci Korupsi, dan Lebih Baik Pemimpin Kafir yang Adil daripada Pemimpin Muslim yang Zalim. Setelah semuanya itu, ‘Kenapa Percaya’ ditutup dengan Warna-warni Ahok serta Aksi Relawan dan Komik Politik.
Ada sekian banyak bab atau judul pada ‘Kenapa Percaya,’ namun sangat terasa bahwa karya Nini Hamid belum secara lengkap menjelaskan tentang apa dan siapa Ahok. Walau seperti itu, ‘Kenapa Percaya” sudah cukup memberikan kepada pembaca sisi humanis serta politik Ahok; juga tentang sisi lain darinya yang belum terungkap oleh media. Paling tidak, ‘Kenapa Percaya’ sekaligus menjawab keresahan hati Sang Penulis, Eyang Nini Hamid, dan ia membagikan kelegaan hatinya dengan bahasa sederhana serta mudah dicerna kepada pembaca, terutama kalangan Muslim/mah
Buat saya, Opa Jappy, hal yang paling menarik dalam ‘Kenapa Percaya’ adalah rangkaian jawaban dan pernyataan sederhana kepada mereka yang menolak Ahok berdasar teks-teks Quran; Nini Hamid menjawabnya dengan luga serta mudah dipahami oleh siapa pun. Di sini, semua pembaca, sekalipun tak mengenal teks Quran, bisa pahami dengan baik.
Selanjutnya, menurut Nini Hamid, banyak sekali berita serta pendapat tentang haramnya seorang muslim memilih pemimpin nonmuslim.Mereka yang berpendapat demikian berdalih, menyebut larangan itu bukan pendapat pribadi, tetapi perintah Allah yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an. Sebenarnya pendapat mereka kurang tepat, lebih tegasnya lagi, sesungguhnya pendapat mereka salah. Tidak ada satu pun ayat yang melarang orang muslim memilih pemimpin non muslim.
Yang tercantum dalam kitab suci adalah orang-orang beriman dilarang menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya (pemimpin). Ada pula ayat yang mengingatkan agar orang-oorang beriman dilarang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya/pemimpin, terkadang diartikan sebagai teman setia. Yahudi dan Nasrani yang mana dan dalam konteks bagaimana, itu pun tidak bisa disamaratakan. Perlu pemahaman bijak untuk memahami maksud larangan ini, tidak serampangan mengartikan.
Auliya, akar katanya ialah wa-li-ya, arti secara harfiah, dekat/terjangkau.Dari akar kata tersebut, terbentuk banyak kata lain, namun di sini saya membatasi pada kata waliyyu/kawan pelindung dan auliyaa’u yang bermakna kelompok yang melindungi, penyokong, sponsor atau aliansi. Tidak ada ulama tafsir yang menerjemahkan sebagai pemimpin. Anehnya, terjemah pemimpin hanya ada di Indonesia.
Kalau umat Islam terus saja menganggap bahwa auliya itu pemimpin dan terbatas pada penguasa Negara, malah menimbulkan ketidakadilan. Bagaimana bila ada orang cerdas, jujur, adil, dan punya kemampuan mengelola negara, terhalang tidak bisa menjadi pemimpin, hanya karena identitas agama pada KTP-nya tertulis selain Islam? Yakin sejuta persen, bahwa Allah tidak mungkin membuat peraturan yang bertentangan dengan sifatnya yang Mahaadil.
Semua manusia dengan segala perbedaannya adalah ciptaan Allah juga, dan berhakl menikmati sikap adil dari penciptanya. Kekuasaan diberikan secara bergiliran, kepada orang yang Allah kehendaki. Tak pernah kita diajarkan untuk menolak kepemimpinan, kecuali pemimpin tersebut melakukan kezaliman yang nyata.
Di sini, Nini Hamid tidak menolak ayat tersebut, namun hanya mengoreksi penafsiran yang kadang dipahami oleh hampir semua umat Islam. Arti kata auliya itu sendiri yang tak boleh kita persempit artinya. Ada dua kata dari bahasa Arab yaitu ulil amri dan auliya yang diartikan menjadi satu kata yang sama, yaitu pemimpin. Ulil amri yang tercantum dalam Qs. An-Nisa ayat 59 dan Qs. An-Nisa ayat 48, juga diartikan sebagai pemimpin.
Uraian berikutnya, ulil amri lebih tepat diartikan sebagai pemimpin politik atau pengelola negara. Karena secara bahasa, ulil amri artinya orang-orang yang memegang urusan, pihak yang berwenang. Qs. An-Nisa ayat 59: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan), di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Hukum haram dan halal menyangkut memilih ulil amri (pemegang urusan) tidak ada. Yang ada justru perintah untuk mematuhi ulil amri, yang mendapat wewenang mengatur umat. Tentunya melihat kepada benar/salahkah perintah ulil amri tersebut dipandang dari kacamata kebenaran universal.
Dari susunan kata terlihat jelas bahwa taat kepada Allah dan Rasul itu mutlak, tak bisa ditawar lagi. Sedangkan kepada pemegang urusan/kekuasaan, tidak ada kata ‘taatilah’. Maksudnya, kepada pemegang kekuasaan, taat itu mengandung syarat, kita boleh taat sepanjang aturannya tiudak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul. Kita boleh mengkritisi bahkan menolak taat, bila aturannya bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya.
Inilah ayat yang tegas mengarah kepada pemimpin sebagai pemegang kekuasaan/urusan politik. Sedangkan ayat-ayat lain yang sering dijadikan acuan sebagai larangan orang beriman mengangkat orang kafir jadi pemimpin, bahasa Arab yang digunakannya adalah auliya.
Pertanyaannya, samakah arti ulil amri dan auliya? Apakah makna dari auliya itu pemegang kekuasaan?
Terkait dengan soal pemimpin politik/pengelola pemerintahan/pemegang kekuasaan, kata yang tepat adalah ulil amri. Sedangkan pada semua ayat yang melarang orang beriman (bukan orang Islam, sekali lagi orang beriman), untuk mengangkat pemimpin dari orang kafir, kata yang dipakai adalah auliya. Jadi, menurut Nini Hamid, alih-alih ingin memuliakan Islam, yang terjadi malah merendahkan kedudukan auliya, dengan menyamaratakan tafsirnya sebagai pemimpin politik.
Auliya itu secara maknawi lebih tinggi derajatnya dari ulil amri. Auliya mutlak harus orang beriman, tidak peduli sedang berkuasa atau tidak, auliya harus tetap ada dan berasal dari kalangan orang beriman. Kata auliya terdapat pada banyak ayat, sedangkan ulil amri hanya ada pada dua ayat, pada surat An-Nisa ayat 48 dan 59 tersebut di atas.
Kedudukan ulil amri tidak selalu mulia, kadang bisa jadi terhina. Karenanya ulil amri tak selamanya berasal dari kalangan orang beriman. Sangat berbeda dengan makna auliya. Auliya tak boleh terhina, sebab auliya harus orang beriman.
Di samping itu, Nini Hamid, juga prihatin dengan sikap umat Islam yang meninggikan arti ulil amri, dibuat setara dengan auliya. Padahal ulil amri itu hanyalah pemimpin politik yang bisa mengalami menang dan kalah serta dipergilirkan kekuasaannya. Juga, pada masa Rasulullah dan khalifah berikutnya (sampai Ali bin Abu Thalib), semua ulil amri merangkap juga sebagai auliya, namun berikutnya, belum tentu serupa.
Dalam kaitannya dengan Ahok yang Kristen, menurut Nini Hamid, ia adalah ulil amri, bukan auliya. Ahok bisa mulia atau hina bergantung kepada caranya mengelola pemerintahan. Janganlah sekali-kali kita menyamakan kedudukan gubernur sebagai auliya, karena hal tersebut malah merendahkan makna auliya. Allah lebih tahu keadaan hamba-Nya, oleh karena itu Allah membedakan status ulil amri dengan auliya. Qs. Ali Imran ayat 28: “Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Siapa yang berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali.” Dan Qs. An-Nisa ayat 144: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu)?”
Selain kesalahan dalam memahami arti auliya yang dimaksudkan oleh ayat tersebut, ada satu lagi kesalahan fatal yang sangat mempengaruhi pola pikir umat Islam. Tertanam stigma pada lingkungan mayoritas muslim, bahwa orang yang mengaku beriman saat ini adalah orang yang identitasnya di KTP beragama Islam.Dan kemudian orang yang ber-KTP Islam menganggap kafir kepada orang yang identitas agama dalam KTP-nya tertulis selain Islam.
Pemahaman itu, menurut Nini Hamid adalah salah kaprah.Ayatnya sudah pasti benar, tapi bagi orang yang mengaku beriman hanya karena identitas di KTP-nya Islam, itu menurut penulis yang tidak benar. Penulis khawatir, itu hanya pengakuan sepihak, sedangkan dalam pandangan Allah, iman itu belum masuk dalam hatinya.
So, masih hal yang menarik di Kenapa “Percaya” Saya Buat Ahok!?
Vila Kota Bungga, Cipanas, 27 Nop 2016
Opa Jappy | Jakarta News
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H