Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prof. Dr. Taruna Ikrar, "Tulisan tersebut Menyesatkan dan Mencemarkan Nama Baik Saya"

2 Agustus 2016   13:30 Diperbarui: 4 April 2017   18:13 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber | Kompasiana

Minggu, 30 Juli 2016, saya dan Prof Dr Taruna Ikrar, berkomunikasi dengan WA, sebagai berikut.

Prof Dr Taruna Ikrar : Pak Jappy, Saya lihat beberapa tulisan di Medsos tentang Ahok, membajak nama saya oleh orang yang tidak bertanggungjawab, mohon bantu klarifikasi

Opa Jappy                 : Bisa kasih linknya!? Agar bisa klarifikasi

Prof Dr Taruna Ikrar : Ini salah satunya akarpadi news, (lengkapnya lihat kolom komentar)

Opa Jappy                 : Ok. Saya Chekk.  Itu, sumber yang ia ambil dari mana!? Di buku or web?

Prof Dr Taruna Ikrar : I don’t know

Opa Jappy                 : Dasarnya apa; Bahaya. Or buat tulisan kontra; saya poles lagi

Prof Dr Taruna Ikrar : Saya tidak pernah mengatakan hal tersebut. Kelihatannya karena Pemilu  DKI semakin panas. Padahal sebagai ilmuwan, saya harus netral. Sia pun  yang menang untuk DKI Jakarta, tidak ada hubungan dengan saya.

Opa Jappy                 : Ya ... Buat tulisan pendek, kontra; saya nambahin.

Prof Dr Taruna Ikrar : I will try

Opa Jappy                 : Ok

-----

Prof Dr Taruna Ikrar mengirim bantahan melalui WA kepada saya. Bantahan tersebut, saya lanjutkan ke sejumlah teman; sebagaimana beredar di Medos; lengkapnya sebagai berikut:

BANTAHAN BERITA

Terkait sejumlah situs online yang menyertakan nama saya dalam berita/artikelnya terkait sosok Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan pendukungnya mengalami masalah otak, bersama ini saya menyampaikan klarifikasi bahwa saya tidak pernah menyatakan/menulis hal seperti itu.

Tulisan/Berita tersebut telah menyampaikan informasi yang tidak benar dan berpotensi untuk menyesatkan opini publik serta mengandung fitnah (Rasisme and Diskriminatif) yang mencemarkan nama baik saya.

Saya berharap agar masyarakat tidak terpancing dan bijak menanggapi serta menyikapi setiap informasi yang disampaikan lewat sumber berita online atau media sosial.

Sebagai klarifikasi, bahwa tulisan tsb, BUKAN PERNYATAAN SAYA

Terimakasih atas perhatiannya

Wassalam,

Prof Dr Taruna Ikrar

------

Jika menyimak tulisan di Akarpadi News, penulis mengutip dari Nusantarakini Com, terlihat dengan jelas ada semacam tudingan bahwa Ahok menderita atau mempunyai persoalan di otaknya, sehingga perlu diobservasi otaknya. Dan juga menurut penulis artikel tersebut, Prof Taruna Ikrar melakukan pengamatan terhadap perilaku dan retorika Ahok selama menjabat Gubernur Jakarta; kemudian, dari sudut pandang neurosains, ia menyatakan bahwa, “Ahok termasuk pemimpin di Indonesia yang perlu diobservasi otaknya.”  Di samping itu, pada salah satu situs, tulisan dari akarpadi news, diolah ulang sehingga seakan-akan bersumber langsung dari Taruna Ikrar, (lihat kolom komentar).

Pernyataan tendensius seperti itulah, membuat sekian banyak orang yang secaranpribadi mengenal Taruna Ikrar, termasuk saya, perlu bertanya langsung padanya, “Apakah sudah melakukan pengamatan terhadap Ahok; menyimpulkan seperti itu?” Lucu dan serampangananya, penulis dan pengutip tulisan, terilihat tak menelusuri hal-hal mengenai Neursosains, sehingga mereka memasukan, menurut mereka, "Neuropolitic" sebagai bagian dari hasil studi atau Taruna Ikrar. 

Tulisan bertujuan Pembusukan.

Berdasar pelusuran dengan kata kunci "Ahok termasuk pemimpin di Indonesia yang perlu diobservasi otaknya,"  ternyata berakar dari tujuan untuk melakukan pembusukan terhadap Basuki Tj Purnama. Hal tersebut, mudah terlihat. Coba perhatikan, Ilmu Neurosains Modern, oleh Taruna Ikrar., M.D., M.Pharm., Ph.D Penerbit  : Pustaka Pelajar, Yogyakarta 55167; Tahun 2016 Tebal  : 300 hal (+ i - vii dan indeks). ISBN : ISBN 978-602-229-530-4  lihat risensi, di sini.  Taruna Ikrar tak pernah membahas khusus mengenai Neuropolitic; dan menurut pengakuannya, dirinya sebagai ilmuwan yang netral.  Dengan itu,  dalam kentralan tersebut, untungnya apa bagi Teruan Ikrar sehingga melakukan telaah, pengamatan, dan, menilai seorang Basuki Tj Purnama. 

Selain tujuan pembusukan, pada tulisan pada akarpadi news, disebutkan  bahwa, "Mereka yang mengalami disorder personality, antara lain akan selalu cenderung memutar balik realitas. Misalnya, mengesankan seolah-olah dirinya korban rasisme, padahal dia sendiri yang rasis dan secara sadar mengembangkan rasialisme. Dengan cara ini dia dapat menjadi pemicu terjadinya friksi dan konflik sosial;"  Luar biasa.  Tentu untuk mereka yang belajar atau sedikit tahu tentang Psikologi Abnormal, tentu tahu baha Personality Disorder terbagi lagi pada Antisocial Personality Disorder,  Avoidant Personality Disorder, Bipolar Disorder, dan lain sebagainya. Dengan itu, Basuki Tj Purnama masuk kategori mana!? 

Dan, masih banya lagi hal-ahl yang "aneh" pada tulisan Neuropolitic dalam Pilkada DKI Jakarta, sehingga, bagi saya, tulisan tersebut sekedar upaya "mng-cocok-cocokan" sedikit pengetahuan mengenai Psikologi Abnoirma + Neurosains + ketidaksukaan serta kebencian politik terhadap Basuki Tj Purnama.

Sayangnya, tulisan-tulkisan seperti itu, justru dijadikan sesuatu yang menarik, benar, dan bahkan sebagai pembenaran terhadap sikap awal yang telah ada dalam diri; sikap tak suka, benci, kebencian, bahakn fitnah dan penisataan.

Politik dan Kebencian Politik 

Menarik. Secara negatif, sejak 2012, Pilgub DKI dan Pilpres 2014, telah melahirkan "trend baru" dalam pada tataran politik di Indoneisa yaitu "Kebencian Politik." Kebencian politik yang lahir dari banyak unsur, misalnya sentimen SARA, kekalahan pada Pilkada dan Pilpres, ketidakmampuan menerima kekalahan, serta ketidakdewasaan politik, dan dendam kesumat. Padahal, salah satu sisi lain dari demokrasi adalah, bisa menerima kekalahan pada proses Politik, termasuk pada Pemilu, Pilkada, dan Pilpres.  Sayangnya, hal tersebut tak pernah terjadi di area dan arena perpolitikan Indonesia; yang terjadi adalah semakin menguat "politik rasis' yang menuju pada perpecahan. 

Padahal, Politik [Indonesia], politic, [Inggris] adalah padanan politeia atau warga kota [Yunani, polis atau kota, negara, negara kota]; dan civitas [Latin] artinya kota atau negara; siyasah [Arab] artinya seni atau ilmu mengendalikan manusia, perorangan dan kelompok.Secara sederhana, politik berarti seni pemerintah memerintah; ilmu memerintah; cara pengusaha menguasai. Makna politiknya semakin dikembangkan sesuai perkembangan peradaban dan meluasnya wawasan berpikir.

Politik tidak lagi terbatas pada seni memerintah agar terciptanya keteratuaran dan ketertiban dalam masyarakat polis; melainkan lebih dari itu.Dengan demikian, politik adalah kegiatan [rencana, tindakan, kata-kata, perilaku, strategi] yang dilakukan oleh politisi untuk mempengaruhi, memerintah, dan menguasai orang lain ataupun kelompok, sehingga pada diri mereka [yang dikuasai] muncul atau terjadi ikatan, ketaatan dan loyalitas [walaupun, yang sering terjadi adalah ikatan semu; ketaatan semu; dan loyalitas semu]. 

Dengan itu, dalam politik ada hubungan antar manusia yang memunculkan menguasai dan dikuasai; mempengaruhi dan dipengaruhi karena kesamaan kepentingan dan tujuan yang akan dicapai. Ada berbagai tujuan dan kepentingan pada dunia politik, dan sekaligus mempengaruhi perilaku politikus. Politik juga memunculkan pembagian pemerintahan dan kekuasaan, demokrasi [dalam berbagai bentuk], pemerataan dan kesimbangan kepemimpian wilayah, dan lain sebagainya. Hal itu menjadikan pembagian kekuasaan [atau pengaturan?] legislatif [parlemen, kumpulan para politisi]; eksekutif [pemerintah]; dan yudikatif [para penegak hukum]; agar adanya ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.

Ada banyak pendapat tentang kebencian politik, dan semuanya bisa dibenarkan. Mudahnya, kebencian politik merupakan sifat, sikap, kata, tindakan yang menunjukkan ketidaksukaan, benci, serta kebencian politisi terhadap yang lainnya; atau politisi membenci politisi lainnya, lawan politik, bahkan, siapa pun yang dituding sebagai pesaing politis dan politik. Kebencian politik, memang sulit diteorikan, namun terlihat dalam atau pada ucapan, perilaku, tindakan, hingga pengambilan keptusan melalui lembaga politik. 

Kebencian politik, juga bisa melahirkan keputusan politik yang menjadikan seseorang atau komunitas tidak dapat mengekspresikan dan menyalurkan aspirasi politiknya, serta hak-hak politiknya dirampas dan diabaikan; termasuk di dalamnya pengekangan terhadap individu dan kelompok sehingga mereka tak mempunyai hak politik. Jika seperti itu, makna kebencian politik di atas, dan dihubungkan dosa, sehingga menjadi "dosa kebencian politik;" maka apakah kebencian politik merupakan dosa atau tidak!? 

Atau, jika seseorang dan kelompok terbukti dan terang-terangan melakukan kebencian politik, maka apakah mereka berdosa atau tidak!? Atau, karena politik adalah urusan politik, maka jangan dihubungan dengan dosa; karena dosa merupakan urusan agama serta hubungan dengan Tuhan. Atau, kebencian politik adalah sesuatu yang boleh dan wajar, karena tak ada hubungan dengan Agama. 

Tapi, jika memang politik tak ada hubungan dengan agama, bagaimana dengan para politisi yang gunakan agama sebagai kendaraan untuk memuaskan nafsu kekuasaan politiknya!? Atau, memang para politisi harus berwajah ganda. Dalam arti, ketika ia tampil sebagai politisi yang berpolitik, maka segala bentuk ketidakberesan moral, kata, tindakan yang bisa dihubungkan dengan kebencian politik, boleh dan sah ia lakukan serta gunakan; karena kebencian politik bukan dosa. 

Tapi, sebaliknya, ketika Sang Politisi, sebagai umat beragama, maka ia tampil sebagai orang berwajah benar, manusia, baik, dan agamis; karena ucapan kasar, menghujat, mengfitnah, dan mencaci maki serta sejenisnya, adalah pelanggaran terhadap hukum Ilhai, dan itu adalah dosa. Oleh sebab itu, wajar, jika sekarang ini, di Negeri Tercinta, banyak politisi yang memperlihatkan kebencian politik; mungkin menurut mereka hal tersebut adalah biasa-biasa saja, dan bukan dosa.

Akhir kata
Marilah kita berpolitik dengan cara bermartabat, bukan dengan fitnah, benci, dan penuh kebencian, apalagi melakukan cocok-cocok-ilogi untuk membenarkan pendapat yang penuh dengan nada-nada rasis.

Opa Jappy - Cipanas Jawa Barat

LINK TERKAIT

Neurosains, Menelusuri Misteri Otak Manusia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun