Dengan itu, dalam politik ada hubungan antar manusia yang memunculkan menguasai dan dikuasai; mempengaruhi dan dipengaruhi karena kesamaan kepentingan dan tujuan yang akan dicapai. Ada berbagai tujuan dan kepentingan pada dunia politik, dan sekaligus mempengaruhi perilaku politikus. Politik juga memunculkan pembagian pemerintahan dan kekuasaan, demokrasi [dalam berbagai bentuk], pemerataan dan kesimbangan kepemimpian wilayah, dan lain sebagainya. Hal itu menjadikan pembagian kekuasaan [atau pengaturan?] legislatif [parlemen, kumpulan para politisi]; eksekutif [pemerintah]; dan yudikatif [para penegak hukum]; agar adanya ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.
Ada banyak pendapat tentang kebencian politik, dan semuanya bisa dibenarkan. Mudahnya, kebencian politik merupakan sifat, sikap, kata, tindakan yang menunjukkan ketidaksukaan, benci, serta kebencian politisi terhadap yang lainnya; atau politisi membenci politisi lainnya, lawan politik, bahkan, siapa pun yang dituding sebagai pesaing politis dan politik. Kebencian politik, memang sulit diteorikan, namun terlihat dalam atau pada ucapan, perilaku, tindakan, hingga pengambilan keptusan melalui lembaga politik.Â
Kebencian politik, juga bisa melahirkan keputusan politik yang menjadikan seseorang atau komunitas tidak dapat mengekspresikan dan menyalurkan aspirasi politiknya, serta hak-hak politiknya dirampas dan diabaikan; termasuk di dalamnya pengekangan terhadap individu dan kelompok sehingga mereka tak mempunyai hak politik. Jika seperti itu, makna kebencian politik di atas, dan dihubungkan dosa, sehingga menjadi "dosa kebencian politik;" maka apakah kebencian politik merupakan dosa atau tidak!?Â
Atau, jika seseorang dan kelompok terbukti dan terang-terangan melakukan kebencian politik, maka apakah mereka berdosa atau tidak!? Atau, karena politik adalah urusan politik, maka jangan dihubungan dengan dosa; karena dosa merupakan urusan agama serta hubungan dengan Tuhan. Atau, kebencian politik adalah sesuatu yang boleh dan wajar, karena tak ada hubungan dengan Agama.Â
Tapi, jika memang politik tak ada hubungan dengan agama, bagaimana dengan para politisi yang gunakan agama sebagai kendaraan untuk memuaskan nafsu kekuasaan politiknya!? Atau, memang para politisi harus berwajah ganda. Dalam arti, ketika ia tampil sebagai politisi yang berpolitik, maka segala bentuk ketidakberesan moral, kata, tindakan yang bisa dihubungkan dengan kebencian politik, boleh dan sah ia lakukan serta gunakan; karena kebencian politik bukan dosa.Â
Tapi, sebaliknya, ketika Sang Politisi, sebagai umat beragama, maka ia tampil sebagai orang berwajah benar, manusia, baik, dan agamis; karena ucapan kasar, menghujat, mengfitnah, dan mencaci maki serta sejenisnya, adalah pelanggaran terhadap hukum Ilhai, dan itu adalah dosa. Oleh sebab itu, wajar, jika sekarang ini, di Negeri Tercinta, banyak politisi yang memperlihatkan kebencian politik; mungkin menurut mereka hal tersebut adalah biasa-biasa saja, dan bukan dosa.
Akhir kata
Marilah kita berpolitik dengan cara bermartabat, bukan dengan fitnah, benci, dan penuh kebencian, apalagi melakukan cocok-cocok-ilogi untuk membenarkan pendapat yang penuh dengan nada-nada rasis.
Opa Jappy - Cipanas Jawa Barat
LINK TERKAIT
Neurosains, Menelusuri Misteri Otak Manusia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H