Dengan simpulan visi misi aparat Pemda DKI seperti di atas, tentu saja ada hal-hal tertentu yang harus dikerjakan dan dibuat dalam rangka mencapai visi dan misi. Dengan demikian, tudingan bahwa kebijakan Ahok merugikan warga Jakarta, adalah suatu hal yang sangat tak tepat. Jadi, para “Pendekar Moral” perlu melihata Perda-perda yang lahir jauh sebelum Ahok menjadi Gubernur DKI, yang semuanya bertujuan agar Jakarta menjadi lebih baik, namun tak pernah dilaksanakan oleh gubernur-gubernur sebelumnya.
“Kehadiran Ahok sebagai pemimpin Jakarta mendatang, akan membuka kotak Pandora penguasaan asing yang dimulai dari Ibukota. Kondisi ini akan menghempaskan bangsa Indonesia dari hilangnya kemartabatan, kemandirian dan kedaulatan bangsa secara komprehensif dan sistematis.”
Luar Biasa. Ahok memimpin Jakarta, dan ia karena mejadikan Indonesia terhempas .... bla bla bla. Sebegitu berkuasanya Si Ahok sehingga ketika ia menjadi Gubernur, maka membuka rombongan pengusaha asing untuk merusak RI!? Bukankah yang mengeluarkan izin agar orang asing berusaha di Indonesia adalah wewenang pemerintah pusat!? Hmmmmm .... sesuatu yang sangat hiperbola, jika disebut bahwa Ahok akan “membuka” peluang sehingga terjadi sikon yang bisa “menghempaskan bangsa Indonesia dari hilangnya kemartabatan, kemandirian dan kedaulatan bangsa secara komprehensif dan sistematis.”
“Ahok seadalah musuh bersama dan harus dihentikan. Gerakan secara intelektual menghentikan Ahok harus sesegera mungkin dilakukan dengan strategi yang cerdas dan terstruktur secara rapi untuk menimbulkan kesadaran masyarakat Jakarta bahwa Ahok bukanlah pemimpin yang tepat untuk Ibukota lima tahun mendatang. Ahok menjadi ikon pemimpin yang dholim dan harus dihentikan, bukan didasari oleh karena Ahok adalah seorang keturunan etnis Cina dan non muslim.”
Sangat luar biasa. Para "Pendekar Moral" yang berkumpul di Hotel Alia, walau sekitar 50 orang, dan dengan latar pendidikan yang relatif tinggi serta mantan pejabat, ternyata bisa memberikan "stempel" pada Ahok sebagai "musuh bersama." Tentu saja, mereka telah memusuhi Ahok, atau bahkan membencinya; dan kini, bisa saja, membentuk suatu gerakan TSM untuk menebarkan kebencian serta permusuhan sehingga publik juga memusuhi dan membenci Ahok. Dengan demikian, walaupun mereka menyebut penghentian gerak maju Ahok bukan berdasar sentimen SARA, namun tudingan keras dan pedas pada didi Ahok, bisa menunjukkan bahwa dasarnya adalah ketidaksukaan pada Ahok karena dwi-minoritas pada dirinya.
"Persepsi yang dibangun karena Ahok telah melukai hati dan dirasakan secara fisik oleh rakyat Jakarta dengan berdalih pada kebijakan-kebijakan yang dianggapnya sebagai kebijakan dalam mensejahterakan rakyat Jakarta. Namun sesungguhnya semuanya adalah kebohongan besar yang dieksploitir dan dirancang secara sistematis melalui gerakan-gerakan politik melalui penetrasi media-media formal."
Di sini, sangat jelas terlihat bahwa para "pendekar moral" telah mengkesampingan semua hasil kerja dan kinerja Ahok, dan menuding sebagai suatu kebohongan besar. Agaknya, para "pendekar moral" tersebut perlu melihat secara detail apa yang terjadi dan telah berubah di Jakarta; mereka harus melihat jauh ke bawah, dari para "pasukan oranye" hingga tanda-tanda fisik layanan publik Pemda DKI, termasuk lingkungan Jakarta.
Hmmmmm ...............
Lucu Memang dan Memang Lucu. Peserta diskusi tersebut ada sejumlah Doktor dan profesosr, bukankah para doktor dan profesor tersebut mengenal dan sangat paham tentang "apa yang disebut Survey Kualitatif dan Kuantatip, serta Penelitian Ilmiah" yantg dilakukan bukan karena "apa kata orang" melainkan berdasarkan data serta fakta!?
Timbul Tanya, apakah para Doktor dan Profesor PN1 menyimpulkan "segalanya tentang Ahok" berdasar Data dan Fakta!?
Jika sudah, maka apa yang memang seperti yang mereka ungkapkan!?