Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Irshad Manji "Menikah" karena, "Apa yang Mesti Ditakuti?"

18 Mei 2016   16:19 Diperbarui: 18 Mei 2016   22:18 1280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada baiknya anda menbaca SUPLEMEN [di bawah].

Melalui FB Irshad Manji mengumumkan "pernikahannya" dengan Laura, 10 Mei 2016; ia juga mengucapkan terima kasih atas ucapan selamat yang diberikan kepada mereka.  Foto Irshad sementara mencium Laura, langsung viral di Medsos; dan cibiran, cacian, dan sumpah serapah pun mengikuti ucapan selamat terhadap mereka berdua. 

Bagi saya, setelah membaca buku Beriman Tanpa Rasa Takut, sekian tahun yang lalu; dan menjadikan buku tersebut bagian dari koleksi e-book saya; saya sudah sudah berpikir ke depan bahwa, pada masa yang tepat Irshad akan melakukan "pernikahan," dan diumumkan ke hadapan publik. Dan itu, menjadi kenyataan.

Jadi ingat, ketika Irsad di Indonesia, mau bedah buku, saya sampai di lokasi, semua sudah sepi dari kegaduhan sebelumnya, ia berani datang ke Indonesia, karena punya keyakinan dan percaya diri yang kuat. Di sela-sela pernyataan pers, karena "serangan" terhdap bedah buku gagal, ia pun berkata, "Apa yang Mesti Ditakuti" dan kata-kata "Mereka Bukan Tuhan."

Ketegaran diri sebagai "perempuan penyuka sesama" yang ditolak oleh komunitasnya, menjadikan Irshad semakin menaik tensi keberaniannya;. Ia berani melawan warisan ajaran dari guru-guru di kelas, bahkan meninggalkan kelas karena ketidakpuasan terhadap masukan-masukan dari para pengajarnya.  Bahkan Irshad mengaku, “Di kelas-kelas hari Sabtuku, aku didoktrin:  Kalau kau orang yang beriman, kau jangan berpikir. Kalau kau berpikir, maka kau bukan orang yang beriman.”  Dan, Irshad menolak "ajaran baku" seperti itu. Justru menantang dirinya untuk semakin berpikir, berpikir, dan berpikir, karena iman bukan melahirkan ketakutan namun keberanian.

Keberanian sebagai minorita yang ditolak, dan berani serta tetap bersuara walau mendapat tantangan, penolakan, ancaman, serta cacian menjadikan Irshad semakin kuat berjuang. Ia membukan wawasan banyak orang tentant apa makna keberanian dan beriman.  Beriman sekaligus berani karena imannya. 

Baginya, Tuhan memberikan roh keberanian; ia percaya itu; sehingga dengan dengan tegas berkata, orang harus beriman tanpa ketakutan. Lalu, ketika ia melaksanakan apa yang diajari yaitu beriman tanpa rasa takut, "Merngapa saya ditantang dan ditolak!? " kata Irshad kepada media, di suatu waktu.

Bagi saya, keterusterangan, kejujuran, keterbukaan, dan keberanian Irshad Manji, walau dianggap salah, oleh banyak orang, adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Karena, ia, Irshad Manji, tak menggunakan topeng, ia membuka siapa dirinya, apa adanya, tidak munafik.

Lepas dari Irshad adalah seorang "pecinta sesama," ada semacam teladan dari dirinya, yaitu berani dan jujur terhadap sikon dirnya, kemudian ia sampaikan secara terus terang kehadapan publik. Dan itu, tak dimiliki semua orang.

Banyak orang lebih suka menggenakan topeng beriman; dan mereka tetap takut, padahal Berimian itu, mesti tanpa rasa tajut.

 

Opa Jappy -  Bogor, Jawa Barat

 

SURAT TERBUKA IRSHAD MANJI

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu-bapak dan kerabatmu.” (An-Nisa: 135)

AKU HARUS jujur pada kalian semua. Hubunganku dengan Islam kurang begitu menyenangkan. Hidupku bergantung pada fatwa yang dikeluarkan oleh orang-orang yang mengklaim diri sebagai wakil Allah.

Saat kurenungkan semua fatwa yang dilontarkan oleh para pemikir agama kita, aku  merasa sangat malu. Tidakkah Anda juga merasakannya? Aku mendengar dari seorang teman Saudiku bahwa “polisi agama” di negerinya menangkap perempuan yang memakai warna merah pada hari Valentine. Lalu aku berpikir: Sejak kapan Tuhan Yang Maha Pengasih melarang hamba-Nya berbahagia—atau bersenang-senang? Aku mendengar berita tentang korban perkosaan yang dihukum rajam karena tuduhan zina. Kemudian aku bertanya-tanya: Bagaimana mungkin massa yang kritis di antara kaum muslim kita tetap bungkam mengetahui hal itu?

Ketika kaum non-muslim meminta kita bicara, aku mendengar Anda berkeluh kesah bahwa kita tak perlu menjelaskan perilaku kaum muslim lain. Namun, ketika kita disalahpahami, kita gagal untuk melihat bahwa kesalahpahaman itu terjadi karena kita belum memberikan penjelasan kepada mereka, agar mereka memahami kita dengan cara yang berbeda.

Terlepas dari itu semua, saat aku berbicara secara publik tentang kegagalan tersebut, sebagian besar kaum muslim yang sering berpikir secara stereotip, kemudian mencurigaiku sebagai pengkhianat. Pengkhianat terhadap apa? Kemurnian moral? Kesusilaan masyarakat? Atau peradaban?

Ya, aku berbicara apa adanya. Anda hanya harus membiasakan diri dengan keterusterangan ini. Dalam suratku ini, kuajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak lagi terhindarkan buat kita. Kenapa pikiran kita semua terpaku pada kejadian yang menimpa orang-orang Palestina dan Israel? Kenapa orang Islam begitu sulit untuk mengubah pandangannya tentang anti-Semitisme? Siapa penjajah kaum muslim yang sesungguhnya, Amerika atau bangsa Arab? Kenapa kita menyia-nyiakan potensi kaum perempuan, yang merupakan separuh dari jumlah makhluk Tuhan? Bagaimana kita bias begitu yakin bahwa kaum homoseksual patut diasingkan -atau dibunuh- jika Al-Quran menyatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan bersifat “sempurna”? Tentu saja Al-Quran menyatakan lebih dari itu, tetapi apa sebetulnya alasan kita bersikukuh untuk memahami Al-Quran secara harfiah jika cara itu begitu kontradiktif dan ambigu?

Apakah Anda jantungan membaca komentarku ini? Lanjutkan saja, tak usah ragu-ragu. Karena jika kita tidak bersuara melawan para imperialis dalam Islam, mereka akan terus berjalan dengan aksi dan pertunjukan mereka. Dan usaha mereka akan mengakibatkan hal-hal yang mematikan: kerusakan, kekerasan, kemiskinan, dan keterkungkungan.

Keadilan seperti inikah yang kita cari dalam dunia yang diamanatkan Tuhan pada kita? Kalau bukan, lalu kenapa tidak lebih banyak dari kita yang mengajukan keberatan? Yang kudengar dari Anda adalah, kaum muslim menjadi target serangan-reaktif. Di Prancis, kelompok muslim mengajukan seorang penulis ke pengadilan karena menyebut Islam sebagai “agama paling bodoh”. Kelihatannya penulis itu mempropagandakan kebencian.

Lantas kita menuntut hak kita, sesuatu yang jarang kita dapatkan di negara-negara Islam. Tetapi, apakah penulis Prancis itu salah ketika menulis bahwa Islam harus menjadi lebih dewasa? Bagaimana dengan seruan Al-Quran untuk membenci kaum Yahudi? Bukankah muslim yang mengutip Al-Quran untuk membenarkan anti-Semitisme juga patut diajukan ke pengadilan? Tidak bisakah tindakan itu dikategorikan sebagai “serangan-reaktif”? Apa yang membuat kita bisa dibilang bijak, sementara yang lain rasis?

Melalui jeritan mengasihani-diri-sendiri dan kebungkaman yang tak tertanggungkan, kita kaum muslim tengah berkonspirasi melawan diri kita sendiri. Kita berada dalam krisis. Dan kita menyeret seluruh dunia turut serta di dalamnya. Kalaulah ada momen bagi reformasi Islam, maka sekaranglah saatnya. Demi kasih Tuhan, apa yang bisa kita lakukan untuk itu?

Anda mungkin bertanya-tanya, aku ini siapa, kok berani bicara seperti ini. Aku adalah Muslim Refusenik. Itu tidak berarti aku menolak menjadi seorang muslim. Itu berarti aku menolak untuk bergabung dengan pasukan “robot” yang mudah dimobilisasi secara otomatis untuk melakukan tindakan atas nama Allah. Aku mengambil istilah ini dari kelompok refusenik permulaan: kaum Yahudi Soviet yang memperjuangkan kebebasan beragama dan kebebasan pribadi. Tuan-tuan mereka yang komunis tidak memperbolehkan mereka pindah ke Israel. Karena usaha-usaha mereka untuk meninggalkan Uni Soviet, banyak kaum refusenik harus membayar dengan kerja paksa dan kadang dengan nyawa.

Seiring waktu, penolakan mereka yang tiada henti untuk patuh pada mekanisme kontrolpikiran dan pembunuhan-karakter turut membantu mengakhiri sistem totalitarian di Negara itu.

Demikian halnya, aku mengangkat topi pada kaum refusenik yang lebih baru, para tentara Israel yang menentang pendudukan militer di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dalam spirit yang sama, kita pun mesti menentang penjajahan ideologis terhadap pikiran kaum muslim.

Anda pasti ingin meyakinkanku bahwa apa yang kujelaskan di surat terbuka ini bukan Islam yang “sesungguhnya”. Kuharap Anda benar. Itulah sebabnya aku menulis surat terbuka ini. Karena aku yakin kita mampu menjadi lebih bijak dan humanis ketimbang sebagian besar pemimpin agama kita. Tapi, demi diskusi yang jujur, aku harus menantang.

Anda untuk bersikap jujur terhadap Islam yang Anda pertahankan secara refleksif. Islam dalam bentuknya yang riil atau yang ideal? Segala sesuatu tampak luar biasa sebagai sebuah ideal. Kapitalisme tampak hebat sebagai sebuah ideal. Sebagai sebuah ideal, Konstitusi Amerika Serikat menggaransi kebebasan dan keadilan bagi segenap orang.

Kaum muslim tahu bahwa kenyataan sangatlah berbeda dengan sebuah ideal. Sebagai masyarakat yang berhati nurani, kita juga mesti memperhatikan realitas-realitas yang terjadi dalam Islam.

Kupikir Nabi Muhammad akan menyatukan perbedaan antara yang riil dan yang ideal. Ketika beliau ditanya tentang definisi agama, beliau menjawab: Agama adalah cara kita bersikap terhadap orang lain. Sederhana, tanpa harus menyederhanakan! Dengan definisi itu, cara muslim bersikap -bukan dalam teori tapi dalam kenyataan- itulah sesungguhnya Islam. Perasaan puas terhadap diri sendiri (qanaah-Peny.) adalah Islam. Itu juga berarti bahwa kita mesti memperhatikan hak asasi perempuan dan kelompok minoritas. Untuk melakukan itu, kita harus mentas dari sikap kita yang terus menolak. Dengan menekankan bahwa tidak ada masalah dengan Islam saat ini, kita menyembunyikan “kenyataan agama” kita di balik “ideal agama” kita, yang berarti membebaskan diri kita dari tanggung jawab terhadap umat manusia, termasuk saudara kita sesama muslim.

Dengan menulis surat terbuka ini, aku tidak bermaksud menyatakan bahwa agama lain bebas dari masalah. Sungguh. Perbedaannya adalah, perpustakaan-perpustakaan berjubal dengan buku-buku tentang permasalahan dalam agama Kristen. Demikian pula dengan agama Yahudi. Kita kaum muslim bisa melakukan itu.

Apa yang mesti ditakuti?

 

Irshad Manji

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun