Opa Jappy - Bogor, Jawa Barat
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu-bapak dan kerabatmu.” (An-Nisa: 135)
AKU HARUS jujur pada kalian semua. Hubunganku dengan Islam kurang begitu menyenangkan. Hidupku bergantung pada fatwa yang dikeluarkan oleh orang-orang yang mengklaim diri sebagai wakil Allah.
Saat kurenungkan semua fatwa yang dilontarkan oleh para pemikir agama kita, aku merasa sangat malu. Tidakkah Anda juga merasakannya? Aku mendengar dari seorang teman Saudiku bahwa “polisi agama” di negerinya menangkap perempuan yang memakai warna merah pada hari Valentine. Lalu aku berpikir: Sejak kapan Tuhan Yang Maha Pengasih melarang hamba-Nya berbahagia—atau bersenang-senang? Aku mendengar berita tentang korban perkosaan yang dihukum rajam karena tuduhan zina. Kemudian aku bertanya-tanya: Bagaimana mungkin massa yang kritis di antara kaum muslim kita tetap bungkam mengetahui hal itu?
Ketika kaum non-muslim meminta kita bicara, aku mendengar Anda berkeluh kesah bahwa kita tak perlu menjelaskan perilaku kaum muslim lain. Namun, ketika kita disalahpahami, kita gagal untuk melihat bahwa kesalahpahaman itu terjadi karena kita belum memberikan penjelasan kepada mereka, agar mereka memahami kita dengan cara yang berbeda.
Terlepas dari itu semua, saat aku berbicara secara publik tentang kegagalan tersebut, sebagian besar kaum muslim yang sering berpikir secara stereotip, kemudian mencurigaiku sebagai pengkhianat. Pengkhianat terhadap apa? Kemurnian moral? Kesusilaan masyarakat? Atau peradaban?
Ya, aku berbicara apa adanya. Anda hanya harus membiasakan diri dengan keterusterangan ini. Dalam suratku ini, kuajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak lagi terhindarkan buat kita. Kenapa pikiran kita semua terpaku pada kejadian yang menimpa orang-orang Palestina dan Israel? Kenapa orang Islam begitu sulit untuk mengubah pandangannya tentang anti-Semitisme? Siapa penjajah kaum muslim yang sesungguhnya, Amerika atau bangsa Arab? Kenapa kita menyia-nyiakan potensi kaum perempuan, yang merupakan separuh dari jumlah makhluk Tuhan? Bagaimana kita bias begitu yakin bahwa kaum homoseksual patut diasingkan -atau dibunuh- jika Al-Quran menyatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan bersifat “sempurna”? Tentu saja Al-Quran menyatakan lebih dari itu, tetapi apa sebetulnya alasan kita bersikukuh untuk memahami Al-Quran secara harfiah jika cara itu begitu kontradiktif dan ambigu?
Apakah Anda jantungan membaca komentarku ini? Lanjutkan saja, tak usah ragu-ragu. Karena jika kita tidak bersuara melawan para imperialis dalam Islam, mereka akan terus berjalan dengan aksi dan pertunjukan mereka. Dan usaha mereka akan mengakibatkan hal-hal yang mematikan: kerusakan, kekerasan, kemiskinan, dan keterkungkungan.