Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

PJKA - KAI Jabodetabek Menutup Akses Warga

23 Januari 2016   10:22 Diperbarui: 23 Januari 2016   11:57 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kemajuan KAI Jabodetabek, bisa dikatakan, sangat luar biasa; semuanya itu tak lepas dari sentuhan Ignatius Jonan ketika ia masih menjadi lokomotif PJKA. Lihat saja, kini tak ada lagi KRL PATAS, padat lambat kumuh panas sumpek and full copet. Setuju atau tidak, Commuter Line  Jabodetabek, CL Jabodetabek, telah menjadi pilihan utama banyak orang karena murah meriah, tak macet, and tanpa telat; puluhan Stasiun KA di Jabodetabek pun, apalagi di tengah kota, tampilannya sudah menyurupai mall.

Kemajuan CL Jabodetabek tersebut tak selesai; kereta terus berjalan menuju dan mungkin melewati tujuan. KAI melakukan pembenahan gerbong, stasiun, dan layanan, sekitar area rel pun alami tata ulang lingkungan secara besar-besaran; mereka merobah banyak hal. Lihatlah, sepanjang rel ka Jabodetabek, hampir tak ada rumah kumuh, sampah, pengemis dan gelandangan. Mulai terlihat pagar besi rapi, dan indah dipandang.

Sayangnya, penataan ulang area rel tersebut, ternyata dilakulan secara arogan dan tanpa pertimbangan. Bisa jadi, akibat KAI Jabodetabek tak mempelajari sikon sosial ekonomi dan mobilitas masyarakat di sekitarnya.

Atas nama UU RI No 23 tentang Perkeretaapian, KAI tak peduli dengan sikon masyarakat sekitar, sehingga melakukan "Tembok Berlin" di Jabodetabek.  Masyarakat sudah tak bisa "melewati" KA, karea terkurung di balik besi-besi pagar rel; hampir sepanjang rel KA Jabodetabek seperti itu, kecuali jila JPO, jembatan penyeberangan orang.

Contoh terbaru, di Jakarta Selatan, antara Stasiun Lenteng Agung, Universitas Pancasila, dan Universitas Indonesia, lihat denah di bawah.  KAI dengan arogan menutup akses warga; tak ada jembatan menuju seberang. Kelakuan dan tindakan KAI seperti itu, menjadikan kerugian banyak pihak. Misalnya,
  • murid, pelajar, siswa sejumlah sekolah dari arah Depok, dengan angkot, harus memutar jauh hingga melewati LA, dan membayar ongkos angkutan; dan yang nekad, malah melompat pagar besi untuk lebih cepat tiba di sekolah
  • mematikan usaha foko kopi warnet warung makan dll, mahasiwa enggan menyeberang hanya untuk makan siang
  • mematikan usaha kost atau kawar sewa untuk mahasiswa; mereka lebih memilih di area pada penduduk daripada harus menyeberang dengan penambahan biaya 
  • warga yang datang dari arah selatan, dengan motor, makin melakukan lawan arus, daripada jauh memutar
  • pada malam hari, terlihat dengan jelas, warga yang datang dari arah Depok dengan angkot, "terpaksa" dengan berbagai cara melompat pagar besi, daripada harus memutar atau naik angkot untuk "mutar arah" hingga tiga kilometer untuk sampai di rumah

Agaknya, KAI Jabodetabek tak mau mendengar usulan dan keluhan masyarakat; ketika pekerjaan membuat pager rel, warga sudah berulang kali datang ke/pada para pekerja atau petugas agar menyampaikan pesan bahwa, sebelum ada JPO, maka jangan menutup akses warga. Namun, keluhan warga ditanggapi dengan tudingan mengancam pekerja. 

Mereka, pihak KAI, tak peduli dengan kepentingan masyarakat sekitar. Mereka berkerja atau menutup akses melintas rel pada malam hari, pada waktu warga tidur. Akibatnya, ketika warga mendapati sikon tak bisa melewati rel, sempat ada gejolak kecil, namun ditenangkan oleh para tetua setempat.  Mereka, warga masih menahan diri dan tak mau ada kejadian yang bersifat merusak ataupun merugikan Negara.

Akhirnya, ketika tiga hari lalu, saya bertanya kepada petugas KAI di Stasiun Universitas Pancasila, bagaimana bisa menyeberang!? Jawabnya enteng banget, lewat pintu masuk-keluar Stasiun, tapi beli tiket KA, sebesar Rp. 2000.-

Wah, ternyata salah satu tujuan menutup akses warga adalah agar jika mau menyeberang maka melewati pintu masuk-keluar stasiun, dan bayar Rp. 2000.- Hmmm, cara cari uang tambahan dengan cara manis dan sesuai undang-undang.  

 Sungguh tindakan PJK- KAI Jabodetabek yang sangat tak masuk akal sehat. 

Opa Jappy | Lenteng Agung, Jakarta Selatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun