Â
Kemajuan KAI Jabodetabek, bisa dikatakan, sangat luar biasa; semuanya itu tak lepas dari sentuhan Ignatius Jonan ketika ia masih menjadi lokomotif PJKA. Lihat saja, kini tak ada lagi KRL PATAS, padat lambat kumuh panas sumpek and full copet. Setuju atau tidak, Commuter Line Jabodetabek, CL Jabodetabek, telah menjadi pilihan utama banyak orang karena murah meriah, tak macet, and tanpa telat; puluhan Stasiun KA di Jabodetabek pun, apalagi di tengah kota, tampilannya sudah menyurupai mall.
Kemajuan CL Jabodetabek tersebut tak selesai; kereta terus berjalan menuju dan mungkin melewati tujuan. KAI melakukan pembenahan gerbong, stasiun, dan layanan, sekitar area rel pun alami tata ulang lingkungan secara besar-besaran; mereka merobah banyak hal. Lihatlah, sepanjang rel ka Jabodetabek, hampir tak ada rumah kumuh, sampah, pengemis dan gelandangan. Mulai terlihat pagar besi rapi, dan indah dipandang.
Sayangnya, penataan ulang area rel tersebut, ternyata dilakulan secara arogan dan tanpa pertimbangan. Bisa jadi, akibat KAI Jabodetabek tak mempelajari sikon sosial ekonomi dan mobilitas masyarakat di sekitarnya.
Atas nama UU RI No 23 tentang Perkeretaapian, KAI tak peduli dengan sikon masyarakat sekitar, sehingga melakukan "Tembok Berlin" di Jabodetabek. Masyarakat sudah tak bisa "melewati" KA, karea terkurung di balik besi-besi pagar rel; hampir sepanjang rel KA Jabodetabek seperti itu, kecuali jila JPO, jembatan penyeberangan orang.
- murid, pelajar, siswa sejumlah sekolah dari arah Depok, dengan angkot, harus memutar jauh hingga melewati LA, dan membayar ongkos angkutan; dan yang nekad, malah melompat pagar besi untuk lebih cepat tiba di sekolah
- mematikan usaha foko kopi warnet warung makan dll, mahasiwa enggan menyeberang hanya untuk makan siang
- mematikan usaha kost atau kawar sewa untuk mahasiswa; mereka lebih memilih di area pada penduduk daripada harus menyeberang dengan penambahan biayaÂ
- warga yang datang dari arah selatan, dengan motor, makin melakukan lawan arus, daripada jauh memutar
- pada malam hari, terlihat dengan jelas, warga yang datang dari arah Depok dengan angkot, "terpaksa" dengan berbagai cara melompat pagar besi, daripada harus memutar atau naik angkot untuk "mutar arah" hingga tiga kilometer untuk sampai di rumah
Agaknya, KAI Jabodetabek tak mau mendengar usulan dan keluhan masyarakat; ketika pekerjaan membuat pager rel, warga sudah berulang kali datang ke/pada para pekerja atau petugas agar menyampaikan pesan bahwa, sebelum ada JPO, maka jangan menutup akses warga. Namun, keluhan warga ditanggapi dengan tudingan mengancam pekerja.Â
Mereka, pihak KAI, tak peduli dengan kepentingan masyarakat sekitar. Mereka berkerja atau menutup akses melintas rel pada malam hari, pada waktu warga tidur. Akibatnya, ketika warga mendapati sikon tak bisa melewati rel, sempat ada gejolak kecil, namun ditenangkan oleh para tetua setempat. Mereka, warga masih menahan diri dan tak mau ada kejadian yang bersifat merusak ataupun merugikan Negara.
Akhirnya, ketika tiga hari lalu, saya bertanya kepada petugas KAI di Stasiun Universitas Pancasila, bagaimana bisa menyeberang!? Jawabnya enteng banget, lewat pintu masuk-keluar Stasiun, tapi beli tiket KA, sebesar Rp. 2000.-
Wah, ternyata salah satu tujuan menutup akses warga adalah agar jika mau menyeberang maka melewati pintu masuk-keluar stasiun, dan bayar Rp. 2000.- Hmmm, cara cari uang tambahan dengan cara manis dan sesuai undang-undang. Â
 Sungguh tindakan PJK- KAI Jabodetabek yang sangat tak masuk akal sehat.Â
Opa Jappy | Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H