Artis, peran maupun foto, bisa dikatakan bahwa mereka menjadi "penghibur" melalui peran pada film/video pendek-panjang, foto, dan seterusnya, mereka bisa menghibur dan membahagiakan orang lain, masyarakat, atau publik.Â
Profesi sebagai artis, bisa dikatakan sebagai kerja yang bersifat gemerlapan, dan sekaligus penuh "topeng" sebab tak selamanya yang ditampilkan atau ditonton sesuai dengan hidup dan kehidupan nyata sang artis.
Bisa saja, artis tergoda untuk menikmati hidup dan kehidupan seperti perannya dalam film atau video, katakanlah tampilan yang gemerlapan, mewah, serta ada segalanya.
Sehingga berupaya tampil maksimal agar dibayar mahal, dan dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan gaya hidup.Â
Lalu, berapa sich artis dibayar!? Relatif; untuk mereka figuran dan pendatang baru, cuma berkisar ratusan ribu hingga Rp 1.5 juta/hari; mereka yang punya nama, tentu mencapai puluhan bahkan ratusan juta per episode.
Nah, jika sang artis tak bisa mencapai tahap "bayaran mahal," namun dirinya ingin tampil wah, dengan segala bentuk kemewahan serta gemerlapan, maka apa yang akan dan harus ia lakukan!?
Tentu, ada banyak jalan positif serta lurus yang bisa ia lalui; ia bisa berusaha dengan berbagai cara, yang penting sesuai norma serta etika; bahkan terus berusaha menata diri dengan penuh pengorbanan.
Namun, bagaimana dengan mereka yang ingin mencapai dan menggapai banyak hal dengan tidak begitu lelah dan cepat!?Â
Sudah bukan rahasia, banyak artis menggunakan jasa dari supernatural melalui para dukun dan sejenis dengan itu. Dan, yang paling memprihatinkan adalah, Sang Artis, laki-laki maupun perempuan, menjadi pekerja seks komersial; mereka menggunakan diri, tepatnya seks, sebagai alat atau sarana untuk mendapat uang dengan cepat, gampang, dan relatif tidak begitu lelah.
Kasus artis yang bisa menjadi teman ML, sudah pernah terungkap pada masa lalu, dan agaknya tak pernah selesai, tetap berlangsung hingga kini.Â
Ya, kasus artis yang menjadikan drinya sebagai "Boleh ML atau tidur dengan saya asal berani bayar" sudah terbongkar sejak puluhan tahun yang lalu; dan kini pelakon-pelakon ada yang masih hidup.
Siapa mereka!?
Tidak ada pengakuan, namun para "penggunanya" lah sering mengaku dan mengakui bahwa dirinya pernah tidur dengan Si A, Si B, Si C, dan seterus; dan dengan bangga ia sampaikan kepada orang lain.
Nah.
Jika kemarin ada orang, yang katanya artis yang bertarif Rp 80 juta, tertangkap maka itu sudah tak asing dan terkejut.
Tadi, seorang teman yang bekerja di sekitar Senayan, berkata kepada saya, "Artis itu cuma kena apes atau sial; sama halnya dengan artis pengguna narkoba...."Â
Jadi...!?
Mungkin masih banyak yang lain.....
Opa Jappy
####
SUPLEMEN:Â
Gaya Hidup Hedonis
Jauh sebelum abad pertama Masehi, di tengah-tengah masyarakat, sesuai dengan sikon masanya, telah ada gaya hidup hedonis. Hedonis kemudian menjadi hedonisme [Yunani, hedone artinya kesenangan, kenikmatan, bersenang-senang], merupakan gaya hidup yang mengutamakan dan mengagungkan kesenangan serta kenikmatan.
Pada sikon itu, manusia, setelah memenuhi kebutuhannya, berupaya untuk memuaskan hampir semua keinginannya. Dan bisa saja, keinginan-keinginan itu tidak begitu penting, tetapi hanya merupakan suatu prestise, kebanggaan serta kecongkakan.
Di masa lalu, misalnya pada masyarakat Hellenis, tampilan gaya hidup hedonis berupa pengumpulan kekayaan; berkumpul di dan dalam theater [colleseum] sambil menonton opera; hura-hura pada arena pertarungan antara manusia-manusia dan manusia-binatang buas; perjudian, pesta pora [termasuk pesta seks dan penyimpangan seksual]. Bahkan, para kaisar, pada masa lalu, menjadikan perang dan darah sebagai salah satu sumber kesenangan.
Oleh sebab itu, mereka selalu melakukan pengerahan sejumlah tentara untuk ekspansi kekuasaan sekaligus mendapat kepuasaan batin, ketika melihat darah tercurah akibat tusukan pedang dan tombak.
Gaya hidup hedonis yang dilakukan para kaisar, kaum bangsawan, orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan kedudukan, serta masyarakat kaya biasanya menjadikan orang lain sebagai korban; korban mereka adalah para budak laki-laki dan perempuan serta tawanan perang.
Ada banyak orang Indonesia [terutama di kota-kota metropolitan] berhasil menguasai teknologi informasi.
Kemudahan seseorang mendengar, membaca, dan melihat berbagai informasi dan gaya hidup dari luar [terutama dari dunia barat], dan terjerumus ke dalamnya.
Sehingga mereka dipengaruhi dan terpengaruh, meniru serta mempraktekkannya pada konteks hidup dan kehidupannya.
Walau seringkali apa yang ditiru dan dipraktekan tersebut tidak sesuai dengan sikon sosial-budaya setempat atau lokal.
Pada konteks kekinian, ada banyak faktor mendorong gaya hidup hedonis; misalnya akibat mudahnya arus informasi dan komunikasi karena kemajuan tekhnologi informasi [TI].
Dan seringkali informasi yang mencapai [yang masuk ke dalam] suatu komunitas masyarakat, diterima apa adanya; kemudian dipakai sebagai bagian dari gaya hidup. Sikon seperti itu, juga terjadi pada masyarakat dan bangsa Indonesia.
Dan pada umumnya, yang paling mudah ditiru adalah gaya hidup.
Sehingga, mudah dipahami bahwa ada masyarakat [terutama kaum muda] Indonesia, bergaya hidup orang Amerika dan Eropah atau bahkan melebihi masyarakat maju lainnya yang bersifat hedonis.Â
Unsur-unsur gaya hidup hedonis, seperti pesta pora, kemabukan, pesta seks [dan penyimpangan seksual], perjudian, tampilan diri memamerkan kemewaan, dan lain sebagainya, seakan menjadi sesuatu yang wajar dan normal.
Dalam kerangka gaya hidup dan kehidupan seperti itu, kemudian muncul istilah-istilah baru namun sangat bersahabat dan populer, misalnya, dugem, clubers, teman tapi mesra, metro-seksual, sex after lunch, sex without love, dan lain-lain sebagainya; semuanya sebagai gaya hidup yang menyenangkan serta merupakan suatu keharusan kekinian bagi masyarakat maju.
Namun, pada satu sisi, banyak orang menilai bahwa gaya hidup dan kehidupan hedonis, pada dasarnya, merupakan penyakit sosial.
Dengan itu, maka orang-orang yang bergaya hidup hedonis perlu ditherapi agar kembali menjadi normal. Penyakit yang muncul karena manusia telah kehilangan orientasi kemanusiaan serta kepekaan pada sikon sosial-kultural-masyarakat di sekitarnya masih bergemilang kemiskinan dan kebodohan.
Dan mungkin, kaum agamawan [dan agama-agama] mempunyai pemikiran yang sama. Atau sebaliknya, kaum agawan juga terjebak dan terjerumus ke dalam lubang gaya hidup hedonis, sehingga ajaran-ajaran agama yang dianutnya hanya merupakan bentuk-bentuk keagamaan semu; mereka hanya sekedar beragama atau tanpa penghayatan yang benar.
Di sisi lain, orang-orang yang memperlihatkan atau mempraktekkan gaya hidup dan kehidupan hedonis, berpendapat bahwa apa yang mereka lakukan tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan merupakan urusan pribadi; berada pada wilayah private seseorang; jadi tidak perlu diperdebatkan.Â
Semua yang mereka lakukan itu, karena mempunyai kelebihan dari orang lain.
Dan dengan kebihan tersebut, mereka [ia] harus mendapat kesenangan, kenikmatan, serta gemerlapan, yang penting tidak merugikan serta mengganggu orang lain.
Bagi mereka hidup untuk dan harus dinikmati semaksimal dan sebaik-baik mungkin; karena hanya ada satu kesempatan untuk itu; hanya ada satu kesempatan untuk mengisinya dengan segala bentuk kesenangan.Â
Menikmati gaya hidup dan kehidupan seperti itu, merupakan salah satu upaya melepaskan kelelahan setelah bekerja.
Meniru dan mempraktekkan gaya hidup dan kehidupan hedonis, sudah merambah kepelbagai lapisan masyarakat; seakan sudah merupakan suatu tuntutan keadaan, serta keharusan menjadi bagian darinya.Â
Akibatnya, banyak orang berusaha [bekerja] keras agar mampu membiayai tuntutan-tuntutan gaya hidup dan kehidupannya. Di samping itu, karena gaya hidupnya, banyak orang melupakan kebutuhan spiritualnya, yang hanya bisa diisi oleh Agama.
Oleh Opa Jappy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H