Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawan dkk, Korban Kelalaian RS Prof dr Kandou Malalayang!?

29 November 2013   14:12 Diperbarui: 17 Juni 2019   16:21 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Kompas Com

SUPLEMEN

Catatan Pertama


Saat itu, Fransiska diantar keluarag ke ke Puskesmas di Bahu Kecamatan Malalayang jelang melahirkan. Tanda-tanda melahirkan terlihat pukul 04.00 WITA, keesokan harinya, setelah pecah air ketuban dengan pembukaan 8 hingga 9 Centimeter.

Dokter Puskesmas di Bahu Kecamatan Malalayang, merujuk  Fransiska ke RS Prof dr Kandou Malalayang, karena Fransiska mempunyai riwayat melahirkan dengan cara divakum.

Tiba RS Prof dr Kandou Malalayang, pukul 07.00 WITA, Fransiska dimasukkan ke ruangan Irdo; kemudian dari hasil pemeriksaan, diarahkan ke ruang bersalin.

Pukul 20.00 WITA, dr Ayu cs melakukan bedah terhadap Fransiska, (silahkan hitung sendir rentang waktu dari tiba di RS Kandou hingga tindakan bedah); sementara itu, keluarga pun bolak-balik ruang operasi dan apotek untuk membeli obat; dengan kondisi tidak membawa uang cukup, tawar-menawar obat dan peralatan terjadi.

Pengakuan Ibu dari Fransiska “Bahkan saya coba menjamin kalung emas yang saya pakai, sambil menunggu uang yang masih dalam perjalanan, tapi tetap tidak dihiraukan. Operasi pun akhirnya mengalami penundaan,”

Pukul 22.00 WITA, ada uang untuk membayar biaya beda, namun jumlahnya pun tidak mencukupi seperti permintaan pihak rumah sakit. Setelah bermohon berulang kali, operasi kemudian dilaksanakan.

15 menit kemudian, dokter keluar membawa bayi dan memberi kabar anaknya dalam keadaan sehat.

20 sampai 30 menit kemudian, dokter bawa kabar bahwa Fransiska telah meninggal dunia.

Catatan Kedua [dari acara Gestur TvOne 28 Nopember 2013]

Pengakuan Keluarga Korban: Petugas RS Kandou, mengeluarkan kata-kata pelecehan terhadap keluarga, intinya, "Ya nda ada doi, mau operasi" (dialek Manado) atau dalam bahasa Indonesia, Tidak ada uang, ko mau operasi.

Dokter yang meminta tanda tangan dari keluarga untuk persetujuan bedah - pembedahan, dengan kondisi cahaya lampu yang tak terang, penandatangan tidak baca - tidak tahu apa-apa yang tertulis, hanya tanda tangan;

[*notes, mengapa harus dokter seindirilah yang lakukan itu!? memangnya tak ada petugas lainnya yang mengurus administrasi pra-bedah!? untuk yang ini, saya tak tahu mekanisme pada saat itu di RS Prof Kandou; namun berdasar pengalamanku, ada tenaga medis bukan dokter dan juga dokter, yang datang pada keluarga untuk meminta tanda tangan, dan menjelaskan maksudanya]

Menurut keluarga, ada pembiaran +/- 15 jam, karena masalah yang tak diketahui keluarga; tindakan operasi baru dilakukan setelah kondisi Fransisca sudah menderita dan tidak berdaya; dan administrasi tidak beres; jumlah uang tidak mencukupi seperti permintaan pihak rumah sakit. Setelah bermohon berulang kali, operasi kemudian dilaksanakan.

Catatan Ketiga [dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia]

Menurut Direktur YPKKI, Marius Wijayarta, kasus dr. Ayu memiliki banyak kejanggalan; hal-hal tersebut antara lain,

  1. Terlalu banyak dokter menangani pasien. Jika ketiga dokter tersebut adalah dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi, ini jumlah yang terlalu banyak menangai pasien. Atau memang ada sesuatu sehingga perlu ditangani 3 dokter. Makanya perlu dierjelas dua rekan dr. Ayu siapa? spesialis atau bukan
  2. Pembiaran terlalu lama. Ada pembiaran yang begitu lama, bahkan keluarga pasien hingga bicara mengenai negosiasi operasi (penggadaian kalung oleh pihak keluarga). Meskipun sebelumnya IDI mengatakan, bahwa ketiga dokter sempat mengeluarkan uang pribadi untuk membantu pasien. tapi yang jelas, seharusnya pasien dibantu dulu
  3. Masalah tanda tangan persetujuan tidak jelas. Menurut keluarga proses operasi dilakukan tanpa sepengetahuan keluarga korban. Tapi pihak dokter berkilah bahwa saat itu kondisinya sedang darurat sehingga tim penasihat hukum mengatakan bahwa operasi bisa dilakukan tanpa pemberitahuan ke keluarga. Dalam kasus apa pun, sekalipun kejadiannya emergency, maka sesuai undang-undang perlindungan konsumen nomor 8 tahun 1999 pasal 4 bagian C disebutkan salah satunya bahwa hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur. Dalam hal ini, pasien atau keluarga pasien harus mengetahui kondisi sebenarnya. Jelas hak konsumen atau pasien untuk tahu penyakit pasien atau diagnosis apa sehingga dokter kemudian ambil sikap sendiri

Dari ketiga catatan tersebut di atas (hasil ringkasan dari berbagai media), saya mencoba menelusuri peran langsung dari doker Ayu cs, yang berdampak pada kematian Frasisika. Jujur, sulit menemukan hal tersebut.

Dengan asumsi bahwa dokter (di RS pada poli manapun) melakukan tindakan medis berdasar kuasa, perintah, kelengkapan administrasi; dan itu bukan diurus oleh para dokter, melainkan petugas administrasi (entah apa namanya). Maka, jika terjadi hal-hal yang menjadikan Fransiska terlambat mendapat penanganan, apakah itu kesalahan dokter!?

Jadi, jika ada pembiaran terhadap Fransiska selama +/- 15 jam, apakah itu karena dokter tak mau bedah atau memang otoritas RS Prof Kandou belum memberi perintah agar melakukan bedah, karena masalah biaya!? Atau mungkin ada sebab lain, selain hal-hal tersebut, misalnya ada rangkaian pembedahan, dokter tidak ada atau meninggalkan tempat/RS, dan lain sebagainya.

Seandainya; ini seandainya, jika para dokter tesebut melakukan bedah tanpa izin dari atasan mereka di RS Prof Kandou, katakanlan atasan mereka adalah Kepala Instalasi Bedah, maka bisa saja mereka dituduh atau mendapat sanksi dari atasan, karena melakukan tindakan medis bukan karena perintah atasan atau inisiatif sendiri.

Jadi, tindakan pembedahan, bedah cesar, tersebut, terlambat atau tertunda (menunggu waktu, setelah semua urusan administrasi dan bayaran beres; dan urusan biaya RS tentu saja bukan domain para dokter yang bertugas membedah Frasiska) bukan karena kemauan para dokter; tetapi terjadi setelah ada perintah untuk melakukannya. Jika seperti itu, wajarkah dokter Ayu dkk yang disalahkan!? Bukankah mereka bekerja sesuai mekanisme yang ada di RS Prof Kandou!?

Berdasar semuanya itu, sepintas (mungkin diriku salah) terlihat bahwa ada peran RS Prof Kandou sebagai institusi yang menyebabkan (secara langsung maupun tidak) kematian Fransiska. Namun, keluarga hanya melaporkan dokter Ayu cs kepada polisi; dan pengadilan pun mengadili ketiga dokter tersebut.

Bisa jadi Dokter Dewa Ayu Sasiary Sp.OG, dr. Hendry Siagian dan dr. Hendry Simanjuntak, merupakan korban ketidakberesan RS Prof dr Kandou; mereka menjadi korban, dari hal-hal non medis yang menghambat tindakan medis terhadap pasien.

Bukankah masih banyak terjadi seperti itu!? Ada hal-hal yang non medis, misalnya kurang uang tunai untuk membayar di kasir RS, yang menjadikan pihak RS menunda melakukan penanganan terhadap pasien!?

Hmmmm .... mekanisme di Rumah Sakit yang salah, tapi dokternya yang dicaci dan dipernjarakan.

Mari kita berhenti bercermin pada cermin yang retak.


KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun