Anda pernah menghitung-hitung biaya yang dikeluarkan seseorang atau mereka yang bertarung di Pilkada!? Anggaran atau biaya yang dibutuhkan untuk/dalam Pilkada bisa mencapai ratusan milyar atau triliun rupiah. Hal itu terjadi karena apa yang disebut tingginya biaya politik selama pemilihan umum kepala daerah berlangsung serta dalam politik tidak ada yang gratis.
Jika seperi itu, apakah orang-orang yang beruang atau kaya sajakah, yang bisa menjadi Kepala Daerah (Gub/Gub, Bupati/Wabup, Walikota/Wakil Walikota);!? Sedangkan mereka yang potensial, namun tak punya uang, maka tak bisa menjadi Kepala Daerah.
Belum tentu; jika mereka yang tak punya uang itu, benar-benar ingin jadi Kepala Daerah, maka ia bisa mendapat (katanya) hibah - grant dari penyandang dana. Ia akan mendapada dana setelah mengikat perjanjian (di hadapan notaris), dengan sejumlah persyaratan yang ada proposal di dalamnya ada semua potensi (ekonomi) daerah yang bisa dikembangkan). Si Penyandang Dana akan hibahkan dana berdasar perhitungan berikut
Berapa besar jumlah rupiah yang didapatkan;!? perhatikan contoh berikut;1381392908297391622Untuk menjadi Kepala Daerah, maka minimal mendapat suara 50%+1 dari jumlah suara yang masuk. Jika, misalnya Jumlah Pemilih Tetap 10 Juta Jiwa, maka dana yang dibutuhkan adalah 50% + 1, biasanya dibulatkan menjadi 60%; jadi dana yang dihibahkan adalah 6Juta X Rp. 200-300.000.- silahkan anda hitung totalnya (untuk di Jawa Rp 200-250.000/orang; dan di luar Jawa Rp.250-300.000/orang.-)
Jika Si Kandidat Kepala Daerah setuju, dan tanda tangan kontrak dihadapan notaris, maka Tim dari Penyandang Dana, juga ikut bermain agar Si Kandidat menang pada waktu Pilkada. Jika, menang maka Si Kepala Daerah dan Penyandang Dana mempunyai perhitungan dan hubungan tersendiri, dan khusus, yang sudah tak melibatkan para Tim Sukses.
Jadinya, walau disebut hibah, grant, sumbangan, atau apalah, semuanya tak sesuai dengan sebutannya. Kepala Daerah (yang dibantu itu), harus membuka peluang agar Penyandang Dana mendapat kembali dana yang ia telah keluarkan, (ingat bahwa dalam proposal dan perjanjian tertuang juga potensi ekonomi daerah yang bisa dikembangkan).
Jika para Kandidat yang mendapat dana dari Si Penyandang Dana itu kalah (tipis, dan ada peluang menang melalui berpekara), maka akan muncul gugatan atau berperkara di MK; dan di tempat itulah MK, bisa terjadi hal yang terbalik-balik, tak masuk akal sehat, serta di luar ranah keadilan dan kebenaran. Mengapa bisa terjadi, kita sudah tahu jawabannya ketika Akil Mocthar tertangkap KPK.
Jika Si Kepala Daerah (yang menang melalui Pilkada maupun keputusan MK) adalah yang mempunyai ikatan dengan Si Penyandang Dana, maka ia akan melakukan gerakan serta usaha untuk membalas budi atau menggantinya. Ia pun (bisa) lakukan dengan berbagai cara yang halal, haram, maupun berupa penyimpangan, yang bisa disebut atau termasuk korupsi.
Lalu, di mana letak penyimpangan dan korupsinya Si Kepala Daerah!? ada banyak cara yang mereka bisa lakukan. Mulai dari mark up biaya perjalanan dinas, proyek fiktif, pemotongan/sunat dana bansos, bahkan pemontongan dana atau pun sucses fee dari Kreditur Bank Daerahdan lain sebagainya.
Dengan demikian, jika Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, yang juga Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) menyatakan bahwa, "... sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005. Sudah 309 kepala daerah terlibat proses hukum terkait kasus korupsi, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana. Awalnya hanya 173 kepala daerah, saya pernah bilang akhir tahun 2013 angka ini bisa menembus 300, ternyata belum sampai akhir (tahun) sudah lebih dari 300, ..." [bisnis.com/antaranews.com].
Melihat kenyataan sepert itu, untuk meminimalisir praktik korupsi di daerah, Kemendagri mengusulkan pelaksanaan pilkada tidak langsung atau melalui perwakilan rakyat di DPRD untuk tingkat kabupaten dan kota; dan itu berarti harus diawali dengan/di DPR RI karena harus terjadi perubahan Undang-undang.
Jadinya, jika melihat gonjang-ganjing di MK, maka hal itu terjadi akibat ketidaktahanan serta ketidakmampuan Ketua MK (dan Hakim-hakimnya!?) menahan godaan serta jeratan Pemodal pada Pilkada. Mereka ikut terjerumus ke dalam nafsu dan permainan kotor demi kuasa dan kekuasaan.
Cukuplah ....
doc jurnalguruindonesia.8m.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H