Lalu, di mana letak penyimpangan dan korupsinya Si Kepala Daerah!? ada banyak cara yang mereka bisa lakukan. Mulai dari mark up biaya perjalanan dinas, proyek fiktif, pemotongan/sunat dana bansos, bahkan pemontongan dana atau pun sucses fee dari Kreditur Bank Daerahdan lain sebagainya.
Dengan demikian, jika Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, yang juga Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) menyatakan bahwa, "... sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005. Sudah 309 kepala daerah terlibat proses hukum terkait kasus korupsi, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana. Awalnya hanya 173 kepala daerah, saya pernah bilang akhir tahun 2013 angka ini bisa menembus 300, ternyata belum sampai akhir (tahun) sudah lebih dari 300, ..." [bisnis.com/antaranews.com].
Melihat kenyataan sepert itu, untuk meminimalisir praktik korupsi di daerah, Kemendagri mengusulkan pelaksanaan pilkada tidak langsung atau melalui perwakilan rakyat di DPRD untuk tingkat kabupaten dan kota; dan itu berarti harus diawali dengan/di DPR RI karena harus terjadi perubahan Undang-undang.
Jadinya, jika melihat gonjang-ganjing di MK, maka hal itu terjadi akibat ketidaktahanan serta ketidakmampuan Ketua MK (dan Hakim-hakimnya!?) menahan godaan serta jeratan Pemodal pada Pilkada. Mereka ikut terjerumus ke dalam nafsu dan permainan kotor demi kuasa dan kekuasaan.
Cukuplah ....
doc jurnalguruindonesia.8m.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H