Hal di atas, bisa merupakan contoh tentang maaf dan memaafkan secar sosial-spiritual, namun tetap membiarkan proses hukum berlangsung apa adanya. Maaf dan memaafkan yang telah disampaikan dengan penuh ketulusan, sesuai dengan kedewasaan iman dan religiusitas, bukan berarti membebaskan yang bersalah lolos dari jeratan hukum.
Maaf dan memaafkan, juga bisa sebagai upaya penyelesaian masalah ataupun konflik; penyelesaian di luar peradilan. Untuk, hal-hal yang tidak bersifat kriminal, merugikan orang lain atau kelompok masyarakat dan negara. Â Tapi, untuk hal-hal yang sekiranya, bukan seperti itu, maka proses hukum harus dijalankan.
Proses hukum, sebagai pertangungjawaban terhadap hal-hal yang dilakukan, sekecil apa pun perbuatan tersebut, merupakan langkah tepat, untuk semua orang; tak peduli ia orang kecil, besar, atau terkenal atau pun tidak.
Dengan demikian, walaupun pasangan pembunuh, Assyifa Ramadhani Anggraini (18) dan  Ahmad Imam Al Hafitd (19), telah mendapat maaf dari orang tua Ade Sara, mereka harus tetap akan mengalami sisa hidup dan kehidupan di penjara. Dan nantinya, pasangan belia ini, yang baru berusia 19/20 tahun, akan menjalani saat-saat dewasa hingga masa tua, sebagai orang yang terpenjara. Mereka akan kehilangan gegap gempita masa remaja, karena sebagai orang hukuman.  Masa depan mereka, ada di antara batas-batas jeruji besi dan tembok penjara; dan ada kemungkinan, mereka akan mendapat pengalaman baru jika pindah dari satu LP ke LP lain.
Kisah pasangan Assyifa Ramadhani Anggraini dan  Ahmad Imam Al Hafitd, juga bisa menjadi cermin untuk kita, anda, saya, dan terutama kaum muda, agar tidak "mengatasi masalah" dengan jalan pintas; atau, bahkan, melakukan hal-hal yang sangat tidak patut secara sosial, agama, dan hukum, hanya karena hal-hal yang sederhana dan sepele.
Opa Jappy - Jakarta Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H