Pemakaman Ade Sara Angelina Suroto. twitter.com/tempo.co/ihidkk.8m.net/Kompasiana.com
Masih ingat Peristiwa Ade Sara;!? gadis manis, anak tunggal pasangan Pasangan suami-isteri, Suroto dan Elisabeth Diana Dewayani. Ia dibunuh dengan keji oleh teman dekatnya sendiri. Pada waktu, sempat menghebohkan publik. Namun, dibalik kesedihan tersebut, ada suara maa dan memaafkan dari pasangan Pasangan suami-isteri, Suroto dan Elisabeth Diana Dewayani, papi dan mami Ade Sara Angelina Suroto.
Pada waktu itu, Suroto menyatkan bahwa,
“Kalau berpikir secara manusiawi, kami tentu tidak bisa menerima anak kami dibunuh secara keji seperti itu, yang ada kami ingin membalas dendam perbuatan mereka. Ade Sara anak semata wayang, adalah tumpuan masa depan manakala nanti pensiun; namun Hafidt dan Assyifah telah membuyarkan harapan. Masa depan kami hilang.
Secara manusiawi, orang tua pasti marah mengetahui anaknya diperlakukan seperti itu. Tapi memaafkan kedua pelaku. Permaafan itu adalah pengewajantahan perintah Tuhan. Dalam Doa Bapa Kami ada kalimat untuk memaafkan orang yang bersalah.
Meski telah memaafkan, namun bukan berarti memaafkan lalu proses hukum selesai. Hukum harus terus berjalan, tidak boleh ada pengurangan hukuman atas kedua pelaku serta tidak boleh ada trik yang dilakukan untuk meringankan mereka,(tribun/tempo/detik/kompas.com)”
Sumber: Ketika Maaf dan Memaafkan Dituduh Sebagai Modus
[caption id="" align="aligncenter" width="408" caption="wartakota.tribunnews.com"]
Kini pasangan pembunuh tersebut, Assyifa Ramadhani Anggraini (18) dan Ahmad Imam Al Hafitd (19), harus harus bertanggungjawab terhadap apa yang telah mereka lakukan. Pada waktu itu, Ada Sara dianiaya, disetrum, dan membuang jasadnya di pinggir Jalan Tol Bintara Kilometer 49, Bekasi Barat, Kota Bekasi.
Mereka berdua dituntut sesuai dengan Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati; serta dakwaan subsider dengan Pasal 338 KUHPidana tentang Pembunuhan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana; Pasal 353 ayat 3 KUH Pidana tentang Penganiayaan yang Menyebabkan Kematian Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut mereka dengan hukuman seumur hidup, karena terbukti dengan sah dan meyakinkan, telah melakukan pembunuhan terhadap kawannya sendiri, Ade Sara Angelina Suroto (18), pada 3 Maret 2014.
==
Hal di atas, bisa merupakan contoh tentang maaf dan memaafkan secar sosial-spiritual, namun tetap membiarkan proses hukum berlangsung apa adanya. Maaf dan memaafkan yang telah disampaikan dengan penuh ketulusan, sesuai dengan kedewasaan iman dan religiusitas, bukan berarti membebaskan yang bersalah lolos dari jeratan hukum.
Maaf dan memaafkan, juga bisa sebagai upaya penyelesaian masalah ataupun konflik; penyelesaian di luar peradilan. Untuk, hal-hal yang tidak bersifat kriminal, merugikan orang lain atau kelompok masyarakat dan negara. Tapi, untuk hal-hal yang sekiranya, bukan seperti itu, maka proses hukum harus dijalankan.
Proses hukum, sebagai pertangungjawaban terhadap hal-hal yang dilakukan, sekecil apa pun perbuatan tersebut, merupakan langkah tepat, untuk semua orang; tak peduli ia orang kecil, besar, atau terkenal atau pun tidak.
Dengan demikian, walaupun pasangan pembunuh, Assyifa Ramadhani Anggraini (18) dan Ahmad Imam Al Hafitd (19), telah mendapat maaf dari orang tua Ade Sara, mereka harus tetap akan mengalami sisa hidup dan kehidupan di penjara. Dan nantinya, pasangan belia ini, yang baru berusia 19/20 tahun, akan menjalani saat-saat dewasa hingga masa tua, sebagai orang yang terpenjara. Mereka akan kehilangan gegap gempita masa remaja, karena sebagai orang hukuman. Masa depan mereka, ada di antara batas-batas jeruji besi dan tembok penjara; dan ada kemungkinan, mereka akan mendapat pengalaman baru jika pindah dari satu LP ke LP lain.
Kisah pasangan Assyifa Ramadhani Anggraini dan Ahmad Imam Al Hafitd, juga bisa menjadi cermin untuk kita, anda, saya, dan terutama kaum muda, agar tidak "mengatasi masalah" dengan jalan pintas; atau, bahkan, melakukan hal-hal yang sangat tidak patut secara sosial, agama, dan hukum, hanya karena hal-hal yang sederhana dan sepele.
Opa Jappy - Jakarta Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H