Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Gue yang Natalan, Situ yang Ribut!?"

24 Desember 2014   04:58 Diperbarui: 24 Desember 2020   12:15 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Kanal Indonesia Hari Ini

Ada ungkapan yang menarik dari Menteri Agama seperti yang dikutip oleh id.berita.yahoo.com, menurut Menteri Agama

"Kami memohon umat Kristiani berjiwa besar melihat realitas ini. Sebab di internal umat Islam beragama pandangannya.

Di internal umat Islam pandangan terkait mengucapkan 'Selamat Hari Raya Natal' masih beragam. Ada sebagian besar tidak mempersoalkan ucapan kepada umat Kristiani, tetapi ada yang mengharamkan.

Saya pikir semua pihak harus saling menghargai dan menghormati pandangan masing-masing. Jadi kalau ada umat Islam tidak mengucapkan itu katakan sampai mengucapkan haram itu bagian dari pemahaman.

Itu harus dihormati dan dihargai. Sebagaimana, kita menghormati dan menghargai yang tidak mempersoalkan."

Bagi saya, dan banyak umat Kristen di Nusantara, tidak penting Haram dan Halalnya seorang Muslim mengucapkan Natal kepada rekan, keluarga, sanak, atau bahkan suami-isteri-anak mereka yang merayakan Natal.

Bagi seorang Kristen, tidak masalah baginya mendapat ucapan salam atau selamat  selamat, termasuk ucapan Selamat Natal dari orang lain; yang penting baginya adalah seperti pesan Yesus di bawah ini,

Apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian

Apabila kamu masuk rumah orang, berilah salam kepada mereka, … salammu itu turun ke atasnya.

Berilah salam seorang kepada yang lain, ….  dan saling mendahului dalam memberi hormat, … .

Janganlah kita gila hormat; hormat kepada orang yang berhak menerima hormat. Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu.

Rangkaian kalimat di atas merupakan bagian teks Kitab Suci, yang bersifat pesan moral dan etika dalam kerangka hubungan antara manusia atau sosial.

Dalam kerangka itu pula, pada diri setiap Kristiani, ada semacam keharusan atau kewajiban etis pada dirinya, agar mengucapkan Salam, Shalom, Eirene, hormat, kepada semua orang. Dengan demikian Umat Kristiani Tak Berharap, Meminta, Menuntut Ucapan Selamat Natal dari Siapapun

Memberi -mengucapkan- Selamat Natal tersebut, merupakan panggilan nurani dan suara hati. Boleh dan tidak bolehnya, ya  atau pun tidaknya, tergantung input yang masuk ke/dalam nurani masing-masing orang.

Bagi umat Kristen, pada umumnya, mereka tidak pernah mempermasalahkan dirimu dan diriku memberi -mengucapkan- Selamat Natal ke/pada dirinya(mereka). 

Karena memang, bagi seorang Kristiani ia tak boleh meminta atau menuntut ucap dan ucapan selamat, shalom, tabe,’ eirene, dan kata-kata sejenisnya dari siapa pun juga; namun ia wajib memberi ucapan selamat semua orang.

Jadi, Tuan Menteri Agama tak perlu memberi pernyataan agar umat Kristen berjiwa besar jika tak mendapat ucapan Natal; emangnya kami butuh!? 

Tidak, Pak Menteri.

Oleh sebab itu, Wahai Tuan Menteri, "Nguruslah mereka-mereka yang sibuk bertengkar tentang boleh tidaknya Selamat Natal. Mereka yang perlu belajar dan diajari bagaimana menghargai serta menghormati iman orang lain; didiklah mereka yang selalu usil dengan hal-hal diimani oleh orang lain.

Coba Pak Menteri lihat di Media Sosial, Cetak, Pemberitaan, adakah ucapan dan pernyataan pemimpin umat, Gereja, atau tokoh agama Kristen, yang "meminta agar orang lain memberi ucapan selamat Natal ke/pada umat Kristen!? 

Adakah permintaan yang keluar dari mulut mereka agar semua umat beragama dan tak beragama memberi Salam dan Ucapan Natal ke/pada Si Kristen dan Sang Katolik!? 

Tidak ada, sekali lagi tidak ada; dan sekali lagi, tidak ada seperti itu.

Pak Menteri, justru yang ada adalah, 

"Gue yang Natalan, sana yang ribut; dan mengajak orang lain ikut tidak memberi ucapan Selamat Natal. 

Kemudian, di sana juga yang saling debat, boleh tidaknya dan haram halalnya ucapkan Natal." Sementara, umat Kristen dan Katolik, yang (akan) merayakan Natal, cuma menjadi penonton setia; setia  menonton perdebatan antara sesama mereka di sana."

So, janganlah "bertengkar" tentang boleh tidak ucapkan Natal, karena itu tak bermanfaat dan tak berguna, malah hanya menunjukkan "ketidaksukaan" terhadap hal-hal yang ada pada orang lain; dan selain itu, memalukan.

Memalukan karena, "Gue yang Natalan, malah lue yang ribut!"

Lukas 2:6-7 

  • Karena tidak ada tempat di Penginapan, Yusuf dan Maria menuju Kandang Ternak. Ketika mereka di situ,  
  • Maria melahirkan. Ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung 
  • Ia membungkusnya dengan lampin 
  • Ia membaringkannya dalam palungan. 

Engkau Ingat, Saat itu, Yesus dilahirkan di Kandang Ternak Bagaimana jika Saat Ini, Yesus Dilahirkan Dalam Hatimu Dan, Ia ada serta tetap ada di sana selama-lama.

Ingat dan ingatan terhadap Hari Kelahiran, sebetulnya sama halnya dengan mengingat Hari Perkawinan, Hari Kematian, Hari Jatuh Cinta, Hari jatuh-bangun, dan lain sebagainya. Sehingga, jika mau dijadikan istimewa, maka ia akan menjadi Istimewa; tetapi bila jadikan sebagai sesuatu yang biasa, maka akan menjadi biasa-biasa saja dan tak bermakna apa-apa. 

Entahah sejak kapan, Hari Kelahiran (dan juga Hari Kematian) Orang-orang Besar, yang berhubungan dengan agama dan keagamaan, diperlakukan begitu rupa, sangat istimewa, sehingga menjadi Hari Yang Lain daripada hari-hari biasanya.  Pengistimewaan itu yang melahirkan adanya perayaan, festival, bahkan doa-doa khusus atau ibadah untuk memperingatinya.  

Maka pada perayaan hari kelahiran  selalu penuh sukacita; namun ketika perayaan hari kematia, penuh dengan doa-doa, kesedihan, bahkan tangisan dan air mata. Pada sikon sukacita tersebut, Umat Kristen-Katolik merayakan Dies Natalis Yesus Kristus, sehingga jika mereka (Umat Kristen dan Katolik) saling memberi (dan menerima) Salam Natal.  Itu bisa juga bermakna orang yang memberi salam tersebut, melihat ada sukacita (Natal) pada yang disalami, sehingga memberi ia salam. 

Memberi ucapan (salam) sukacita, bukan bermaknya ikut percaya, beribadah, atau apalah dalam kaitan dengan hanya memberi ucapan atau salam tersebut. Pada umat Kristen dan Katolik, memberi (ucapan) salam kepada orang lain (atau sesamanya), adalah penghormatan kepada mereka, karena sesuai dengan Amanat dari Kristus, dan itu adalah suatu keharusan dan kewajiban moral serta etis Kristiani.



Opa Jappy  | Indonesia Hari Ini


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun