~~~
Pak Kimin sangat bangga dengan pabrik petasan yang dimilikinya. Ia telah mewarisi pabrik ini secara turun-temurun tiga generasi. Ia juga memproduksi kembang api. Setiap acara-acara tertentu di negaranya, selalu akan menaikkan permintaan atas mercon ataupun petasan yang dibuatnya.
Namun fokus bisnisnya adalah petasan besar, terutama yang gigantik ukurannya. Suaranya berdentum memekakkan telinga jika disulut. Bukan hanya suara, tapi juga daya ledaknya. Bahkan, konon untuk ukuran terbesar, dibutuhkan tenaga ahli dari pabriknya untuk menyalakannya.
Tak berhenti di situ saja, ia terus mengembangkan inovasi untuk terus meningkatkan kehebatan mercon buatannya. Hal itu didorong motivasi atas keinginan menjadi terunggul, dimana ia tak ingin dikalahkan oleh seorang pesaingnya dalam bisnis tersebut, yakni pak Trimun.
Ukuran pabrik pak Trimun sedikit lebih kecil memang dari pak Kimin, tapi jumlah pegawainya lebih banyak. Sehingga tak heran jika dalam pemasaran kembang api dan petasan ia menjadi lebih hebat dari pak Kimin.
Pak Kimin dan pak Trimun tentu saja banyak beroleh fulus dari bisnis 'bermain api' tersebut. Namun para tetangganya - sebelah kanan, kiri, depan dan belakang - dari bangunan pabriknya, merasa ketar-ketir, khawatir akan resiko yang membahayakan. Walau pabrik petasan itu telah berdiri berbelas tahun, tetap saja mereka merasa tak nyenyak tidur dan tak enak makan.
Beberapa tahun belakangan ini ramai berita tentang industri rumahan yang membuat petasan, banyak yang mengalami insiden, meledak, dan menghancurkan bangunan-bangunan di sekelilingnya.
Cerita-cerita miris tentang hal tersebut dan akibatnya, amat marak di harian-harian lokal.
Kabarnya, tak ada ganti rugi dari para pemilik pabrik. Bahkan beberapa di antaranya yang selamat, justru melarikan diri untuk menghindar dari amukan warga setempat. Â
Potensi mara bahaya itulah yang terasa menodong logika para tetangga pak Kimin, setiap saatnya.
Ego pak Kimin tidak memperdulikan rasa keterancaman warga sekitar. Justru yang menjadikan emosinya tersengat saat ini adalah ejekan pak Trimun terhadapnya. Liburan minggu lalu, bahkan pak Kimin membalas hinaan pak Trimun dengan mengirimkan sebuah petasan yang amat besar ke rumahnya. Sebuah simbolis dari satu tantangan.
Warga mengendus pertikaian berbentuk perang dingin tersebut. Mereka semakin was-was akan berubahnya perang dingin menjadi perang panas. Bagaimana jika mereka melontarkan petasan terhebat mereka dari pabrik masing-masing?
Agaknya pak Trimun mencium rasa miris para tentangga, yang dimanfaatkannya dengan mengumpulkan dukungan dari mereka untuk beramai-ramai melakukan somasi kepada pak Kimin agar memindahkan pabriknya ke kampung lain.
"Hengkanglah!" teriak pak Trimun sembari mengacung-acungkan tinjunya ke atas, diikuti para sekutu yang berhasil dikumpulkannya.
Konfrontasi di antara dua kubu pendukung 'petasanisasi' rekayasa kedua bos tersebut semakin memanas.
Entah sampai kapan.
Hingga cerpen ditamatkan pada alinea ini, terasa eskalasinya semakin memuncak.
```
Catatan:
Cerpen ini terinspirasi oleh isu proyek nuklir Korea Utara vs USA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H