Utah Jazz menutup musim reguler NBA 2018-19, Rabu (11/4) WIB dengan menurunkan mayoritas skuat yang pernah bermain untuk tim afiliasi NBA G-League mereka, Salt Lake City Stars. Terkecuali Jae Crowder, Joe Ingles, Ekpe Udoh, dan Thabo Sefolosha, skuat 'SLC Stars' hari itu tampak tahu bakal kalah.Â
Benar saja, Jazz keok 137-143 dari tim tuan rumah LA Clippers yang masih turun dengan kekuatan penuh untuk memuaskan pendukungnya.
Meski kalah, perlawanan sengit diperlihatkan Utah Jazz. Anak asuh Quin Snyder bahkan memaksa sampai tambahan quarter. Grayson Allen, kebanggaan Duke Blue Devils sebelum era Zion, mendapatkan torehan 40 poin pada laga tersebut. Momen 'nyetel' yang sebenarnya ditunggu-tunggu sejak Jazz memilihnya di urutan ke-21 pada Draft Night 2018.
Rudy Gobert dan Donovan Mitchell duduk di bangku cadangan dengan setelan pesta. Seperti Kyle Korver dan Ricky Rubio pada laga sebelumnya saat menundukkan Denver Nuggets 118-108. Ingles turun sebentar, beradu mulut dengan Avery Bradley, dan rasa kesalnya tidak pernah dipilih Clippers demi mentas di NBA tidak cukup membantu banyak.
Dengan gaya main yang cenderung berbeda, Jazz sempat kewalahan di kuarter pertama. Namun berkat strategi Snyder dengan memompa potensi skuat cadangan, Utah Jazz bisa memaksa laga memasuki tambahan waktu. Pada akhirnya, kalah juga. Namun laga terakhir itu cukup menyajikan kegembiraan bagi Utah Jazz musim ini yang performanya sempat turun menukik dan menanjak melampaui keraguan di waktu yang tepat.
Proses Mencapai Play-off
Sebenarnya cukup gila mendambakan Jazz berbicara banyak dalam percaturan papan atas NBA. Namun, itu benar-benar dilakukan dua penulis The Guardian, Oliver Connolly dan Aaron Timms. Entah salah makan atau bagaimana, tapi keduanya menjagokan Jazz finis di peringkat kedua. Bahkan, Timms menyebut Jazz layak menembus final wilayah barat versus Golden State Warriors.
Ah, untuk musim ini prediksi awal musim cenderung banyak yang meleset. Paling-paling kedigdayaan Warriors, kestabilan James Harden, dan musim puncak Giannis Antetokounmpo. Sisanya berantakan.
Tengok saja LeBron James gagal membawa Los Angeles Lakers ke babak play-off, Denver Nuggets nongkrong di posisi kedua, Boston Celtics terengah-engah, Toronto Raptors era Kawhi Leonard dikangkangi Milwaukee Bucks. Belum lagi Houston Rockets sempat berantakan di awal musim yang berdampak melorot posisi mereka ke urutan empat klasemen akhir, dan Paul George yang menyajikan performanya sebagai MVP dengan banyak penaklukan clutch di akhir laga, dan semacamnya.
Kesampingkan prediksi The Guardian yang sebetulnya juga tidak menjelaskan alasan di artikelnya, mari kembali singgung musim Utah Jazz. Periode pramusim dilewati Donovan Mitchell, dkk dengan gagah. Lima kemenangan beruntun diraih. Seolah melanjutkan tren bagus musim lalu yang mencapai semifinal wilayah barat, sebelum dipecundangi Houston Rockets di Perimeter.
Lantas musim NBA bergulir, Sacramento Kings menghadang setelah pada pramusim hancur lebur dengan kalah selisih 39 poin. Kings yang tidak pernah menembus play-off sedari 2006 tentu menjalani musim dengan tujuan jelas.Â
Berbeda dengan hasil laga pramusim yang bahkan membuat admin Twitter @sacramentokings malu sendiri lewat lawakan-lawakan cringe, laga pembuka justru menampilkan kegigihan De Aaron Fox, cs. Jazz pun unggul setipis tiga bola/dua lemparan tiga poin saja.
Dua laga berikutnya berlangsung di kandang. Sialnya, justru menyesakkan. Pada musim Utah Jazz berjumpa Golden State Warriors sebanyak tiga kali (musim sebelumnya unggul 3-1), perjumpaan pertama mesti berakhir pahit untuk Jazz.Â
Utah Jazz bukan tunduk oleh lesatan tipoin The Splash Brothers, lesatan mudah sniper Kevin Durant, atau tingkah ngehe Draymond Green, tapi justru keok oleh tepisan tipis eks pemain Jonas Jerebko di detik akhir. Praktis, itu kontribusi paling penting Jerebko bagi Golden State Warriors di sepanjang musim.
Tidak ada kemenangan pada bulan pertama di Vivint Home Arena. Setelah kena tip Jerebko, giliran Memphis Grizzlies pimpinan Mike Conley yang curi kemenangan 92-84. Conley membukukan 23 poin malam itu, tampil bak bintang langganan All-Star sembari memberi bimbingan kepada rookie Jaren Jackson Jr yang beringas.
Performa Grizzlies di awal musim sangat menjanjikan, mencatatkan rekor 12-5. Sampai-sampai Conley mencurahkan hati mengaku layak tembus All-Star dan periode membangun ulang tim berakhir dengan kehadiran Jackson Junior. Jazz yang sanggup mencetak 123 poin dalam dua laga beruntun, ditahan hanya sampai 84 poin.
Well, itu baru tiga laga awal memang. Namun kegagalan dominan atas Sacramento Kings, kalah secara sial oleh sentuhan jari eks pemain, dan kehabisan ide membobol lini pertahanan Memphis Grizzlies seolah memberi keraguan.Â
Jazz memang tidak perlu tancap gas, tapi terasa ada yang ganjil mengingat dua kekalahan bisa dihindarkan. Mitchell diberi kepercayaan melakukan isolation play di waktu genting versus Golden State Warriors dan Memphis Grizzlies, tapi berakhir buruk. Padahal, perputaran bola strategi Snyder kerap sulit dibendung.
Buktinya, Joe Ingles mencetak rekor jumlah poin pada satu laga dalam kariernya, yaitu 27 poin dan itu terjadi saat melawan Golden State Warriors. Sayangnya malah Mitchell yang dipercaya menutup laga dan gagal.Â
Ketika persentase tembakan tiga poin buruk seperti ketika berhadapan dengan Memphis Grizzlies yaitu diangka 8/32, 25%, cara serupa masih saja dilakukan. Mungkin Snyder mempercayakan hal tersebut guna terus menempa mental dan kepercayaan diri Mitchell di momen krusial. Bagaimanapun, dia memang pantas dipersiapkan sebagai franchise player masa depan Jazz dalam waktu dekat.
Namun, rasa khawatir nyatanya buru-buru mesti dihapus. Saat jalani laga tandang, Jazz nyaris sapu bersih. Rockets yang menyingkirkan mereka musim lalu digilas. New Orleans Pelicans juga demikian. Sedangkan Dallas Mavericks mesti menunda sesumbar mereka tentang Luka Doncic, karena alley-oop lezat Rubio disantap lahap Gobert. Keabsurdan terjadi lagi saat bertandang ke Target Center, rumah Minnesota Timberwolves.
Derrick Rose salah satu pemain andalan Minnesota Timberwolves yang kehilangan supremasi setelah beragam cedera yang dialaminya akhirnya menemukan kembali harkat martabatnya saat melawan Jazz. Rose tampil trengginas, seperti saat meraih status MVP NBA termuda tahun 2011.Â
Ramai-ramai orang menjadi turis ke masa delapan tahun lalu. Mengenang Rose sebagai garda poin eksplosif pertama yang berorientasi mendulang poin. Mengucapkan decak kagum atas ketahanan diri Rose melewati masa-masa sulit hingga berandai-andai Rose bakal bangkit ke performa awal karier di musim ini. Setelah laga, Rose termehek-mehek karena akhirnya dia bisa menampilkan permainan terbaik seperti sedia kala.
Sementara Utah? Fyuh, tim ini punya sejarah digasak satu pemain dengan skor menohok saat melawan LA Lakers di musim 2016. Saat itu, Utah Jazz dipermalukan oleh andalan LA Lakers, Kobe Bryant menutup kariernya dengan torehan 60 poin.Â
Musim ini Devin Booker dari Phoenix 'tanking' Suns mencatat 59 poin (bahkan berharap lebih daripada itu) pada perjumpaan ketiga dengan Utah Jazz. Untungnya, James Harden dari Houston Rockets yang sembilan kali membukukan lebih dari 50 poin dalam satu laga tidak melakukannya saat jumpa Utah Jazz. Sekalipun tetap saja, Si Jenggot mencetak 47 dan 43 angka dalam dua perjumpaan musim reguler.
Kena Libas dan Dilibas
Kekalahan dari Timberwolves disusul kekalahan tiga kali beruntun disinyalir karena Snyder belum menemukan formula menanggulangi Memphis, tidak sanggup meredam sensasi Denver Nuggets, dan tidak sanggup tampil bergaya selayaknya musim lalu di Toronto. Pertengahan November menjadi masa-masa terburuk Utah Jazz, sangat buruk.Â
UtahJazz kalah telak dari Mavericks yang sebenarnya tidak dapat berbuat banyak pada dua laga sebelumnya dengan selisih poin signifikan. Jarak 50 poin (68-118), kekalahan terburuk Utah sepanjang musim. Tentu lebih tepat disebut lagu pemakaman ketimbang jazz, karena jadi kekalahan dengan marjin poin terbesar kedua sepanjang 45 tahun franchise berdiri.
Kekalahan tersebut cukup memukul. Terbukti, Utah Jazz belum sanggup bangkit saat meladeni Philadelphia 76ers dua hari berselang. Sejak melantai di NBA, Donovan Mitchell belum kunjung memenangkan pertarungan melawan Ben Simmons baik di lapangan ataupun perebutan gelar Rookie of The Year (ROTY).Â
Tim Wilayah Timur pertama yang melakukan sapu bersih (swept) atas Utah Jazz, yakni Indiana Pacers minus Victor Oladipo. Lalu pada November 2018, Indiana Pacers sukses dua kali menggulung Utah Jazz dengan menjaringkan angka identik, 121 poin dan menahan agresivitas pasukan Snyder di bawah 100 poin.
Mengetahui kerusakan di lini pertahanan yang ironisnya diisi Pemain Bertahan Terbaik NBA musim lalu, Snyder mengambil keputusan untuk melakukan penyesuaian gaya bertahan saat melawan LA Lakers.
Bertanding pertama kali melawan LA Lakers era LeBron James, penyesuaian pertahanan coba diutamakan. Gobert memimpin rekan-rekannya supaya hanya kemasukan 90 poin dalam 100 kali penguasaan bola LA Lakers. Kyle Kuzma, dkk dipaksa melakukan 23 kali turnovers, membatasi Lakers mendapatkan offensive rebound sebanyak lima kali dari 43 tembakan gagal, dan sedikit mengizinkan Lakers lakukan lemparan bebas sebanyak 18 kali.
Namun, penyesuaian pertahanan ditegaskan pula dengan minimnya Utah Jazz mencetak poin. Selepas ditinggal Mitchell yang hanya bermain 11 menit akibat cedera, Jazz acap kali membebankan perolehan poin kepada Alec Burks. Praktis itu sumbangan poin besar terakhir Burks, karena sepekan kemudian dia mengakhiri tujuh tahun masa bakti seiring perpindahannya ke Cleveland Cavaliers.
Jazz melepas Burks bersama dua draft pick masa depan untuk menggaet penembak tripoin veteran, Kyle Korver. Korver bereuni dengan Snyder, karena pernah sama-sama berkontribusi di Atlanta Hawks musim 2013-14.Â
Seiring berjalannya waktu, Korver membentuk koneksi The Uncle Brothers bersama Ingles. Korver langsung tancap gas di laga kandang pertamanya versus San Antonio Spurs, (5/12/2018). Bermain selama 15 menit, Korver menyumbang 15 poin. Ketika itu, Jazz sukses melesatkan 20 tembakan tiga poin, rekor tertinggi sepanjang sejarah franchise.
Kedatangan Korver praktis menjadi salah satu garis cahaya di awan mendung bulan November Utah Jazz. Selain hal tersebut, Utah Jazz juga pantas bangga lakukan swept kepada Boston Celtics. Sebab, hanya kepada Celtics saja, Jazz sanggup sapu bersih tim elite dari wilayah timur pada musim ini. Melawan Pacers, Bucks, Sixers, dan Raptors, Jazz dua kali kalah.
Sampai tanggal 17 Desember 2018, hawa "lebih-baik-tanking-siapa-tahu-dapat-Zion" tercium di kalangan Jazz Nation. Mengisi kolom komentar akun media sosial Jazz yang juga tidak bisa berbuat apa-apa selain bersikap sok optimis menatap laga ke depan.
Ricky Rubio jadi sasaran karena terlalu lembek saat bertahan dan lemparan bolanya malah keras seperti bata. Donovan Mitchell mulai diragukan lewat tuduhan alami sophomore slum, serta ada singgungan kalau debat ROTY musim lalu terlalu dibuat-buat. Rudy Gobert seolah tidak pantas mempertahankan gelar Defensive Player of The Year (DPOY), karena hilang dalam percakapan tersebut, berganti sosok Myles Turner. Segalanya serasa suram.
Pada hari itu, Houston Rockets membungkam Jazz salah satunya lewat stepback Harden. Pada hari itu, rekor Jazz hanya 14-17. Untungnya, Jazz tidak pernah berselisih lebih tiga angka sepanjang musim. Segala kekacauan masih bisa dicari titik balik. Memang, titik balik mulai ditemukan.
Ganti tahun, ganti peruntungan. Rekor bulan Januari sungguh mengesankan. Sebanyak 11 kali menang, hanya 4 kali kalah. Banyaknya laga kandang dan perjalanan ke kota tim-tim lemah di wilayah timur sangat menguntungkan. Mitchell stabil melalui rataan 23,8 poin yang berkontribusi besar dalam kemenangan Utah Jazz. Sebab, ketika pemain seperti Crowder, Rubio, Burks, bahkan Gobert menjadi topskor tim di suatu laga, kemungkinan besar Utah Jazz kalah.
Sedangkan Gobert lambat laun didiskusikan lagi sebagai center elite. Gobert menghuni 5 besar soal rebound dan blok. Data statistik menunjukan Gobert mengoleksi 1041 rebound (hanya kalah dari Andre Drummond) dan 187 blok (di bawah Turner). Sedangkan untuk persentase, Gobert mencatat 12,9 rebound per laga (urutan keempat) dan 2,3 blok per gim. Galaknya, Gobert sangat bersih di bawah ring lewat kesuksesan penyelesaian peluang (field goal) sebesar 66.9%, terbaik di kompetisi.
Kesuksesan Jazz "kejar setoran" karena performa mengilap mereka. Mitchell merelakan diri absen ikut serta untuk mempertahankan gelar kontes Slam Dunk. Gobert sempat meneteskan air mata, setelah tahu ibunya menangis tersedu-sedu mendengar kerja keras Gobert belum diganjar pangkat All-Star. Dua indikasi betapa keduanya sangat bersusah payah mengangkat prestasi Jazz untuk menapaki zona play-off.
Utah Jazz hari ini adalah Utah Jazz era Gobert-Mitchell. Kelangsungan franschise bergantung pada kinerja keduanya. Peningkatan kualitas permainan keduanya sangat signifikan menuntun langkah tim. Memang masih sangat jauh untuk dibandingkan duet Karl Malone-John Stockton, tapi Gobert-Mitchell punya peluang berbuat serupa atau mungkin saja melampauinya.
Tentu tidak bisa dikesampingkan pemain lain, seperti Joe Ingles yang merangkak naik sebagai pencetak tembakan tiga poin terbanyak di tim. Juga Rubio yang mesti terus membuktikan diri bukan seorang garda poin level biasa-biasa saja. Favors yang mestinya turut mengomando dan menjadi teladan dengan status pemain terlama di tim.Â
Begitupun pemain yang datang dari bangku cadangan dengan peran masing-masing, antara lain Crowder, Korver, O'Neale, Allen, dan Exum yang mengalami cedera lutut. Sebelum cedera, Exum punya kontribusi membantu Jazz menapaki bukit kebangkitan.
Pada akhir Februari, Jazz menggalakkan kampanye 'Play-off Push' (Detroit Pistons saja baru melakukannya pada dua laga terakhir!). Pada bulan Maret, Jazz benar-benar menembus zona play-off. Capaian pada bulan Maret serupa dengan Januari, yakni rekor 11-4. Tim yang menyingkirkan mereka, Houston Rockets datang menghadang tepat pada langkah pertama.
Epilog
Utah jelas tidak bisa melulu menghindari kalah. Seperti tim NBA lain, mereka muskil selalu memiliki malam kemenangan. Menghuni urutan kelima dengan rekor 50-32 juga bukan realita yang buruk-buruk amat. Jazz pun hanya punya 16 musim berisi minimal 50 kemenangan, dua di antaranya di bawah kendali Snyder. Selain musim ini, capaian tersebut terjadi di musim terakhir Gordon Hayward.
Kegoyahan awal musim sebetulnya juga tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Toh, musim lalu saja periode kurang memuaskan di akhir kalender tahun terselamatkan berkat 11 kemenangan beruntun tepat sebelum jeda All-Star.Â
Catatan kemenangan beruntun terbaik yang pernah mereka punya. Namun patut ditengok ekspektasi musim lalu setelah ditinggal Hayward dan menyerahkan nasib kepada rookie urutan ke-13. Hanya dalam dua musimnya bersama Utah, Spida-sapaan Spider- dua kali mendapatkan rataan poin lebih dari 20, angka yang hanya sekali dicapai Hayward sepanjang tujuh tahun bersama tim yang awalnya bermarkas di New Orleans.
Siapa pula yang menyangka, Gobert yang baru mendapatkan break-out season pada 2016-17 dapat konsisten meningkatkan prestasi dan statistik setiap musim. Era Mitchell-Gobert sangat menjanjikan prestasi gemilang meski memang butuh kesabaran.
Selain tentu saja, kepingan lain yang sangat membantu mereka. Ricky Rubio terus dibayangi awan kelabu keraguan soal kapasitas dirinya. Sebelum bergabung Jazz, Rubio tidak kunjung menembus play-off saat membela Minnesota. Bersama Jazz, Rubio akhirnya mengecap play-off pertamanya.
Orientasi bermain garda poin asal Barcelona itu lebih menyerang ke ring, dengan rataan poin mencapai 13,1 dan 12,7 angka. Meningkat dari sebelumnya yang berada di kisaran 10-11 poin per musim. Rataan assistnya justru menurun (5,3 dan 6,1), sedangkan saat bersama Timberwolves, Ricky Rubio sanggup mencetak rata-rata 8 poin, malahan tembus 9,1 poin di musim terakhir.Â
Sayang, reputasinya yang kurang handal bertahan (1,9 curian dan 0,1 blok), serta acap kali dituding rajin flop membuat Rubio belum benar-benar bisa dilihat sebagai garda poin level atas NBA.
Dua wajah kawakan Derrick Favors dan Joe Ingles sanggup diandalkan meningkatkan kualitas Utah Jazz. Favors memberi grit atas keluwesan dirinya memainkan peran center dan power forward. Sementara Ingles, selain skill three point nya, juga bisa dilihat sebagai seorang pemain bertahan jempolan dan pegiat trash talk menohok. Siapa yang tidak bisa melupakan langkah gontai Paul George setelah kalah matchup dari Ingles pada play-off musim lalu?
Selama tiga musim beruntun, Utah Jazz menyelesaikan kompetisi reguler di urutan kelima. Dua kali sukses merangsek ke urutan keempat, tapi keok saat fase lanjutan. Kemungkinan hal tersebut terulang musim ini jelas ada. Bahkan cenderung menurun, karena mesin panas Houston Rockets terlalu meletup-letup untuk dipadamkan hampir semua tim.
Seolah potensi Jazz hanya bisa sampai di sana saja. Paling maksimal? Mungkin. Mengecewakan? Tentu tidak. Utah Jazz tidak lakukan tanking untuk dapatkan draft pick Top 3.Â
Trading yang diusahakan pun tidak kepada pemain berstatus All-Star. Lagi pula gila saja pemain berkaliber All-Star mau menengok franchise kecil. Skuat yang ada saat ini bisa dianggap sebagai bentuk pengembangan potensi pemain semata. Hal yang sekiranya tidak semua tim sanggup lakukan. Dalam dua musim, tetap tanpa ada pemain All-Star.
Kumpulan All-Star, proses pemetikan hasil tanking memalukan bermusim-musim, dan trading cerdas jelas sebuah cara absah tim untuk mencapai tujuan. Utah Jazz tidak melakukannya juga bukan hal yang salah. Hanya saja, menengok capaian tiga musim terakhir menghasilkan satu ambiguitas: Apakah ini stagnasi atau upaya optimal sebuah potensi?
"Terlalu bagus untuk tembus play-off dan menembus second round" jelas lebih baik ketimbang "Terlalu bagus untuk tidak melakukan tanking, tapi sulit konsisten masuk play-off dan sekali masuk kena swept".Â
"Hebat melakukan pengembangan bakat pemain" jelas lebih oke dibanding "Menggaet All-Star untuk proses instan". Namun, apakah Utah Jazz tidak bisa ke mana-mana selain mentok di second round merupakan kalimat positif? Apakah Utah Jazz dengan inti Gobert-Mitchell cukup menjadi modal modal meraih cincin di masa depan?
Isu trading Mike Conley sempat berhembus pada masa trade deadline. Rubio dan Favors disertakan ke dalam paket pertukaran, meski sangat sulit juga untuk dibayangkan. Rubio kadung punya misi yang sama dengan Jazz terkait isu kanker.Â
Rubio yang mendirikan Yayasan Ricky Rubio setelah ibunya meninggal akibat kanker, memiliki keterikatan dengan sponsor di seragam Jazz, 5 For The Fight, badan amal yang bergerak di jalur amal untuk penelitian kanker. Sedangkan Favors pun jelas bukan pemain kacangan meski dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Batalnya trade Conley membuat kebersamaan tim ini berumur dua tahun. Conley memang kemungkinan jadi amunisi positif, menengok statusnya sebagai franchise player Grizzlies. Musim ini dia alami perolehan poin sumbangsih tinggi dengan 21,1 poin dan 6,4 asis.Â
Selama karier, Conley punya catatan statistik di atas Rubio. Namun, bukankah slogan Utah Jazz musim ini adalah Team is Everything? Rubio yang lekat dengan komunitas di SLC dan Favors yang loyal, setidaknya perlu ada kesempatan meraih capaian tinggi setidaknya musim ini.
Hanya mendapatkan satu pilihan draft untuk seorang sarjana psikologi Grayson Allen. Harus diakui, Allen juga kurang memberi warna baru untuk Jazz jika dibandingkan dengan musim lalu. Musim lalu terasa lebih bergairah dengan kedatangan Mitchell dan pengharapan pada Tony Bradley jebolan North Carolina. Allen pun tidak kunjung tancap gas dari segi teknis ataupun reputasi sompral. Setidaknya, Allen patut bersyukur karena Jazz memberikannya kesempatan belajar bersama Korver dan Ingles.
Utah Jazz tampak jelas tidak ke mana-mana. Perubahan pendukung Mitchell-Gobert mutlak dilakukan untuk melewati capaian hebat tembus play-off di urutan kelima setelah awal musim buruk dan terselamatkan di tahun baru, mengecewakan tim di urutan keempat untuk melangkah ke semifinal, dan lantas tidak melangkah sampai final wilayah.
Musim ini segalanya sedikit lebih jelas. Jazz kemungkinan besar dihajar Rockets tanpa ampun. Ajaib saja kalau sanggup melewati seri dan jumpa (hampir pasti) dengan Warriors. Kekalahan dan tersingkirnya Jazz sudah tercium setelah di detik terakhir mereka justru bukan jumpa Portland Nurkic-less Blazers. Tidak apa, bukan hal yang buruk. Tidak mengapa, sekalipun begitu-gitu saja.
Setidaknya musim ini yang terakhir. Seharusnya musim depan berganti nasib. Semoga lebih baik, bisa tembus final wilayah atau malah final NBA. Siapa tahu lebih buruk, gagal tembus play-off dan tidak memilih talenta terbaik di posisi teratas urutan.
Segalanya pasti berubah, beberapa kebaruan patut dicoba Utah Jazz.
Sumber: Basket Ball NBA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H