Etheridge kini berada di atas roda pedati kariernya. Menjadi pilihan pertama Cardiff, dipuja sebagai orang Asia Tenggara satu-satunya yang main di Premier League, menggagalkan dua penalti, mencatat delapan penyelamatan berujung satu poin Cardiff, dan didaku sebagai kiper dengan perolehan poin tertinggi sementara di permainan Fantasy Premier League (FPL). Bahkan dia tidak percaya dengan capaian terakhirnya itu, karena terbukti malah memilih David De Gea sebagai kiper utama tim FPL miliknya, sementara dia dicadangkan dirinya sendiri (seperti biasa).
"Itu bukan sepak bola kalau tiada kritik. Selalu ada yang meragukan dan mempertanyakan kualitasmu, tapi kamu harus melewatinya. Musim lalu fantastis untukku. Aku masih belajar dan tentu saja aku bukan artikel tuntas," kata Etheridge menyikapi karier berkeloknya seperti dilansir The Guardian.
Dia bangga menjadi orang Filipina dan membela tim nasionalnya. Keputusannya memperkuat Filipina sedari 2008 dia syukuri sebagai hikmah tatkala kariernya mandeg. Setidaknya dia tahu selalu ada tempat untuknya bersandar. Pada negeri yang sepak bolanya baru masuk peta persaingan regional di tahun 2010 setelah melakukan kebijakan naturalisasi, Etheridge muda mendapati pengalaman mahal mentas di pertandingan besar berjubel puluhan ribu penonton.
"Indonesia mengalahan kami melalui dua laga, tapi keduanya dimainkan tandang karena kami tidak punya fasilitas bermain. Kami bermain di depan 85.000 penonton di laga pertama dan 100.000 pasang mata pada perjumpaan kedua. Itu sesuatu yang tidak pernah aku lupakan," kenang Etheridge kepada BBC.
Pelajaran untuk Kebijakan Naturalisasi
Dari kisah Etheridge banyak pelajaran yang bisa dipetik bagi seorang pesepak bola ataupun federasi sepak bola suatu negara. Soal persistensi menyikapi curamnya jalan karier sudah tentu poin yang bisa ditekankan. Dia tidak memilih jalur mudah dengan segera pulang ke kampung halaman berisiko menurunkan level permainan.
Darah campuran yang mengalir di tubuh Etheridge memungkinkannya memilih tim nasional terbaik untuk dirinya. Terbaik bukan melulu soal prestasi, tapi kesempatan mengembangkan diri. Meskipun sempat menolak saat ditawari pertama kali oleh Presiden Federasi Sepak Bola Filipina (PFF) Jose Mari Martinez pada 2008, Etheridge akhirnya luluh juga setelah Phil Younghusband meyakinkannya membela Azkals. Etheridge muda mendapati pengalaman tiada permanai ditonton ratusan ribu pasang mata yang menempa mentalnya.
Setelah menerapkan kebijakan naturalisasi, Filipina yang memang bukan negara sepak bola sukses menembus semifinal Piala AFF tiga kali beruntun sejak 2010. Mereka untuk pertama kalinya menembus Piala Asia 2019, turnamen yang akhirnya diikuti lagi negara Asia Tenggara setelah empat negara jadi tuan rumah bersama di edisi 2007. Pencapaian yang menempatkan Azkals di posisi 113 pada pemeringkatan FIFA April 2018, tertinggi sepanjang sejarah mereka.
Filipina memang punya banyak opsi mendapatkan pemain keturunan untuk dinaturalisasi. David Alaba lahir dari rahim ibu seorang Filipina dan ayah Nigeria, sampai akhirnya memilih negara kelahirannya Austria untuk dibela. Kiper ketiga Prancis yang meraih trofi Piala Dunia 2018, Alphonse Areola punya kedua orang tua asli Filipina yang migrasi ke Paris. Seandainya Areola memilih Filipina, betapa tangguhnya Azkals untuk sektor kiper.
Etheridge sadar sekalipun merumput di Premier League, dia bukan olahragawan nomor satu di negara itu. Masih ada sosok legendaris Manny Pacquiao dari ring tinju. Bahkan ketika Etheridge banting tulang di laga Newcastle, pebasket Cleveland Cavaliers yang tampil di laga final NBA, Jordan Clarkson membawa bendera Filipina saat defile kontingen atlet Asian Games. Menunjukkan profilnya sebagai pemain aktif bernama paling mentereng di cabang olahraga basket benua kuning.